Pemetaan dan Analisis Isu Bermasalah RKUHP 23 Juni 2022 (Aliansi Nasional Reformasi KUHP)

1. Pola penghitungan pidana yang disebutkan Tim Pemerintah melalui metode tertentu namun belum pernah dijelaskan secara detail oleh Pemerintah

  • Sampai saat ini Pemerintah belum pernah mempresentasikan ke publik bagaimana pengaturan tentang bobot hukuman dilakukan (menggunakan metode apa dan bagaimana).
  • Berpotensi besar menghasilkan ancaman pidana yang tidak proporsional dan mengakibatkan jumlah pemenjaraan meningkat drastis padahal kondisi saat ini telah mencapai extreme overcrowding.
  • Kontradiktif dengan Paket Kebijakan Hukum Jilid II untuk mengatasi kelebihan penghuni yang saat ini sudah sebesar 110% atau 672 orang (DitjenPAS, 2022). Apabila RKUHP disahkan, akan bertentangan dengan agenda Kementerian Hukum dan HAM yang sudah tercantum di dalam grand design penanganan over-crowded pada rumah tahanan negara dan lembaga pemasyarakatan (Permenkumham Nomor 11 tahun 2017).

2. Hukum yang Hidup Dalam Masyarakat: penyimpangan asas legalitas/kriminalisasi atas rumusan yang tidak jelas (Pasal 2 ayat (1), Pasal 597 RKUHP)

  • Asas legalitas diatur dalam Konstitusi Negara UUD 1945, pengaturan Hukum yang Hidup dalam Masyarakat harus juga merujuk pada ketentuan yang diatur dalam konstitusi, bahwa Hak legalitas merupakan salah satu hak dasar warga Negara.
  • Digunakan secara tidak konsisten antara hukum yang hidup di masyarakat dengan hukum adat.
  • Rentan overkriminalisasi: pengaturan diambil dari Peraturan Daerah, namun sesuai dengan catatan Komnas Perempuan terdapat 421 Perda diskriminatif terhadap perempuan.
  • Pasal 597 menimbulkan kesewenang-wenangan karena Aparat Penegak Hukum berpotensi mendefinisikan “hukum yang hidup di masyarakat” berdasarkan penafsirannya sendiri tanpa batasan dan standar yang jelas.

3. Masalah pidana mati (Pasal 67, Pasal 99, Pasal 100, Pasal 101 RKUHP)

  • Pada dasarnya Aliansi menilai bahwa pidana mati seharusnya dihapuskan sesuai dengan perkembangan bahwa 2/3 negara di dunia sudah mengahapuskan hukuman mati.
  • Pemberian masa percobaan untuk menunda eksekusi pidana mati harus merupakan hak setiap orang yang diputus dengan pidana mati, tidak boleh bergantung pada putusan hakim terlebih dalam penjelasan disyaratkan pula bahwa hakim harus memperhatikan “reaksi masyarakat”.
  • Konsep pidana mati sebagai pidana alternatif tidak konsisten, karena justru rumusan pemerintah mengalami kemunduran dimana masa tunggu pidana menjadi digantungkan pada putusan hakim yang rentan disalahgunakan.
  • Masa tunggu eksekusi pidana mati dalam Pasal 101 dihitung sejak grasi ditolak, padahal seharusnya sejak putusan berkekuatan hukum tetap.
  • Jenis-jenis tindak pidana yang bisa dituntut pidana mati harusnya diatur dalam Buku I, dalam Buku II harusnya tidak ada pencantuman pidana mati.

