Ajaran Kausalitas dalam R KUHP

Oleh: Ahmad Sofian

Pengantar

Kausalitas dalam hukum pidana terkait dengan sebuah pertanyaan besar yaitu siapakah yang bisa ditempatkan sebagai   “penyebab” atas hasil dari tindak pidana ? Jawaban atas pertanyaan ini memiliki hubungan erat dengan apakah ada hubungan sebab akibat antara perbuatan seorang pelaku dengan hasil kejahatan, atau apakah hasil dari kejahatan tersebut sudah mencukupi untuk meminta pertanggungjawaban pelaku tersebut.

Ajaran kausalitas dalam ilmu pengetahuan hukum pidana digunakan untuk menentukan tindakan yang mana dari serangkaian tindakan yang dipandang sebagai sebab dari munculnya akibat yang dilarang. Jan Remmelink, mengemukakan bahwa yang menjadi fokus perhatian para yuris hukum pidana adalah apa makna yang dapat dilekatkan pada pengertian kausalitas agar mereka dapat menjawab persoalan siapa yang dapat dimintai pertanggungjawaban[1] atas suatu akibat tertentu. Dalam hal ini, selain sudut pandang pembuat undang-undang, kepatutan dan kepantasan (billijkheid en redelijkheid) akan memainkan peran penting. Terlihat kemudian, bahwa pembuat undang-undang mendukung pandangan dominan yang diterima oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-­hari: disebut adanya kausalitas apabila kejadian A, baik secara fisik maupun psikis, berpengaruh terhadap kejadian B yang muncul sesudahnya, dan bahwa untuk munculnya kejadian B, kejadian A harus terjadi lebih dahulu, sehingga akibat B tersebut tidak dapat dianggap sebagai ‘kebetulan’ belaka.[2]

Tidak mudah untuk menentukan apa yang dianggap sebagai sebab terjadinya suatu akibat yang dilarang oleh hukum pidana, karena suatu akibat dapat timbul disebabkan oleh berbagai faktor yang saling berhubungan. Misalnya dalam suatu peristiwa yang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang. Ilustrasi kasus hipotesis di bawah ini bisa menggambarkannya : A dan B berkelahi. Dalam perkelahian tersebut B yang berpenyakit jantung terkena pukulan yang mengenai kepalanya sehingga terlihat tidak sadarkan diri, melihat kejadian itu A kabur. Lima belas menit setelah A Kabur, melintas C (seorang tukang becak) yang segera memberikan pertolongan kepada B. C dibantu dengan beberapa orang menaikkan B ke dalam becaknya. Dalam keadaan tergesa-gesa C segera membawa B ke rumah sakit terdekat, ketika hendak menyeberang jalan becak yang dikendarai C tertabrak mobil E, sehingga B dan C terlempar ke tepi jalan. E sebagai warga masyarakat yang baik membawa mereka ke sebuah rumah sakit, sesampai di rumah sakit petugas medis tidak segera memberikan pertolongan terhadap B dan C, dua puluh menit kemudian B meninggal dunia.

Pertanyaan yang muncul dari contoh kasus hipotesis di atas adalah perbuatan manakah yang menimbulkan akibat yang dilarang dan siapa (siapa-siapa) saja yang dapat diminta pertanggungjawaban pidananya ?

Kausalitas dijadikan sebagai “filter” dalam membangun pertanggungjawaban pidana seseorang. Sebagai filter, kausalitas akan menyaring apa saja perbuatan-perbuatan faktual yang dilakukan oleh pelaku, setelah perbuatan faktual terjaring selanjutnya akan dicari perbuatan hukumnya. Dengan menemukan perbuatan hukumnya maka seseorang akan dapat diminta pertangggungjawabannya.[3]

