Bedah Pasal RKUHP tentang Agama
LBH Jakarta bersama – sama dengan Aliansi Nasional Reformasi KUHP pada 18 Mei 2016 melakukan diskusi untuk membahas delik agama dalam R KUHP di Hotel Morrissey Jakarta. Fokus diskusi kali ini adalah untuk mendapatkan gambaran atas situasi kebebasan beragama dan berkeyakinan dan juga untuk mendorong proses advokasi RKUHP di DPR. Para peserta diskusi terdiri dari lembaga negara, perwakilan korban atau komunitas keagamaan dan kepercayaan, organisasi jurnalis, dan organisasi masyarakat sipil.
Palti Panjaitan, salah satu narasumber diskusi menyebutkan bahwa diperlukan definisi mengenai agama, karena masyarakat masih cukup banyak yang berpendapat bahwa agama yang sah atau yang diakui ada 6. Karena itu keyakinan atau kepercayaan diluar 6 agama itu masih mendapatkan tindakan diskriminatif dan mengingat bahwa seharusnya keyakinan seseorang tidak bisa diatur oleh negara.
Memang benar hingga saat ini belum ada kesepakatan mengenai definisi dari agama itu sendiri bahkan di RUU Perlindungan Umat Beragama (RUU PUB), yang akan mengatur secara spesifik hal-hal yang menyangkut kehidupan keagamaan. Ia juga mengingatkan jika agama mempunyai sifat ambivalensi yaitu merupakan sumber perdamaian dan sumber kekerasan. Salah satu hal yang krusial dalam RKUHP terletak pada Pasal 348 yaitu tentang penghinaan terhadap agama dimuka umum atau bisa disebut hate speech. Pasal ini sangat berbahaya bagi kehidupan beragama di Indonesia. “Hal tersebut bisa melanggengkan kriminalisasi terhadap hak atas beragama”, kata Febi Yonesta, narasumber lainnya. Hal ini berkaitan juga dengan Pasal 349 ayat (2) RKHUP.
Berdasarkan sejarah agama samawi, kekerasan terjadi saat penyebaran agama. Penyiar agama atau pengkhotbah di agamanya masing-masing bisa terkena pasal tersebut, karena mereka bisa dianggap mengajarkan kekerasan padahal mereka hanya menyampaikan sejarah agama.Pasal mengenai penghinaan terhadap agama ini jika dilanggenggkan akan membatasi dakwah/penyiaran agama, padahal setiap agama menganjurkan untuk berdakwah. Selain itu, perlu ada pembatasan terkait hate speech.
Disamping itu pada diskusi kali ini juga dibahas mengenai bagaimana jika yang melakukan penghinaan adalah pejabat?, refleksi dari Asfinawati, moderator diskusi ini. “Harus dibedakan terkait pemberatan pidana antara pejabat, profesi, dan masyarakat terkait dengan tindak pidana agama dan kehidupan Beragama ini”, tambahnya. Hal ini perlu dibahas karena tidak menutup kemungkinan bahwa pejabatlah yang sering melakukan upaya mengganggu kehidupan beragama, maka seharusnya pejabat harus lebih berat pemidanaannya.
Sebagai penutup ada beberapa rekomendasi yang dihasilkan pada diskusi terfokus kali ini yaitu definisi mengenai agama harus dibahas lebih lanjut, syarat dari pidana terhadap penghinaan agama yaitu harus ada yang dirugikan, bab mengenai delik pidana agama di RKUHP harus diubah paradigmanya yaitu bukan untuk membela agama tetapi untuk membela orang atau barang. “Selanjutnya hasil dari diskusi ini akan menjadi masukan terhadap risalah kebijakan yang akan LBH Jakarta buat dan setelah itu akan dijadikan acuan dalam melakukan advokasi di DPR”,tutup Atika, Pengabdi Bantuan Hukum LBH Jakarta.