4. Masalah minimnya alternatif pemidanaan non pemenjaraan

  • Pidana alternatif dalam RKUHP masih sangat minim, baru sebatas pidana pengawasan dan pidana kerja sosial.
  • Pidana alternatif tersebut juga seharusnya tidak memuat syarat yang menyulitkan, misalnya pidana pengawasan dan pidana kerja sosial hanya untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara dibawah 5 tahun, seharusnya dikembalikan konsepnya sesuai dengan ketentuan pidana bersyarat dalam Pasal 14a-f KUHP saat ini, dimana pidana alternatif tersebut berlaku bagi semua tindak pidana selama hakim memutus di bawah 1 tahun (dalam Pasal 14a KUHP Belanda, berlaku bagi kasus pidana apabila hakim memutus pidana penjara dibawah 2 tahun), yang mana di Belanda menjelaskan pelaksanaan pidana pengawasan tersebut dengan jelas dalam KUHP nya.
  • Pidana pengawasan di Belanda diatur dalam Pasal 14a – 14k KUHP Belanda. Pidana pengawasan dapat diterapkan sebagai alternatif apabila hakim menjatuhkan pidana penjara tidak melebihi 2 tahun. Apabila pidana penjara yang dijatuhkan hakim berada di rentang paling rendah 2 tahun dan maksimal 4 tahun, maka pidana pengawasan dapat dijatuhkan untuk sebagian dari periode pemenjaraan yang mana tidak boleh melebihi 2 tahun. Lamanya pidana pengawasan tidak boleh melebihi 3 tahun.
  • Syarat umum dapat ditetapkan berupa larangan terpidana untuk melakukan tindak pidana lagi. Sementara itu syarat khusus antara lain dapat berupa:
  • kompensasi secara penuh atau sebagian atas kerugian atau kerusakan yang terjadi akibat tindak pidana;
  • perbaikan secara keseluruhan atau sebagian atas kerugian atau kerusakan yang terjadi akibat tindak pidana;
  • pembayaran sejumlah uang sebagai jaminan keamanan yang ditentukan oleh pengadilan yang besarnya setidaknya sama dengan selisih antara denda yang diancamkan dalam pasal pidana terkait dan denda yang dijatuhkan oleh hakim;
  • pembayaran sejumlah uang kepada Criminal Injuries Compensation Fund atau organisasi yang mewakili atau mengadvokasi kepentingan korban yang besarnya tidak boleh melebihi denda yang diancamkan dalam pasal pidana terkait;
  • larangan menghubungi orang atau organisasi tertentu secara langsung atau melalui pihak ketiga;
  • larangan berada di dalam atau di sekitar lokasi tertentu;
  • kewajiban untuk hadir di tempat tertentu di waktu tertentu atau selama periode tertentu;
  • kewajiban untuk melapor pada waktu tertentu kepada otoritas tertentu;
  • larangan untuk mengonsumsi obat-obatan atau alkohol dan kewajiban mengikuti tes darah atau urin dengan tujuan untuk memastikan kepatuhan terhadap larangan ini;
  • kewajiban terpidana untuk menjalani rawat inap di fasilitas kesehatan;
  • kewajiban untuk menjalani perawatan dari tenaga profesional atau fasilitas kesehatan;
  • perintah menempati institusi dengan pengawasan khusus atau panti sosial;
  • perintah keikutsertaan dalam program intervensi perilaku;
  • kondisi lain yang berkaitan dengan perilaku terpidana.

Jaksa berwenang untuk mengawasi kepatuhan terpidana dan turut membantu terpidana untuk melaksanakan persyaratan-persyaratan yang dijatuhkan terkait pidana pengawasan. Probation service bertanggungjawab memberikan informasi mengenai pelaksanaan pidana pengawasan.

5. Masalah pengaturan “makar”  (Pasal 167 RKUHP)

  • Pendefenisiannya tidak sesuai denga asal kata makar yaitu “aanslag” yang artinya serangan, RKUHP cenderung mendefinisikan makar menjadi pasal karet yang dapat digunakan untuk memberangus kebebasan berekspresi dan berpendapat.