Dalam menganalisis ada tidaknya kausalitas dalam sebuah tindak pidana maka ada pandangan yang mengatakan bahwa yang pertama dianalisis adalah faktor-faktor atau alasan-alasan yang menyebabkan terjadinya sebuah peristiwa pidana. Faktor-faktor ini bisa dianalisis dari beberapa kecenderungan diantaranya adalah kondisi (causa sine qua non), apakah faktor tersebut dapat diterima akal atau tidak, apakah ada kemungkinan lain yang dapat dinilai, kedekatan peristiwa tersebut dengan peristiwa lainnya (adequacy). Apakah faktor-faktor tersebut cukup jelas dan didefinisikan dalam sebuah sistem hukum atau tidak? Jika tidak didefinisikan maka dapat dibuat kriteria tambahan yang dapat diprediksikan.[4]

Ajaran Kausalitas dalam KUHP

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak secara eksplisit merujuk pada salah satu ajaran yang ada. Hal ini dapat disimpulkan dari riwayat pembentukan KUHP maupun dari pasal-pasal di dalam KUHP. [5] Remmelink men­dapat kesan, bahwa pembuat undang-undang beranjak semata-mata dari kenyataan kehidupan sehari-hari, dengan kata lain beranjak dari pemahaman umum yang diberikan pada pengertian sebab. Tampaknya hal ini dipandang hanya sebagai persoalan pada tataran fakta. Hakim sekadar menetapkan adanya hubungan demikian atau tidak (factual cause). Ini tidak menutup kemung­kinan bahwa pada saat itu sudah dikenal ajaran filosofis maupun hukum pidana yang menyatakan bahwa tiap kejadian, yang tanpanya peristiwa pidana tidak akan terjadi, dapat dipandang sebagai sebab. Meskipun demikian, berkenaan dengan delik-delik yang dikualifikasi, pembuat undang-undang pasti sudah hendak memperhitungkan perlunya pembatasan bagi penentuan kejadian yang layak disebut penyebab. Pembuat undang-undang tidak mung­kin bertujuan menuntut pelaku untuk bertanggung jawab atas semua hal­ (termasuk yang paling tidak mungkin) yang berkaitan dengan delik. Menurut Remmelink bahwa ajaran relevansilah yang paling mendekati sebagai landasan pemahaman kausalitas dalam KUHP (Belanda maupun Indonesia). Berbeda dengan Remmelink, menurut Wirjono Prodjodikoro KUHP tidak menganut suatu teori kausalitas tertentu. Jaksa dan Hakim diberi keleluasaan memilih diantara teori-teori kausalitas yang dikenal.[6]

Namun demikian ada beberapa pasal dalam KUHP yang dikategorikan sebagai tindak pidana yang memerlukan causal verband (hubungan sebab akibat) dalam perumusan deliknya. Sebagaimana dikemukakan oleh Satochid bahwa ada tiga jenis tindak pidana yang memerlukan ajaran kausalitas dalam pembuktiannya yaitu tindak pidana materiil, tindak pidana yang dikualifisir oleh akibatnya dan tindak pidana omisi yang tidak sempurna.[7]

Ajaran Kausalitas dan R-KUHP

Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU-KUHP) versi 2015 hanya terdiri dari 2 buku yaitu Buku Kesatu tentang Ketentuan umum dan Buku Kedua tentang Tindak Pidana. Dalam naskah akademik RUU-KUHP disebutkan bahwa KUHP yang berlaku sekarang ternyata tidak memuat semua bangunan/konstruksi konseptual sistem hukum pidana atau ajaran hukum pidana umum di dalam Buku I. Beberapa materi yang tidak disebutkan secara eksplisit dalam Buku I KUHP tersebut antara lain ketentuan mengenai tujuan dan pedoman pemidanaan, pengertian/hakikat tindak pidana, sifat melawan hukum, asas ketiadaan sama sekali sifat melawan hukum, masalah kausalitas, masalah kesalahan atau pertanggungjawaban pidana termasuk pertanggungjawaban pidana korporasi.[8]

Penting untuk memasukkan ajaran umum[9] atau konstruksi konsepsional ke dalam KUHP meskipun ajaran atau konstruksi konsepsional tersebut ada di dalam doktrin. Pentingnya memasukkan ajaran tersebut di dalam RUU-KUHP karena konstruksi konsepsional tersebut sering dilupakan atau bahkan kemungkinanan diharamkan dalam praktek atau putusan pengadilan karena tidak ada rumusannya secara eksplisiti di dalam KUHP.[10]

