Apakah Kerja Sosial Solusi Masalah Sesaknya Penjara?
Perubahan beberapa pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tengah dilakukan. Revisi yang menjadi sorotan terutama pada Pasal 10. Pasal yang berlaku saat ini tersebut hanya mencantumkan pidana pokok terdiri dari pidana mati, penjara, kurungan, denda, dan tutupan. Sementara, Pasal 66 draf revisi KUHP menambahkan sanksi pidana baru berupa kerja sosial.
Usulan perubahan yang sedang digodok DPR RI ini, kerja sosial akan diberlakukan bagi pelaku tindak pidana ringan. Penjabaran teknik pidana sosial diterakan dalam Pasal 88 draf revisi KUHP. Pasal itu menyebutkan bahwa pidana sosial dijatuhkan pada pelaku tindak pidana dengan hukuman enam bulan penjara.
(1) Jika pidana penjara yang akan dijatuhkan tidak lebih dari 6 (enam) bulan atau pidana denda tidak lebih dari pidana denda Kategori I maka pidana penjara atau pidana denda tersebut dapat diganti dengan pidana kerja sosial.
Wakil Ketua Komisi III DPR RI Mulfachri rencana pemberlakuan pidana sosial bisa mengurangi beban negara dalam menghidupi narapidana dan menyudahi persoalan kelebihan daya tampung yang terjadi di sebagian besar lapas di Indonesia.
“Saya sepakat bahwa untuk tindak pidana ringanan ancamannya tidak mengkhawatirkan, maka hukuman kerja sosial jadi sebuah opsi dipilih oleh hakim dalam memutuskan perkaranya,” imbuh Mulfachri.
Usulan ini mendapat sambutan positif.
Pakar Hukum Pidana Universitas Parahyangan Agustinus Pohan menilai revisi KUHP dengan memasukkan rencana penerapan pidana sosial ini dipercaya tidak hanya memberikan manfaat mencegah membludaknya jumlah narapidana. Akan tetapi, manfaat juga bisa didapatkan karena keterlibatan langsung yang nantinya akan dilakukan oleh para tahanan.
“Kalau pidana jangka pendek terkesan sekadar membalas perbuatan pidana. Sementara, program pembinaan yang sebenarnya jadi tujuan utama pidana bagi seseorang, juga tidak cukup waktunya,” kata Agustinus.
Juru Bicara Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Efendy mengatakan pidana sosial sebenarnya telah diterapkan di beberapa negara. Bahkan, menurut dia, negara maju sekelas Amerika Serikat (AS) sudah cukup lama menerapkan skema pidana tersebut.
Secara teknis, kata Eddy, pelaku tindak pidana ringan bisa diberi sanksi kerja bakti di luar lapas sampai batas waktu tertentu sesuai masa hukuman. Namun, tetap dipantau pentugas secara ketat.
“Setelah kerja bakti, dia (narapidana) bisa kembali ke rumahnya,” kata dia.
Anggota Komisi III DPR Romahurmuziy menganggap gagasan pidana kerja sosial lebih mengarah pada penghematan anggaran untuk penambahan dan pembenahan lapas.
“Karena itu satu-satunya cara kalau kita tidak mampu menyediakan anggaran untuk membangun lapas. Saya kira untuk pidana narkoba perlu diberi isolasi, apalagi yang sifatnya kambuhan karena dampak merusak mereka jauh lebih besar dari pada terorisme,” kata Romy.
Sebelumnya, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) Kemenkumham RI melaporkan jumlah tahanan dan narapidana saat ini mencapai 188.251 jiwa, sementara kapasitas lapas-lapas yang tersedia di sebanyak 33 provinsi hanya berdaya tampung 119.269 orang. Walhasil, lapas di Indonesia mengalami kelebihan kapasitas sebanyak 58 persen. Tentu bukan jumlah yang wajar dan sedikit
Sumber: http://m.metrotvnews.com/read/2016/04/26/519647/apakah-kerja-sosial-solusi-masalah-sesaknya-penjara