6. Masalah tindak pidana Menghalang-halangi Proses Peradilan (Pasal 284 RKUHP)

  • Perbuatan yang dilarang dalam huruf a dirumuskan secara tidak jelas dan tidak ketat sehingga rentan disalahgunakan oleh penegak hukum.
  • Dalam praktiknya, penegak hukum sering menggunakan ketentuan obstruction of justice ini di masing-masing undang-undang untuk ‘menekan’ saksi menyampaikan hal-hal yang sesuai dengan keyakinan penegak hukum atas kasus yang ditangani.
  • Pasal 221 KUHP yang merupakan asal-muasal ketentuan ini sudah merumuskan obstruction of justice dengan cukup ketat, dimana:
  • ‘menghalang-halangi atau mempersukar penyidikan atau penuntutan’ sebagai maksud obstruction of justice dan bukan menjadikannya sebagai perbuatan yang dilarang.
  • adapun perbuatan yang jahat yang dikriminalisasi dibatasi pada: menyembunyikan orang yang melakukan kejahatan atau yang dituntut karena kejahatan; atau memberi pertolongan kepadanya untuk menghindari penyidikan atau penahanan oleh pejabatan kehakiman atau kepolisian atau oleh orang lain, yang menurut ketentuan undang-undang terus-menerus atau untuk sementara waktu diserahi menjalankan jabatan kepolisian; menghancurkan, menghilangkan, menyembunyikan benda-benda terhadap mana atau dengan mana kejahatan dilakukan atau berkas-berkas kejahatan lainnya atau menariknya dari pemeriksaan yang dilakukan oleh pejabat kehakiman atau kepolisian maupun oleh orang lain, yang menurut ketentuan undang-undang terus-menerus atau untuk sementara waktu diserahi menjalankan jabatan kepolisian.
  • Pengaturan unsur “mencegah, merintangi, atau menggagalkan proses peradilan” harusnya sebagai tujuan bukan sebagai cara, karena rumusan unsur tersebut sebagai cara tidak jelas.

7. Masalah pengaturan tindak pidana penghinaan (Pasal 439-448 RKUHP)

  • masih memuat pidana penjara sebagai hukuman, jika pun masih diatur maka pidana paling tidak pidana denda.
  • rumusan masih bermasalah, sama dengan KUHP, harusnya memuat pengecualian yang lebih beragam.
  • pengecualian untuk penghinaan harusnya ditambahkan, dikecualikan untuk kepentingan umum, karena terpaksa membela diri serta tidak ada kerugian yang nyata.

Masalah hadirnya kembali pasal-pasal kolonial yang sudah tidak relevan untuk masyarakat demokratis

8. Pasal penghinaan presiden (Pasal 218 – Pasal 220 RKUHP)

  • Ketentuan ini pada dasarnya berasal dari pasal tentang lese mejeste yang dimaksudkan untuk melindungi Ratu Belanda. Pasal ini merupakan warisan kolonial.
  • Pasal ini juga sudah dibatalkan oleh Putusan MK No 013- 022/PUUIV/2006 karena tidak relevan lagi dengan prinsip negara hukum, mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran dan pendapat, kebebasan akan informasi, dan prinsip kepastian hukum.
  • Menghidupkan kembali pasal ini, berarti membangkang pada konstitusi.

9. Pasal penghinaan pemerintah yang sah (Pasal 240-241 RKUHP)

  • Pasal ini sudah dibatalkan dengan putusan MK No. 6/PUUV/2007.
  • ketentuan pidana yang ada dalam pasal ini dikenal sebagai haatzaai artikelen, pasal-pasal yang melarang orang mengemukakan rasa kebencian dan perasaan tidak senang terhadap penguasa. Pasal ini diberlakukan terhadap bangsa Indonesia sebagai bangsa yang terjajah oleh Belanda, dengan demikian pasal ini merupakan pasal kolonial yang tidak sesuai lagi dengan negara demokratis yang merdeka.
  • Alasan pemerintah yang membuat ini menjadi delik materil pun tidak jelas, karena definisi “menimbulkan keonaran” tidak bisa diukur, sedangkan hukum pidana mewajibkan kejelasan norma dalam pengaturannya (lex certa, lex scripta, lex stricta).
  • Pada Komentar Umum Konvenan Hak Sipil dan Politik Komisi HAM PBB No 34, poin 38 juga disebutkan bahwa pemerintah negara peserta tidak seharusnya melarang kritik terhadap institusi contohnya kemiliteran dan juga kepada administrasi negara.