RUU-KUHP 2015 sudah memasukkan beberapa bangunan konseptual yang selama ini belum ditemukan di dalam KUHP sebelumnya. RUU-KUHP sudah memasukkan secara tegas konstruksi konseptual tindak pidana, kesalahan, pertanggungjawaban pidana, tujuan pemidanaan yang merupakan jiwa sistem pemidanaan. RUU-KUHP juga memasukkan beberapa konsepsi lain yang selama ini tidak ditemukan dalam Buku Kesatu KUHP seperti permufakatan jahat, persiapan melakukan tindak pidana.

Meskipun beberapa bangunan konseptual sudah dimasukkan dalam RUU-KUHP, penyusun RUU-KUHP tidak memasukkan ajaran kausalitas dalam Buku Kesatu RUU-KUHP 2015 sebagai sebuah doktrin. Pemaknaan ajaran ini tidak ditemukan dalam konstruksi konseptual RUU-KUHP sehingga pemaknaan ajaran ini akan dikembalikan lagi kepada doktrin.

Namun demikian di dalam Paragraf 3 dengan judul Kesengajaan dan Kealpaan, pasal 40 ayat (3) dinyatakan :

“Seseorang hanya dapat dipertanggungjawabkan terhadap akibat tindak tertentu yang oleh Undang-Undang diperberat ancaman pidananya, jika ia mengetahui kemungkinan terjadinya akibat tersebut atau sekurang-kurangnya ada kealpaan”

Secara doktrin, rumusan ketentuan di atas merupakan tindak pidana yang dikualifisir oleh akibatnya. Artinya tindak pidana akan mengalami pemberatan jika akibat yang dilarang timbul, dan akibat yang dilarang tersebut yang sebelumnya sudah dapat diduga oleh si pelaku atau ada kealpaan. Ini merupakan salah satu bagian dari manifestasi ajaran kausalitas sebagaimana sudah disebutkkan dalam Bab II, sub 2.5. bahwa ajaran kausalitas ditemukan dalam tindak pidana yang dikualifisir oleh akibatnya.

Tindak pidana yang dikualifisir oleh akibatnya ini mengacu pada ajaran kesalahan seperti yang dianut oleh van Hamel. Untuk menentukan pemberatan   pertanggungjawaban pidana atas akibat yang muncul digunakanlah ajaran kesalahan. Dalam kaitan ini hakim dapat menjatuhkan pidana yang lebih berat daripada tindak pidana biasa apabila adanya akibat lain yang muncul atas tindak pidana tersebut.[11]

Pasal tersebut juga seolah memberikan justifikasi atas ajaran adequate subjective (subjective prognose) dari van Kries. Ajaran ini mengatakan bahwa dalam menentukan sebab, maka dipilihlah satu faktor yang sebelumnya sudah dapat diperkirakan akibatnya oleh pelaku. Dengan demikian pelaku, seharusnya sudah dapat menduga-duga tentang akibat dari perbuatannya tersebut sehingga pelaku harus bertanggung jawab atas akibat yang muncul dari perbuatan tersebut.[12]

Meskipun RUU-KUHP tidak memberikan bangunan konseptual tentang ajaran kausalitas, namun dalam Buku Kedua, ditemukan rumusan tindak pidana materiil, tindak pidana yang dikualifisir oleh akibatnya dan tindak pidana omisi yang tidak murni. Bahkan karena RUU-KUHP merupakan unifikasi dan kodifikasi atas tindak pidana yang selama ini berada di luar KUHP, maka tindak pidana yang memerlukan ajaran kausalitas menjadi lebih banyak.

