Meninjau Pengaturan TPPO dalam R KUHP

Pengaturan Tindak Pidana Perdagangan Orang dalam R KUHP mendapatkan sorotan serius. Dalam diskusi yang diselenggarakan Aliansi Nasional Reformasi KUHP, Ahmad Sofian mengatakan bahwa Indonesia memiliki UU TPPO tahun 2007, dan sudah meratifikasi Protokol Trafficking melalui UU No. 14 Tahun 2009 tentang Pengesahan Protokol untuk Mencegah, Menindak, dan Menghukum Perdagangan Orang, Terutama Perempuan dan Anak-Anak, Melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi.

Persoalannya, menurutnya UU TPPO ini masih ada kelemahan, karena tidak memasukkan definisi trafficking anak, lemahnya pemenuhan hak-hak korban oleh negara (kompensasi), dan lemahnya mekanisme pemenuhan hak-hak korban oleh pelaku (restitusi). Ia menyesalkan unsur-unsur perdagangan anak dalam RKUHP diidentikkan dengan unsur-unsur perdagangan orang dewasa.

Ahmad Sofian berpandangan jika perdagangan anak tidak memerlukan pengaturan mengenai cara akan tetapi perbuatan dan tujuan eksploitasinya. Sementara dalam konteks perdagangan orang (dewasa) membutuhkan cara : penipuan dan pembohongan. Sedangkan dalam konteks perdagangan anak cara ini tidak berlaku. Demikian izin dan cara mendapatkan izin tidak berlaku jika korbannya adalah anak-anak, sepanjang tujuan perdagangan anak untuk eksploitasi.

ACWC for Children yaitu Ibu Yuyum Fhahni dari ACWC for Children, menambahkan bahwa untuk mengetahui adanya kasus kasus perdagangan seks yang melibatkan pemaksaan, penipuan, paksaan, atau di mana korbannya adalah anak anak yang belum mampu memberikan persetujuan, atau perdagangan yang mencakup pemerkosaan atau penculikan yang menyebabkan kematian, pemerintah suatu negara harus memformulasikan hukuman yang sepadan dengan kejahatan yang dilakukan, seperti kekerasan seksual secara paksa. Ia juga menyayangkan UU TPPO dan RKUHP tidak membahas trafficking anak

Leave a Reply