10. Pasal penghinaan Kekuasaan Umum/Lembaga Negara (Pasal 353-354 RKUHP)

  • Pada Komentar Umum Konvenan Hak Sipil dan Politik Komisi HAM PBB No 34, poin 38 juga disebutkan bahwa pemerintah negara peserta tidak seharusnya melarang kritik terhadap institusi contohnya kemiliteran dan juga kepada administrasi negara.
  • Berdasarkan Laporan Khusus PBB 20 April 2010 tentang the promotion and protection of the right to freedom of opinion and expression dinyatakan bahwa Hukum Internasional tentang HAM melindungi individu dan kelompok orang bukan suatu hal yang abstrak atau institusi yang berhak untuk diberikan kritik dan komentar. Hukum pidana tentang penghinaan tidak boleh digunakan untuk melindungi suatu hal yang sifatnya subjektif, abstrak dan merupakan suatu konsep seperti negara, simbol nasional, identitas nasional, kebudayaan, pemikiran, agama, ideologi dan doktrin politik.

11. Pasal tentang merusak, merobek, menginjak-injak, membakar, atau melakukan perbuatan lain terhadap bendera negara (Pasal 234 RKUHP)

  • Memang dalam rumusan RKUHP memuat perubahan kearah perbaikan dari rumusan yang ada dalam UU No. 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan, namun dalam pasal dalam RKUHP tetap memuat unsur yang belum jelas dengan adanya unsur “melakukan perbuatan lain”.
  • Ancaman pidananya terlalu tinggi yaitu mencapai 5 tahun penjara, padahal penghinaan presiden saja dihukum dengan pidana penjara 3 tahun 6 bulan.
  • Perlu disinkronisasi dengan pasal-pasal tentang ekspresi yang sejenis (penghinaan terhadap pemerintah yang sah 3 tahun, penghinaan terhadap kekuasaan umum/lembaga negara 1 tahun 6 bulan, penggunaan terhadap golongan pendudukan 3 tahun).

12. Pasal tentang menyelenggarakan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi tanpa pemberitahuan (Pasal 273 RKUHP)

    • Unsur kepentingan umum terlalu karet dan rentan disalahgunakan karena tidak ada batasannya.
    • Peristiwa huru-hara atau keonaran dapat menggunakan delik lain yang sesuai seperti Pasal 361 RKUHP: “Setiap Orang yang berkerumun atau berkelompok yang dapat menimbulkan kekacauan dan tidak pergi sesudah diperintahkan sampai 3 kali oleh Pejabat yang berwenang atau atas namanya dipidana dengan pidana denda paling banyak di kategori II”, dan pasal lainnya yang berhubungan dengan pengerahan kekuatan atau kekerasan kepada barang, tubuh, atau ketertiban dan keamanan yang ancaman hukumannya lebih ringan dan tidak mengandung makna yang multitafsir.

13. Pasal Tindak Pidana terhadap Agama (Pasal 302 RKUHP)

  • Ayat (1) dalam pasal ini telah tepat dengan mengakomodir bahwa yang dilarang adalah perbuatan yang berkaitan dengan menimbulkan permusuhan atau hate speech.
  • Namun dalam ayat (2) masih dengan kerangka delik terhadap penodaan agama maupun kepercayaan di Indonesia yang tidak beroerientasi pada perlindungan kebebasan beragama bagi individu untuk melaksanakan kepercayaannya, melainkan digunakan untuk melindungi ajaran agama yang sifatnya dinamis dan subjektif sehingga pada penerapan justru menyerang minoritas agama tertentu.
  • Banyaknya kasus penodaan agama yang telah terjadi setelah tahun 2003 berdasarkan laporan YLBHI menunjukkan bahwa pada praktiknya unur penodaan agama ditafsirkan berbeda dan cenderung mengikuti desakan publik sehingga menciptakan ketidakpastian hukum.
  • Tidak ada penjelasan yang baik terhadap unsur ‘penodaan terhadap agama’ serta tidak ada unsur yang mewakili kesalahan pelaku dalam rumusan pasal. Dengan adanya ayat (1) ayat (2) tidak lagi diperlukan.
  • Unsur “kepercayaan di Indonesia” tidak perlu, dikarenakan yang dilindungi adalah setiap kepercayaan yang ada.

