Kebebasan Berpendapat Masih Rawan Dibungkam
Kebebasan berekspresi dan berpendapat di Indonesia masih rentan mendapat pelanggaran. Hal tersebut diungkap dalam laporan koalisi kelompok masyarakat sipil untuk Universal Periodic Review (UPR) yang dikirimkan ke Dewan HAM PBB pada 22 September 2016 lalu. Dalam konferensi pers yang dilaksanakan di Jakarta, Senin, 26 September 2016, koalisi juga mencatat sejumlah pelanggaran HAM lain yang masih rentan terjadi di Indonesia.
UPR sendiri adalah sebuah mekanisme yang ada diDewan HAM PBB yang dimulai pada tahun 2005 sebagai salah satu proses refreformasi di PBB. Indonesia telah dua kali ditinjau dalam UPR, yakni 2008-2011 dan 2012-2015.
Koalisi yang terdiri dari Civicus, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (Yappika), dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia ini mencatat setidaknya 15 laporan yang intinya menegaskan pemerintah Indonesia belum berkomitmen dalam melaksanakan rekomendasi UPR 2012. Kepala Divisi Riset dan Jaringan LBH Pers, Asep Komarudin menyebutkan, setidaknya tercatat 72 kasus pelanggaran kasus pelanggaran hak berkumpul dan berekspresi di Indonesia sejak 2015 hingga Agustus 2016.
“Para pelaku, baik pihak kepolisian maupun organisasi massa melakukan tindakan pelanggaran, seperti pelarangan acara, intimidasi, pembubaran paksa, penggeledahan ilegal, perusakan alat, pembredelan, dan penangkapan,” kata Asep.
Menurut Asep, tema yang paling sering menjadi target pelaku pelanggaran biasanya kalangan minoritas atau kelompok yang dianggap bertentangan dengan negara. Dia mengambil contoh penangkapan orang yang menggunakan atribut berbau komunisme atau sulitnya screening pewarta untuk meliput di Papua.
“Di Papua saja, sejak 2014 sampai 2016 lebih dari 20 kegiatan unjuk rasa yang dibubarkan. Mayoritas pembubaran tersebut diikuti oleh penangkapan dan perlakuan kekerasan,” ucap Asep.
Menurut Asep, kasus pelanggaran ini diperkuat dengan adanya regulasi yang menghambat kebebasan berekspresi dan berkumpul. Regulasi seperti Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik, pasal defamasi dalam KUHP dan RKUHP, UU Organisasi Masyarakat, Peraturan Menteri Komunikasi dan Informasi tentang Penanganan Konten Negatif, Qanun Aceh tentang Hukum Jinayat, serta Peraturan Kapolri dan Kapolda Papua tentang Penyampaian Pendapat di Muka Umum menjadi pasal karet yang tidak jelas batasannya sehingga bisa menjerat siapa saja dalam bentuk kriminalisasi.
“Pemerintah Indonesia harus menuntut pihak-pihak yang melakukan penghentian hak kebebasan berekspresi secara politik secara damai. Selain itu, ia juga meminta pemerintah mengubah seluruh regulasi yang membatasi hak kebebasan berekspresi dan berkumpul,” ucapnya.
Direktur Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Supriyadi menuturkan pengaturan revisi KUHP yang saat ini dilakukan pun masih berpotensi menimbulkan tingginya angka penghukuman. Dengan keadaan seperti ini potensi pelanggaran HAM masih tinggi.
“Beberapa ketentuan penting dalam revisi KUHP yang sangat penting bagi isu HAM diantaranya ialah masih adanya hukuman mati,” ucapnya.
Sementara itu Muhammad Hafiz aktifis Human Right Working Group (HRWG) menambahkan biasanya data yang dilampirkan pemerintah dengan organisasi non pemerintah tak akan jauh berbeda. Namun, capaian pemerintah terhadap UPR PBB 2012 tentu lebih tinggi ketimbang data yang dimiliki organisasi non pemerintah.
“Kalau hasil dari organisasi masyarakat sipil mengimbangi laporan pemerintah nanti. Mungkin persentase di kami lebih ke tantangan daripada capaian,” kata Hafiz.
Sumber: http://www.pikiran-rakyat.com/nasional/2016/09/27/kebebasan-berpendapat-masih-rawan-dibungkam-380916