Di dalam RUU-KUHP ditemukan sekitar 66 pasal yang perumusannya memiliki elemen causal verband yang terdiri dari tindak pidana materiil, tindak pidana yang dikualifisir dengan akibat, omisi tidak murni, tindak pidana karena kealpaannya menimbulkan akibat yang dilarang. Di dalam RUU-KUHP juga ditemukan rumusan pasal tindak pidana yang dirumuskan secara materiil bersyarat yaitu, sebuah tindak pidana baru dapat diminta pertanggungjawaban pidananya jika akibat yang dilarang muncul dan diikuti dengan syarat-syarat tertentu yang dikehendaki oleh penyusun undang-undang. Misalnya pasal 485 (2) yang menyatakan bahwa laki-laki yang tidak beristeri bersetubuh dengan perempuan yang tidak bersuami dengan persetujuan perempuan tersebut mengakibatkan perempuan tersebut hamil dan tidak bersedia mengawani atau atau ada halangan untuk kawin yang diketahuinya, dipenjara paling lama 5 tahun.[13] Pasal ini mengandung elemen tindak pidana materiil yaitu “mengakibat perempuan hamil” dan mengandung syarat yaitu “si laki-laki tidak bersedia unuk mengawini atau terhalang untuk kawin”. Rumusan ini mengindikasikan bahwa baru dikatakan tindak pidana menunggu akibatnya muncul yaitu hamil dan laki-laki tidak bersedia atau terhalang menikah.

RUU-KUHP telah banyak mengakomodir rumusan tindak pidana yang awalnya dirumuskan secara formil kemudian dirubah dengan rumusan tindak pidana secara materiil. Perubahan rumusan tindak pidana ini didasarkan pada banyak pertimbangan salah satunya adalah pasal-pasal yang tertera dalam KUHP merupakan pasal-pasal yang banyak menghambat kebebasan dan mengekang penduduk sipil karena disusun untuk memperkuat posisi pemerintah kolonial.

Rudi Satrio mengatakan RUU-KUHP sudah telah banyak melakukan perubahan rumusan tindak pidana dari rumusan formil ke rumusan materiil. Dia mencontohkan pasal 160 KUHP yang dirumuskan secara formil, dalam RUU-KUHP diubah menjadi dirumuskan secara materiil. Ketentuan pasal 160 KUHP digunakan untuk membungkam rakyat oleh penguasa. Menurutnya harus ada hubungan kausalitas antara perbuatan menghasut dengan akibat yang timbul dari perbuatan menghasut tersebut, misalnya timbulnya kerusuhan.[14] Pasal 160 KUHP, telah dirumuskan secara materiil dalam pasal 284 dan pasal 285 RUU-KUHP.[15]

Meskipun telah terjadi perubahan dari rumusan tindak pidana formil ke rumusan tindak pidana materiil pada beberapa pasal, namun penyusun RUU-KUHP masih mempertahankan dualisme rumusan tindak pidana dengan tetap mencantumkan rumusan tindak pidana formil dengan memformulisir seolah-olah sebagai tindak pidana baru. Pasal 290 yang bertajuk penghasutan untuk melawan penguasa umum yang menyatakan bahwa seseorang bisa dipidana jika menghasut orang untuk melakukan tindak pidana dan menghasut orang untuk melawan penguasa umum dengan kekerasan.[16] Pasal ini dirumuskan secara formil, meskipun orang yang dihasut tersebut tidak melakukan tindak pidana atau tidak menimbulkan perlawanan umum, maka jika perbuatan menghasut sudah dilakukan maka seseorang yang melakukan penghasutan tersebut dikenakan pidana, tidak penting akibatnya muncul atau tidak. Demikian juga dengan rumusan pasal 291 RUU-KUHP yang menyatakan bahwa barang siapa yang menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau gambar dimuka umum yang berisi hasutan untuk melakukan tindak pidana atau melawan penguasa umum dengan kekerasan dipidana penjaran paling lama 4 (empat tahun).[17] Pasal ini pun terlihat jelas dirumuskan secara formil, meskipun orang yang dihasut tidak melakukan tindak pidana atau melawan penguasan umum, maka tetap penghasutan dengan gambar atau tulisan ini dikenakan pidana.