14. Kriminalisasi Persetubuhan antara Laki-Laki dengan Peremuan di Luar Perkawinan (Pasal 417 RKUHP)

  • Negara terlalu jauh menggunakan hukum pidana untuk masuk pada hak konstitusional warga Negara yang bersifat privat.
  • Delik aduan berdasarkan pengaduan orang tua dapat meningkatkan angka perkawinan anak.
  • 89% perkawinan anak di Indonesia terjadi karena kekhawatiran orang tua, baik karena faktor ekonomi maupun karena asumsi orang tua bahwa anaknya telah melakukan hubungan di luar perkawinan.
  • Komitmen Presiden di Pepres SDGs (Sustainable Development Goals/Tujuan Pembangunan Berkelanjutan) untuk menghilangkan semua praktik perkawinan anak dengan meningkatkan median usia perkawinan menjadi 21 tahun akan gagal.
  • Tidak pernah ada pembahasan tentang implikasi masalah pasal ini.
  • Kontraproduktif dengan Upaya Penanggulangan HIV: transmisi HIV paling tinggi justru terjadi pada orang yang terestimasi telah menikah, sedangkan dalam KUHP yang saat ini berlaku sekalipun, persetubuhan laki-laki dan perempuan di luar perkawinan dimana salah satu pihak terikat dalam perkawinan sudah dikriminalisasi. Ikatan perkawinan tidak dapat menjamin bahwa perilaku beresiko tidak dilakukan.
  • Dengan adanya bayang-bayang kriminalisasi, maka perbuatan melakukan hubungan seksual di luar hubungan perkawinan termasuk melakukan hubungan seks dengan pekerja seks dianggap sebagai tindak pidana. Itu berarti orang yang terlibat dalam perilaku beresiko tersebut tidak akan mengakses layanan.
  • Kementerian kesehatan berdasarkan pemetaan yang dilakukannya mengestimasi jumlah pekerja seks perempuan sampai dengan 2016 berjumlah 226.791 sampai dengan 364.313, estimasi tertinggi datang dari jumlah pelanggan perempuan pekerja seks sebesar 5.254.065, itu berarti bahwa ada sekitar 5 juta laki-laki menggunakan jasa pekerja seks perempuan di Indonesia dan terlibat dalam persetubuhan di luar perkawinan.

15. Pasal kriminalisasi hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan (Pasal 418 RKUHP)

  • Kriminalisasi hidup bersama sebagai suami istri yang sebelumnya telah dikunci dengan delik aduan absolut yang pengaduannya hanya dapat dilakukan oleh suami, istri, orang tua, dan anak diperluas dengan diperbolehkannya kepala desa atau dengan sebutan lainnya sepanjang tidak terdapat keberatan dari suami, istri, orang tua, anak.
  • Perluasan ini akan menimbulkan kesewenang-wenangan dan overkriminalisasi

16. Pasal kriminalisasi pencabulan sesama jenis (Pasal 420 RKUHP)

  • Dalam draft September 2019, disebutkan bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan cabul yang berbeda atau sama jenisnya padahal syarat-syarat yang dapat mengkiriminalisasi pencabulan sesama jenis telah terpenuhi di dalam syarat pada pasal pencabulan.
  • Penyebutan secara spesifik “sama jenisnya” merupakan bentuk diskriminasi terhadap kelompok minoritas seksual yang semakin rentan untuk dikriminalisasi orientasi seksualnya.

