3 Pasal RKUHP yang Abai Hak Kelompok Rentan

oleh: Riesta Aldila

Hingga tahun 2022 ini pengesahan RKUHP mengalami penundaan, pasalnya masih banyak beberapa aturan yang harus direvisi dan dipertimbangkan dampaknya. Dari draft terakhir RKUHP September 2019, masih ada pasal-pasal yang berpotensi melahirkan korban baru dengan mengesampingkan hak-hak kelompok rentan termasuk hak anak dan juga hak perempuan, berikut di antaranya:

  1. Pasal 412 RKUHP, pengaturan kriminalisasi kesusilaan

“Dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II, Setiap Orang yang:

  1. melanggar kesusilaan di muka umum; atau
  2. melanggar kesusilaan di muka orang lain yang hadir tanpa kemauan orang yang hadir tersebut.” 

Terdapat frasa “di muka umum”, hal ini berpotensi memberikan perlindungan secara khusus terhadap pihak yang memiliki keistimewaan untuk menutupi tindak pidana ini, namun bersifat diskriminasi dan merentankan kelompok lainnya yang tidak memiliki keistimewaan itu. Semisal kelompok yang tidak mampu dan bertempat tinggal serta memiliki lokasi mobilitas yang mudah terlihat, bahkan didatangi dan disaksikan oleh pihak-pihak lainnya.

 

  1. Pasal 414 serta 416 ayat (1) dan (3) RKUHP, pengaturan seputar edukasi dan promosi alat pencegah kehamilan dan kontrasepsi

“Pasal 414

Setiap Orang yang secara terang-terangan mempertunjukkan, menawarkan, menyiarkan tulisan, atau menunjukkan untuk dapat memperoleh alat pencegah kehamilan kepada Anak dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I.

Pasal 416 ayat (1) dan (3)

(1) Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 414 tidak dipidana jika dilakukan oleh petugas yang berwenang dalam rangka pelaksanaan keluarga berencana, pencegahan penyakit infeksi menular seksual, atau untuk kepentingan pendidikan dan penyuluhan kesehatan.

(3) Petugas yang berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk relawan yang kompeten yang ditugaskan oleh Pejabat yang berwenang.”

 

Rumusan yang terdapat dalam pasal ini berpotensi menghalangi partisipasi masyarakat dalam mengedukasi Kesehatan seksual dan program keluarga berencana di kalangan terdekatnya, padahal hak atas informasi Kesehatan termasuk Kesehatan seksual dan reproduksi sudah dijamin oleh UU Kesehatan.

Ancaman pidana bagi setiap orang yang mempromosikan alat kontrasepsi pada anak ini akan berpotensi juga dalam menimbulkan banyak interpretasi yang membahayakan Kesehatan masyarakat terutama anak. Kata “petugas yang berwenang” dapat menutup akses seperti orang tua, pendidik atau konselor dalam memberikan informasi dan edukasi Kesehatan reproduksi bagi anak dan remaja. Tentu hal ini akan menimbulkan kesulitan dalam upaya menekan angka kehamilan tak diinginkan dan penyakit menular seksual.

 

  1. Pasal 417 ayat (1) dan Pasal 418 ayat (1) RKUHP, kriminalisasi setiap bentuk persetubuhan di luar ikatan perkawinan

“Pasal 417 ayat (1)

(1) Setiap Orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinaan dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda kategori II

Pasal 418 ayat (1)

(1) Setiap Orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori II.”

Kedua pasal ini memiliki potensi dalam pelanggaran hak dan perlindungan privasi masyarakat di tempat-tempat privat dan juga terhadap pasangan yang diduga melakukan persetubuhan tanpa ikatan perkawinan yang sah secara hukum di Indonesia.

Yang pertama, selama tidak ada unsur ancaman, kekerasan, dan tipu daya, suatu perilaku seksual sudah seharusnya menjadi wewenang Pendidikan dan layanan Kesehatan reproduksi, bukan hukum. Dalam hal ini anak dan remaja menjadi kelompok yang rentan menjadi korban, pemidanaan terhadap hal ini berpotensi meningkatkan angka perkawinan anak di Indonesia karena dianggap sebagai jalan keluar dalam menghindari ancaman pidana. Padahal seharusnya hal ini bisa dicegah dengan Pendidikan reproduksi dan layanan Kesehatan.

Kedua terkait frasa “ikatan perkawinan”, di Indonesia sendiri kepemilikan bukti perkawinan seperti buku nikah bagi yang beragama islam dan akta nikah (kristiani, hindu, buddha, konghuchu, dan aliran kepercayaan) masih tergolong rendah terutama di kelompok rentan dan miskin. Hanya setengah pasangan menikah memiliki bukti perkawinan (Bappenas, 2014). Studi yang sama menunjukkan, 55% pasangan menikah di rumah tangga miskin tidak memiliki bukti perkawinan. Temuan studi berikutnya (Bappenas, 2016) menemukan 41% pasangan menikah tidak dapat menunjukkan bukti perkawinannya. Studi yang sama menunjukkan, 20% pasangan menikah tidak tercantum sebagai kawin di Kartu Keluarga mereka.

Ketimpangan ini menunjukkan bahwa RKUHP masih memuat pasal yang mengabaikan hak kelompok rentan yang seharusnya dibenahi terlebih dahulu sebelum dimasukkan ke dalam jajaran pasal di RKUHP, karena jika tidak, akan banyak sekali kelompok rentan yang terkena jerat pidana karena hal yang seharusnya menjadi hak mereka untuk mendapat layanan yang sama dengan masyarakat Indonesia lainnya.

Leave a Reply