Hal yang sama juga ditemukan dalam BAB XIX tentang Tindak Pidana Penghinaan yang diatur dalam pasal 540 sampai dengan 550 RUU-KUHP.[18] Pasal-pasal ini dirumuskan secara formil yang mempidanakan setiap orang yang mencemarkan nama baik, melakukan penghinaan, fitnah, persangkaan palsu, pencemaran terhadap orang yang sudah meninggal. Dalam praktek pasal-pasal pencemaran nama baik merupakan pasal yang lentur sehingga menghambat kebebasan berekspresi dan acap kali digunakan untuk mengkriminalkan siapa yang saja termasuk orang mengkritik orang lain atau orang yang complaint atas sebuah layanan publik. Karena itu sebaiknya pasal-pasal ini dirumuskan secara materiil sehingga orang yang menjadi korban pencemaran nama baik harus bisa membuktikan bahwa akibat dari perbuatan tersebut yang bersangkutan mengalami kerugian atau berada dalam suatu bahaya.

Aspek lain yang perlu dianalisis dari rumusan pasal RUU-KUHP yaitu pasal-pasal yang sudah menentukan perbuatan-perbuatan tertentu yang menimbulkan akibat yang dilarang sebagaimana dianut oleh teori relevansi[19], misalnya dalam pasal 358, pasal 360, pasal 361 dan pasal 362. Dalam rumusan pasal-pasal tersebut telah ditentukan perbuatan-perbuatan yang menimbulkan akibat yang dilarang secara limitatif. Misalnya dalam pasala 358 disebutkan bahwa perbuatan-perbuatan melawan hukum yang dilarang yang menimbulkan akibat bahaya kebakaran adalah : menyembunyikan atau membuat tidak dipakai perkakas atau alat pemadam kebakaran atau merintangi atau menghalangi pekerjaan memadamkan kebakaran. Demikian juga dengan pasal 359, perbuatan-perbuatan melawan hukum yang dilarang yang dapat menimbulkan banjir disebutkan yaitu membuat tidak dapat dipakai bahan untuk tanggul, atau perkakas, menggagalkan usaha memperbaiki tanggul atau bangunan pengairan lain atau merintangi usaha untuk mencegah atau membendung banjir. Perbuatan-perbuatan ini secara limitatif sudah disebutkan, artinya jika ada perbuatan lain di luar ketentuan tersebut, maka bukan merupakan perbuatan yang menimbulkan akibat yang dilarang seperti yang dikehendaki oleh pasal 358 dan 359 RUU-KUHP. Dengan demikian ruang lingkup penyebab menjadi terbatas, tidak bisa diperluas sebagaimana teori Von Buri atau tidak bisa juga mencari penyebab yang dekat secara objektif.

Perumusan dengan menyebutkan penyebab secara limitatif tetapi dibuka kemungkinan penyebab lain yang menimbulkan akibat yang dilarang dijumpai dalam beberapa pasal yaitu pasal 365 RUU-KUHP. Pasal 365 tentang pengrusakan bangunan listrik atau mengakibatkan fungsi bangunan tersebut terganggu. Pasal ini menyebutkan beberapa perbuatan yang mengakibatkan bangunan tersebut rusak, namun memberikan peluang juga perbuatan lain yang tidak dilingkupi oleh pasal tersebut yang selanjutnya dalam rumusan berikutnya memasukkan elemen pemberatan yang meliputi timbulnya rintangan dalam mengalirkan listrik, timbulnya bahaya umum bagi barang, timbulnya bahaya bagi nyawa orang lain atau timbulnya kematian.

Rumusan lain yang juga ditemukan dalam RUU-KUHP ini adalah tindak pidana yang menimbulkan sesuatu yang dilarang karena kelalaian. Rumusan tindak pidana seperti ini dijumpai dalam 8 pasal yaitu 356 (kebakaran/ledakan), 366 (bangunan listrik hancur), 368 (bangunan lalu lintas umum rusak), 372 (rusaknya bangunan pelayaran), 390 (tercemarnya lingkungan), 396 (menimbulkan bahaya kesehatan), 603 (menimbulkan mati atau luka) dan 604 (menimbulkan bati atau luka). Dari rumusan tindak pidana tersebut di atas khusus untuk pasal 603 dan pasal 604 dalam sub judul pasal tersebut yang ada di dalam Bab XXV secara khusus menyebutkan judul “Tindak Pidana yang Menimbulkan Mati atau Luka karena Kealpaan”. Pasal ini secara tegas merumuskan delik materiil yang timbul karena kealpaan, sehingga secara praktis lebih mempermudah pemahaman tentang tindak pidana tersebut sebagai tindak pidana materiil bagi para penegak hukum.