17. Pasal kriminalisasi mempertunjukkan alat pencegah kehamilan (Pasal 414-415 RKUHP)

  • Faktanya sudah didekriminalisasi oleh Jaksa Agung tahun 1978 dan BPHN (1995): Kondom cara paling efektif pencegah penyebaran HIV.
  • Kontraproduktif dengan Upaya Penanggulangan HIV: Dari 10 peraturan perundang-undangan tentang penanggulangan HIV/AIDS di Indoensia, 6 di antaranya memuat aturan tentang “kampanye penggunaan kondom” pada perilaku seks beresiko, dan kesemuanya memberikan kewenangan untuk memberikan informasi tersebut kepada masyarakat secara luas, secara jelas kriminalisasi perbuatan mempertunjukkan alat pencegah kehamilan/ kontrasepsi bertentangan dengan upaya penanggulangan HIV.
  • Kriminalisasi Mengancam Kesehatan Masyarakat: Kontrasepsi menjadi penting untuk memastikan masyarakat terlindungi dari transmisi HIV/AIDS akibat perilaku beresiko.
  • Justru akan menghambat rencana kerja Pemerintah di bidang Kesehatan berdasarkan RPJMN 2015-2019 dan rancangan RPJMN 2020-2024.

18. Menggelandang dipidana Pasal 432 RKUHP

  • Cukup diatur secara administratif di Perda, tidak perlu menjadi bahasan RKUHP.
  • Justru akan menghambat rencana kerja Pemerintah di bidang Kesejahteraan Sosial dan Penanggulanan Kemiskinan berdasarkan RPJMN 2015-2019 dan rancangan RPJMN 2020-2024.

19. Sinkronisasi aturan Kriminalisasi terhadap Perempuan yang Melakukan Pengguguran (Pasal 469 s.d 471 RKUHP dengan Pasal 251 dan Pasal 415 RKUHP)

  • Pengeculian sudah dimuat untuk perempuan yang melakukan aborsi atas dasar kedaruratan medis dan karena perkosaan, namun korban yang menderita kehamilan tidak hanya korban perkosaan, namun bisa kekerasan seksual lainnya misalnya eksploitasi seksual, sehingga pengecualiannya perlu ditegaskan untuk korban kekerasan seksual.
  • Pengecualian ini harus disinkronkan dengan pasal yang berkaitan yaitu Pasal 251 RKUHP tentang memberi obat atau meminta seorang perempuan untuk menggunakan obat dengan memberitahukan atau menimbulkan harapan bahwa obat tersebut dapat mengakibatkan gugurnya kandungan dan Pasal 415 tentang mempertunjukkan suatu alat untuk menggugurkan kandungan, menawarkan, menyiarkan tulisan, atau menunjukkan untuk dapat memperoleh alat untuk menggugurkan kandungan.
  • Harusnya ketentuan Pasal 415 dan Pasal 251 tidak perlu diatur dengan adanya pengecualian dalam Pasal 467 ayat (2).

20. Permasalahan Pengaturan Tindak Pidana Narkotika (Pasal 610-615 RKUHP)

  • Stigma Narkotika Sebagai Masalah Kriminal Bukan sebagai Masalah Kesehatan: Dengan diakomodirnya tindak pidana narkotika dalam RKUHP negara justru secara jelas mengakomodir bahwa pendekatan yang digunakan untuk menangani masalah narkotika adalah dengan pendekatan pidana. Padahal secara internasional negara-negara dunia telah memproklamasikan pembaruan kebijakan narkotika dengan pendekatan kesehatan masyarakat.
  • Pendekatan Pidana tidak terbukti efektif: Penanganan narkotika memerlukan komitmen yang berkelajutan antara pemerintah dan berbagai sektor untuk menyeimbangkan antara supply dan demand, serta mengkontrol agar peredaran gelap narkotika diminimalisir. Pendekatan yang hanya fokus pada pemberantasan supply telah terbukti tidak efektif.
  • RKUHP masih memuat ketentuan pasal karet yang diadopsi langsung dari UU 35/2009, tidak ada perbaikan yang lebih memadai. Padahal jika menelisik UU 35/2009 masih banyak terdapat ketimpangan didalamnya, sehingga saat ini juga sedang dirumuskan RUU Narkotika tersebut.

