Alasan DPR Studi Banding RKUHP ke Inggris Dinilai Tidak Relevan
Anggota Komisi III DPR Arsul Sani menuturkan alasan Panitia Kerja (Panja) RKUHP studi banding ke Inggris. Menurutnya, alasan utama kunjungan kerja tersebut karena DPR ingin memperoleh perspektif hukum pidana yang lebih luas. “Tidak hanya berkiblat pada Eropa Continental saja,” katanya di Gedung DPR, Selasa (1/9).
Menurutnya, rancangan maupun naskah akademik KUHP yang dikirimkan pemerintah ke DPR bergeser dari prinsip asas legalitas murni menjadi asas legalitas tidak murni. Artinya, KUHP yang sekarang berlaku di Indonesia dan Eropa Continental adalah prinsip bahwa perbuatan itu bisa dipidana jika ada yang mengaturnya.
Namun, lanjut politikus dari PPP ini, dalam RKUHP yang dikirimkan pemerintah tersebut tepatnya pada Pasal 2 dibuka kemungkinan bahwa seseorang bisa dipidana berdasarkan hukum yang menjadi kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Atas dasar itu pula, Panja RKUHP kunjungan kerja ke Inggris.
“Makanya di sana dibedakan yang namanya common law criminal offences yaitu tindak pidana yang berbasis pada common law, dan statue base criminal offences yaitu tindak pidana yang didasarkan yang ditetapkan UU. Karena itulah alasannya kita ke sana kita ingin melihat. Yang macam tindak pidana tidak berdasarkan UU dan berdasarkan hukum kebiasaan itu yang kaya apa,” tutur Arsul.
Ia mengatakan, di Inggris sembilan anggota panja bertemu dengan Ahli Hukum Pidana dari Oxford University. Menurut pernyataan dari ahli hukum tersebut, saat ini Inggris bergeser dari tindak pidana yang berdasarkan statuta saja yang dikembangkan. “Jadi berdasarkan hukum kebiasaan yang menjadi hukum judge made law, atau preseden itu sudah mulai ditinggalkan,” kata Arsul.
Ditemui secara terpisah, Anggota Aliansi Nasional Reformasi RKUHP Anggara Suwahju menilai, studi banding yang dilakukan Panja RKUHP ke Inggris salah alamat. Menurutnya, pembentukan hukum di Inggris dan Indonesia memiliki sejarah yang berbeda satu sama lain.
“Hukum di Inggris pada dasarnya dibentuk melalui putusan-putusan pengadilan yang kemudian diikuti secara konsisten (Yurisprudensi) ini yang dinamakan living law dan kemudian karena jumlah putusan pengadilan cukup banyak maka ada kebutuhan untuk membentuk UU atau statue law,” kata Anggara.
Sedangkan di Indonesia, hukum adat yang umumnya tidak tertulis, belum sempat berkembang. Tapi sudah masuk hukum Eropa khususnya dari Belanda, yang lebih memiliki budaya tertulis. Atas dasar itu, sejarah antara Inggris dan Indonesia sangat berbeda dalam hal pembentukan hukum, walaupun kedua-duanya tertulis.
Selain itu, lanjut Anggara, di Inggris corak masyarakatnya adalah homogen. Sedangkan di Indonesia lebih ke heterogen. Hal ini semakin memperjelas bahwa Indonesia dan Inggris tidak bisa disamakan. “Karena itu di Indonesia ada 19 lingkungan hukum adat. Jadi, living law di Inggris tidak bisa diterjemahkan jadi hukum adat,”