Penyusunan Ancaman Pidana Harus Objektif dan Berbasis Data
Sejumlah materi muatan RUU KUHP masih mendapat kritik dari beragam kelompok masyarakat dan beragam kepentingan. DPR dan Pemerintah masih membuka ruang bagi masyarakat untuk memberikan masukan dalam proses penyusunan. Di berbagai forum, masyarakat memang melayangkan kritik. Misalnya, ada pasal yang sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi masih dimasukkan lagi ke dalam draf.
Masalah lain yang disorot adalah ancaman hukuman pidana yang dimasukkan ke dalam setiap pasal. Pada beberapa pasal ancaman pidananya lebih berat dibanding rumusan KUHP saat ini; dan ada juga yang lebih ringan. Misalnya, Pasal 207 KUHP mengancam penjara 1,5 tahun atau denda maksimal 4.500 rupiah (sebelum penyesuaian) barangsiapa dengan sengaja di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina suatu penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia.
Bandingkan dengan Pasal 266 RUU KUHP yang mengancam pidana maksimal 4 tahun atau denda paling banyak Kategori IV setiap orang yang dimuka umum dengan lisan atau tulisan yang menghasut orang untuk melakukan tindak pidana atau menghasut orang untuk melakukan penguasa umum dengan kekerasan.
Pengajar pidana pada Sekolah Tinggi Hukum Jentera Jakarta, Anugerah Rizky Akbari, berpendapat harus ada parameter dan ukuran yang jelas mengapa suatu tindak pidana diancam hukuman tujuh atau 15 tahun, misalnya. Sebagai penyusun RUU KUHP, Pemerintah dan DPR harus bisa menjelaskan secara logis, objektif, dan dikuatkan dengan data asal muasal lamanya hukuman yang diancamkan atau besaran denda yang dimuat. “Perhitungannya harus objektif, jelas, berbasis data, dan ada buktinya,” ujarnya dalam diskusi mengenai RUU KUHP di Jakarta, Selasa (13/2) lalu.
Dalam penyusunan RUU KUHP, pemerintah sebenarnya sudah melibatkan sejumlah ahli pidana untuk membahas dan memberikan masukan. Hasilnya, sudah ada 735 pasal yang disusun, termasuk pasal-pasal mengenai hukuman. Dalam RUU KUHP pidana pokok meliputi pidana penjara, pidana tutupan, pidana pengawasan, pidana denda, dan pidana kerja sosial. Selain pidana pokok ada pidana tambahan dan pidana yang bersifat khusus sesuai tindak pidana tertentu yang ditentukan dalam Undang-Undang. Berkaitan dengan denda, RUU mengatur tujuh kategori denda.
Namun, keikutsertaan ahli dalam penyusun rancangan tak selamanya menjamin penyusunan ancaman hukuman penjara dan denda objektif dan berbasis data. Psikolog forensik, Nathanael E.J. Sumamouw, mengatakan para ahli yang dilibatkan dalam prnyusunan suatu peraturan juga berpotensi bias. Karena itu, sependapat dengan Anugerah Rizky Akbari, Nathanael menilai penting membuat hukuman itu dengan data dan skor yang terukur. “Ahli juga rentan terhadap bias,” ujarnya.
Yurisprudensi Mahkamah Agung dan hasil-hasil penelitian bisa dijadikan rujukan oleh Pemerintah, DPR dan para ahli ketika menyusun rumusan hukuman untuk suatu tindak pidana. “Jangan instan. Ancaman pidana itu jangan dinegosiasikan,” kata Eky, panggilan Anugerah Rizky Akbarii.
Perlunya pertimbangan matang dalam penyusunan jenis hukuman dan faktor-faktor yang memperberatnya juga disuarakan Ni Made Martini Puteri. Kriminolog FISIP Universitas Indonesia ini memberi contoh selama ini perbuatan pidana yang dilakukan di malam hari berimplikasi pada perberatan hukuman. Filosofinya karena malam hari suasana tenang memungkinkan orang melakukan kejahatan brutal, sehingga orang yang mengganggu ketenangan orang lain layak diperberat hukumannya. Lantas, apakah siang hari orang tak bisa melakukan kejahatan brutal? Faktanya, kata Ni Made, banyak kejahatan saat ini yang dilakukan siang hari dengan cara-cara yang brutal, sama brutalnya dilakukan di tempat gelap malam hari.
Ia juga meminta para penyusun tidak menggeneralisasi model penghukuman seolah-olah semua tindak pidana hanya berujung pada hukuman penjara. Sesuai dengan perubahan paradigma pemidanaan, dan kondisi faktual kelebihan beban lembaga pemasyarakatan, sebaiknya hukuman alternatif selain penjara diperkuat. Selain itu, penghukuman perlu memerhatikan kelompok rentan seperti anak-anak, kaum difabel, dan faktor usia. “Penghukuman harus mempertimbangkan keadilan,” ujarnya.
Dosen hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia Eva Achjani Zulva menyarankan agar Pemeirntah dan DPR melakukan kajian ulang terhadap substansi RUU KUHP. Berdasarkan penelusurannya, masih ada beberapa pasal replikasi yang menunjukkan disparitas. Jika inkonsistensi perumusan pidana itu dibiarkan, kelak akan timbul masalah dalam praktik.
Sumber: http://m.hukumonline.com/berita/baca/lt5a87aff3bc6ac/penyusunan-ancaman-pidana-harus-objektif-dan-berbasis-data