21. Masalah tindak pidana pelanggaran HAM yang berat tidak sesuai dengan standar HAM Internasional (Pasal 598-599 RKUHP)

  • Memasukkan Kejahatan Genosida dan Kejahatan terhadap Kemanusiaan ke dalam RKUHP dikhawatirkan akan menjadi penghalang untuk adanya penuntutan yang efektif.
  • Tidak diatur klausul tentang kejahatan perang dan kejahatan agresi sesuai Statuta Roma 1998.
  • Kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan tergolong sebagai kejahatan internasional (international crimes) dan luar biasa (extra ordinary crimes). Sedangkan yang diatur dalam KUHP tergolong dalam kejahatan biasa (ordinary crimes) sehingga pengaturan pelanggaran HAM yaitu kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam RKUHP harus dikeluarkan.
  • Asas retroaktif untuk pelanggaran HAM berat tidak diatur didalam buku 1 RKUHP, Akibatnya tindak pidana pelanggaran HAM berat kehilangan asas khusus yang sebelumnya telah melekat di pengaturan UU Nomor 26 Tahun 2000.
  • RKUHP tidak secara tegas mengatur tentang tidak ada batasan mengenai daluwarsa penuntutan dan menjalankan pidana untuk tindak pidana pelanggaran berat terhadap HAM.
  • Ancaman hukuman juga menjadi problem. Di RKUHP ancaman pidana minimal 5 tahun dan maksimal 20 tahun (kejahatan biasa maksimal 20 tahun penjara) sedangkan dalam UU 26/2000 ancaman pidana minimal 10 tahun dan paling lama 25 tahun. Dengan dimasukkannya kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan ke dalam RKUHP, maka UU 26/2000 terutama soal ancaman pidana harus menyesuaikan KUHP baru yang akan berlaku dan ini tidak menguntungkan bagi korban pelanggaran HAM.
  • Penerjemahan dan pengadopsian Kejahatan Genosida dan Kejahatan terhadap Kemanusiaan yang mengalami kesalahan, yang akan memperburuk pendefinisiaan kejahatan-kejahatan ini.
  • Pengaturan Kejahatan Genosida dan Kejahatan terhadap Kemanusiaan dalam R KUHP tidak bisa dilepaskan dengan pengaturan lainnya, misalnya terkait dengan model pertanggungjawaban para pelakunya yang tidak mampu dijangkau RKUHP.

22. Harmonisasi delik dalam RKUHP, utamanya berkaitan dengan UU ITE yang rumusan deliknya telah masuk dalam RKUHP, namun belum dicabut dalam ketentuan penutup RKUHP

Terdapat tumpang tindih antara RKUHP dengan UU ITE:

  1. Penyebaran konten melanggar kesusilaan dalam Pasal 412 dan Pasal 413 RKUHP dengan Pasal 27 ayat (1) UU ITE
  2. Penghinaan dalam Pasal 439 ayat (2) dengan Pasal 27 ayat (3) UU ITE
  3. Penghinaan terhadap Golongan Penduduk (Pasal 243 RKUHP) dengan Pasal 28 ayat (2) UU ITE
  4. Penyiaran berita bohong yang merugikan konsumen dalam Pasal 512 RKUHP dengan Pasal 28 ayat (1) UU ITE
  5. Penyiaran berita bohong Pasal 262 ayat (1) ayat (2) dan Pasal 263 RKUHP dengan ide kriminalisasi berita bohong baru dalam proses revisi UU ITE
  • Harusnya dalam aturan peralihan mencabut ketentuan dalam UU ITE yang menduplikasi pengaturan dalam RKUHP.

23. Harmonisasi delik dalam RKUHP berkaitan dengan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual

–    UU TPKS memperluas cakupan tindak pidana kekerasan seksual melalui Pasal 4 ayat (2) sehingga tidak hanya mencakup delik-delik yang secara khusus dirumuskan dalam UU tersebut, tetapi juga mengkualifikasikan delik-delik lain di luar UU TPKS sebagai tindak pidana kekerasan seksual.

