Pasal Penodaan Agama Bertentangan dengan Demokrasi

Pasal penodaan agama yang membuat Gubernur DKI nonaktif Basuki Tjahaja Purnama dihukum 2 tahun penjara dinilai bertentangan dengan alam demokrasi. Hal ini lantaran kebebasan berbicara dan beragama telah dijamin oleh konstitusi di Indonesia.

“Pasal (penodaan agama) ini bertentangan dengan alam demokrasi karena kebebasan berbicara dijamin konstitusi kita, yakni UUD 1945 dan kebebasan beragama juga dijamin konstitusi,” kata pakar hukum, Frans Hendra Winarta kepada SP, Sabtu (13/5).

Meski demikian, Frans mengatakan, DPR dan pemerintah sebagai pembuat undang-undang merasa perlu mempertahankan pasal penodaan agama yang tergolong pasal penyebaran kebencian atau haatzaai artiekelen. Hal ini lantaran pembuat undang-undang menganggap masyarakat Indonesia yang pluralis rawan terjadinya konflik agama maupun benturan horizontal.

“Begitu pula KUHP yang baru masih mempertahankan pasal penyebaran kebencian ini karena dianggap masih dibutuhkan Indonesia,” katanya.

Lantaran masih dianggap sebagai tindak pidana dan termasuk dalam hukum positif, pengadilan tidak dapat menolak untuk memeriksa atau menyidangkan perkara penistaan agama. Apalagi, terdapat sejumlah kasus penistaan agama yang telah diproses hukum sebelumnya.

“Sudah banyak presedennya seperti perkara HB Jasin, Permadi, Arswendo, dan lainnya. Ini merupakan das sollen dan das sein antara keharusan dan kenyataan,” katanya.

Untuk itu, Frans yang juga advokat senior mengatakan, kasus yang menjerat Basuki harus menjadi pelajaran, terutama bagi politisi dan pejabat negara lainnya. Dikatakan, politisi dan pejabat negara harus berhati-hati dalam membuat pernyataan di depan umum yang dapat mengundang pelanggaran pasal penyebar kebencian. Terlebih dalam membuat komentar tentang suatu agama tertentu di depan publik.

“Isu sensitif sebaiknya tidak dibicarakan di muka publik begitu pula isu SARA. Pluralisme harus dijaga kalau kita tetap ingin menjaga keutuhan NKRI. Demo-demo dari kelompok-kelompok masyarakat sebaiknya dihentikan karena selain mengganggu proses pengadilan juga tidak sesuai dengan negara hukum yang harus menjaga kemerdekaan kekuasaan lembaga peradilan. Negara hukum mengisyaratkan solusi melalui pengadilan demi kepastian hukum dan bukan di jalanan kalau tidak terpaksa.

Sistem demokrasi kita memisahkan negara dan agama atau dikenal waktu masa lampau sebagai scheiding van kerk en staat, sebagaimana diucapkan Bung Hatta dan pemimpin kita atau the founding fathers. Indonesia bukan negara agama tapi negara hukum yang demokratis. Oleh karena itu sistem hukum kita harus dikoreksi yang sesuai dengan sistem demokrasi,” ungkapnya.

Sementara, Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi), Fakultas Hukum Universitas Jember, Bayu Dwi Anggono menyatakan, Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan pasal penodaan agama tidak bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian, keberadaan pasal ini masih sah dan diperlukan.

“Pasal tersebut masih dibutuhkan dalam situasi masyarakat yang majemuk. Pasal ini bisa menghindari kelompok masyarakat tertentu bertindak main hakim sendiri lantaran agamanya dinista atau dinodai. Pasal penodaan agama adalah bentuk antisipatif terhadap tindakan anarkis. Dengan adanya Pasal ini, penegak hukum memiliki sandaran hukum ketika menyelesaikan adanya tindakan anarkis terhadap pelaku penganut agama di Indonesia,” katanya.

Meski demikian, Bayu mengingatkan, aparat penegak hukum harus berhati-hati dalam menerapkan pasal ini. Hakim, katanya, harus membuktikan terpenuhinya ketiga unsur yang ada dalam Pasal 156a KUHP secara akumulatif. Pasal 156a KUHP berbunyi, ‘Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia’.

Pasal ini memiliki tiga unsur yaitu: (i) barangbsiapa dengan sengaja; (ii) di muka umum; (iii) mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.

“Hakim harus sangat hati-hati dalam memutuskan seseorang itu memang memiliki niat kesengajaan atau tidak. Mengingat niat dengan sengaja harus dapat dipahami sebagai sikap pelaku yang memiliki maksud untuk menghina pada agama dan bukan kesengajaan yang lain,” paparnya.

Sejumlah kalangan menyatakan, pasal penodaan agama seharusnya dihapuskan. Hal ini lantaran pasal tersebut dinilai rentan menjadi alat politik pihak tertentu. Setara Institute menyebut sejak 1965 hingga kini, termasuk kasus yang menjerat Basuki, terdapat 97 kasus penistaan agama. Penghapusan pasal ini dapat dilakukan dengan tidak memasukannya lagi dalam RUU KUHP yang sedang dibahas di DPR.

Dikonfirmasi mengenai hal ini, Ketua Komisi III DPR, Bambang Soesatyo menyatakan, pihaknya menampung seluruh masukan yang disampaikan masyarakat mengenai RUU KUHP dan KUHAP. Termasuk mengenai penghapusan pasal penodaan agama.

“Kita tampung apa yang diberikan masyarakat dan publik. DPR juga punya mitra sendiri bersama pemerintah dan Menkumham. Jadi kita tampunglah apa yang menjadi tuntutan publik,” kata Bamsoet, sapaan Bambang Soesatyo usai menghadiri pembukaan Rakernas Peradi di Jakarta, Jumat (12/5) malam.

Politisi Golkar ini menyatakan, dalam membahas dan menyusun RUU KUHP dan RUU KUHAP, Komisi III menggandeng akademisi, sejumlah organisasi advokat seperti Peradi maupun instansi terkait lainnya seperti kepolisian dan kejaksaan.

“Kita dalam melakukan pembahasan UU kita undang mulai dari akademisi, masyarakat tentu organisasi apa yang sedang dibahas. Termasuk instansi terkait kepolisian, kejaksaan. Tentu ada juga Peradi ada juga KAI kita undang juga,” katanya.
Bamsoet mengatakan, saat ini, pembahasan RUU KUHAP telah masuk buku II. Bamsoet optimistis RUU KUHAP dan RUU KUHP akan rampung pada tahun ini.

“Sudah jalan. Sudah masuk ke buku II kita targetkan tahun ini selesai. Ada KUHAP, KUHP ada UU Jabatan Hakim yang sedang kita bahas,” ungkapnya.

Sumber: http://www.beritasatu.com/hukum/430435-pasal-penodaan-agama-bertentangan-dengan-demokrasi.html

Leave a Reply