Ini Sejumlah Persoalan dalam RKUHP

Dikhawatirkan bakal terjadi kekacauan dalam sistem hukum pidana Indonesia yang dapat mengarah pada ketidakpastian hukum dan berujung pada terlanggarnya nilai-nilai keadilan dalam masyarakat.

Banyaknya persoalan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi sorotan berbagai kalangan akademisi. Tak hanya itu, bila Buku I RKUHP disahkan tanpa memperbaiki berbagai hal, dikhawatirkan akan membuat rancu implementasi aturan pidana tersebut bagi para penegak hukum sebagai pelaksana dan masyarakat sebagai objek hukum. DPR dan pemerintah diminta tak tergesa-gesa melakukan pembahasan, termasuk mengesahkan Buku I RKUHP.

Ketua Bidang Studi Hukum Pidana Fakultas Hukum (FH) Universitas Indonesia (UI), Akhiar Salmi, mengatakan banyaknya persoalan dalam RKUHP yang bertentangan antara satu pasal dengan pasal lain berdampak dalam proses penegakan hukum. RKUHP ketika di sahkan, diharapkan mampu menjadi aturan pidana yang berlaku setidaknya 100 tahun, seperti halnya KUHP hasil produk kolonial Belanda.

“Jadi jangan asal jadi produk perundang-undangan hukum pidana seperti itu. Jangan baru dua tahun kemudian di uji ke Mahkamah Konstitusi,” ujarnya di Gedung FHUI Salemba, Kamis (12/5).

Akhiar mencatat, sedikitnya terdapat beberapa persoalan dalam RKUHP yang perlu dikritisi karena banyak ketidakonsistenan, seperti antara Pasal 1 ayat (1) dengan Pasal 2 ayat (1).  Sebagaimana tertuang dalam draf RKUHP, Pasal 1 ayat (1) menyatakan, “Tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan”.

Sedangkan Pasal 2 ayat (1) menyatakan, “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang‑undangan”.

Menurut Akhiar, kedua pasal itu jelas bertentangan. Sebab, seseorang tak dapat dipidana sepanjang perbuatan pidana tersebut belum diatur dalam peraturan perudangan. Sementara di pasal berikutnya mengatur ketentuan Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan orang dapat dipidana meski perbuatan tidak diatur dalam peraturan perundangan. Ketidakkonsistenan itu berdampak ambigu terhadap penegak hukum dalam melakukan penegakan hukum di tengah masyarakat. “Tidak ada konsistensi,” ujarnya.

Dosen hukum pidana FHUI Eva Achjani Zulfa menambahkan dalam RKUHP mengatur detil. Bahkan teori serta doktrin dimasukan ke dalam rumusan pasal. Ia khawatir penegak hukum, misal anggota jajaran kepolisian di tingkat bawah mesti menerjemahkan doktrin dalam rumusan pasal akan menyulitkan ketika menerapkan penegakan hukum.

Eva berpandangan, Pasal 10 dan Pasal 11 merupakan contoh lain pasal yang bertentangan. Begitu pula dengan Pasal 13 dan Pasal 58, mestinya masuk dalam ranah hukum formil yakni hukum acara pidana, bukan pidana materil. Menurutnya, Pasal 13 membahas kewenangan hakim. Setidaknya ketentuan Pasal 13 mestinya masuk dalam UU Kekuasaan Kehakiman. “Seolah hakim diberikan kebebasan sangat luas, tapi di beberapa pasal hakim dibelenggu,” ujarnya.

Peneliti Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI), Anugerah Rizki Akbari, mencatat beberapa hal. Pertama, perumusan asas-asas keberlakuan hukum pidana Indonesia dalam Buku I RKUHP masih jauh dari sempurna. Misalnya, Pasal 8 ayat (1) RKUHP merumuskan asas nasionalitas aktif dengan menghilangkan ketentuan double criminality. Padahal, ketentuan double criminality tercantum dalam KUHP produk kolonial Belanda.

Ironisnya, dengan ketentuan menghilangkan double criminality, maka warga negara Indonesia yang melakukan pidana di luar wilayah NKRI, dapat dimintai pertanggungjawaban di dalam negeri meskipun pidana yang dilakukan itu bukan merupakan tindak pidana di negara di mana perbuatan dilakukan. “Jika dibandingkan dengan permusan hal yang sama dalam Pasal 5 KUHP, terlihat jelas bahwa rumusan di KUHP jauh lebih mencerminkan nilai perlindungan hak asasi manusia,” ujarnya.

Kedua, dengan memasukan hukum yang hidup di tengah masyarakat sebagai dasar memidana seseorang dalam Pasal 2 ayat (1) RKUHP bertentangan dengan asas legalitas. Memang, dalam hukum pidana tidak membenarkan menghukum suatu perbuatan tanpa adanya ketentuan perundang-undangan yang mengatur perbuatan pidana tersebut sebelumnya.

Rizki menilai memasukan ketentuan Pasal 2 ayat (1) justru membuka celah ketidakpastian hukum, ketidakadilan, serta menimbulkan disparitas aturan pidana. Bahkan, dimungkinkan menimbulkan abuse of power penegak hukum ketika menghukum seseorang tanpa aturan tertulis.

Ketiga, konsep hukum pidana dipahami secara tidak utuh dalam RKUHP. Menurutnya, dengan dimasukannya ‘tindak pidana yang dilakukan karena goncangan jiwa yang sangat hebat’ sebagai alasan peringan pidana -Pasal 139, red- menjadi hal yang tidak tepat. Mestinya, ‘tindak pidana yang dilakukan karena goncangan jiwa yang sangat hebat’ ditepatkan sebagai dasar penghapus pidana. “Bukan sekadar meringankan pidananya,” ujarnya.

Dikatakan Rizki, berbagai catatan tersebut merupakan bagian kecil dari sejumlah problem besar yang ditemukan dalam Buku I RKUHP. Menurutnya, bila ketentuan dalam Buku I RKUHP dalam kondisi tersebut dipaksakan untuk disahkan DPR, dimungkinkan dapat berdampak negatif dalam sistem hukum Indonesia.

“Akan terjadi kekacauan dalam sistem hukum pidana Indonesia yang dapat mengarah pada ketidakpastian hukum dan berujung pada terlanggarnya nilai-nilai keadilan dalam masyarakat,” pungkasnya.

Sumber: http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5734629347267/ini-sejumlah-persoalan-dalam-rkuhp

Leave a Reply