–     Adapun delik-delik di luar UU TPKS yang dicakupkan sebagai delik kekerasan seksual, berdasarkan UU TPKS, di antaranya:

  • perkosaan;
  • perbuatan cabul;
  • persetubuhan terhadap Anak, perbuatan cabul terhadap Anak, dan/atau eksploitasi seksual terhadap Anak;
  • perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak Korban;
  • pornografi yang melibatkan Anak atau pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual;
  • pemaksaan pelacuran;
  • tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual;
  • kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga;
  • tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya merupakan Tindak Pidana Kekerasan Seksual; dan
  • tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
  • Namun, dalam rumusan Pasal 4 ayat (2) UU TPKS yang menyebutkan bentuk-bentuk perbuatan dalam UU lain yang didefinisikan sebagai kekerasan seksual, tidak dituliskan acuan pasal nya namun hanya menyebutkan nama delik, sedangkan perbuatan-perbuatan tersebut tidak semua menyebut secara tegas delik, misalnya perkosaan: yang menyebutkan perkosaan hanya Pasal 285 KUHP, sedangkan seluruh perbuatan perkosaan tersebut dalam Pasal 286, 287, 288.
  • Apabila dilihat secara saksama, model yang dipilih Pasal 4 ayat (2) UU TPKS untuk mengualifikasikan delik-delik di luar UU tersebut sebagai kekerasan seksual dapat dipilah menjadi dua pendekatan, yaitu:
  • merinci daftar perbuatan dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada sebagai TPKS (listing). Ini terlihat dari perbuatan dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a hingga i yang dicakupkan sebagai Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
  • menggunakan konsep blanco strafbepalingen sehingga, apabila ada UU lain di kemudian hari menyatakan delik yang diaturnya sebagai Tindak Pidana Kekerasan Seksual, maka berbagai pengaturan yang diatur oleh UU TPKS dapat diterapkan. Model ini pertama kali digunakan dalam UU 7/Drt/1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.
  • Penting untuk dipahami bahwa seandainya RKUHP diundangkan, maka tindak pidana yang dirumuskan RKUHP akan bertindak sebagai tindak pidana baru dalam kerangka legislasi Indonesia.
  • Oleh karena itu, khusus untuk delik-delik yang memiliki irisan dengan Tindak Pidana Kekerasan Seksual seperti perkosaan, perbuatan cabul, dan sebagainya, RKUHP perlu menegaskannya kembali sebagai Tindak Pidana Kekerasan Seksual agar mekanisme yang disusun UU TPKS dapat diberlakukan terhadap delik-delik tersebut, sesuai dengan mekanisme yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) huruf j UU TPKS.
  • Tanpa penegasan tersebut, delik-delik di RKUHP yang memiliki irisan dengan Tindak Pidana Kekerasan Seksual tidak dapat diberlakukan berbagai pengaturan di UU TPKS mengingat model pendekatan listing hanya berlaku bagi tindak pidana yang sudah ada sebelum UU TPKS diundangkan.

24. Pentingnya penekanan RKUHP sebagai kodifikasi

  • Penjelasan Umum RKUHP memaparkan posisi penting RKUHP sebagai rekodifikasi hukum pidana untuk menyelaraskan perkembangan berbagai ketentuan pidana sejak kemerdekaan Indonesia, baik dalam konteks asas maupun rumusan delik
  • Meski demikian, tidak satu pun batang tubuh RKUHP yang menjelaskan konsekuensi pengesahan RKUHP terhadap upaya mengkonsolidasikan hukum pidana dalam bentuk kodifikasi
  • Ketiadaan pengaturan tersebut akan membuka kemungkinan diulanginya kesalahan yang sama bahkan setelah RKUHP disahkan, yakni kecenderungan Pemerintah dan DPR untuk menciptakan ketentuan pidana baru hampir di setiap undang-undang dan tidak melihat proses pembangunan hukum pidana sebagai sebuah sistem yang terkodifikasi.
  • Sebagai akibatnya, saat ini, Indonesia memiliki masalah serius dalam menyelaraskan keseriusan tindak pidana dan berat-ringannya ancaman pidana.
  • Oleh karena itu, perlu dirumuskan suatu ketentuan yang menegaskan konsekuensi pengesahan RKUHP terhadap proses kriminalisasi yang akan dilakukan di kemudian hari, yaitu RKUHP dijadikan pedoman dalam melakukan kriminalisasi, baik dalam konteks perumusan asas dan unsur-unsur delik maupun penentuan ancaman pidana.

 

Leave a Reply