Meski tidak ada aturan baku dalam perumusan tindak pidana materiil, namun beberapa pasal dalam RUU-KUHP memberikan rumusan dengan dalil : “menyebabkan”, “menimbulkan akibat”, “mengakibatkan”. Khusus untuk rumusan pasal menghilangkan nyawa orang lain RUU-KUHP pasal 583, 585, 586, 587 menggunakan dalil “merampas” nyawa orang lain. “Merampas” nyawa orang lain menimbulkan kesan kata tersebut tidak terlalu tawar atau netral jika dibandingkan dengan kata “menghilangkan”, “menyebabkan” atau “mengakibatkan”. Bahkan menurutnya kata-kata tersebut tidak mengandung makna atau sifat jahat jika dibandingkan dengan “merampas (barooven)”.[20] Perumus RUU-KUHP menggunakan kata “merampas” untuk tindak pidana menghilangkan nyawa orang lain mengindikasikan sebagai rumusan yang masih kabur, karena “merampas” apakah dimakanai sebagai “hilangnya nyawa orang lain”, atau agar rumusan ini konsisten dengan rumusan pasal tindak pidana materiil lainnya dirumuskan dengan “merampas nyawa orang lain yang menyebabkan atau menimbulkan akibat kematian”.

Bagian lain tentang rumusan tindak pidana materiil ini ditermukan   beberapa pasal yang dirumuskan dengan menggabungkan antara tindak pidana kealpaan yang menimbulkan akibat yang dilarang dan tidak pidana yang dikualifisir dengan pemberatan, sehingga rumusan tindak pidana tersebut menjadi tindak pidana kealpaan dengan pemberatan. Pasal-pasal yang dirumuskan tersebut 370, pasal 374 dan pasal 376. Berikut ini dikutip salah satu pasal yang dirumuskan dengan menggabungkan antara elemen kealpaan dan elemen yang dikualifisir dengan pemberatan. [21]

Pasal 370

  • Setiap orang yang karena kealpaannya mengakibatkan terja­dinya bahaya bagi lalu lintas umum kereta api, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori III.
  • Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan luka berat maka pembuat tindak pidana dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
  • Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang maka pembuat tindak pidana dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.

Rumusan tindak pidana kealapaan yang menimbulkan akibat yang dilarang ditemukan dalam pasal 370 ayat (1), dan pemberatannya dirumuskan dalam pasal 370 ayat (2) dan (3)

Penutup

Ajaran kausalitas sebagai sebuah doktrin dalam hukum pidana sebaiknya diberikan pemaknaan (konstruksi konseptual) dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang saat ini sedang dibahas. Pemberian konstruksi konseptual bukan dimaksudkan membatasi penggunaan doktrin. Pemberian konstruksi konseptual akan menjadi panduan bagi pengadilan ketika akan menemukan perbuatan yang menimbulkan akibat yang dilarang. Konstruksi konseptual ajaran kausalitas tidak memberikan rumusan yang sifatnya limitatif tetapi doktrin diperlukan dalam menentukan pertanggungjawaban pidana. Dengan demikian pengadilan akan menggali doktrin kausalitas sedalam mungkin sehingga akan menghasilkan jurisprudensi yang memiliki akar doktrin yang cukup kuat dalam memperkembangkan ajaran kausalitas dalam hukum pidana.

Ajaran kuasalitas berguna dalam menemukan pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana materiil. Rumusan tindak pidana materiil akan memperlunak berlakunya sebuah norma, karena menunggu akibatnya terjadi. Rumusan ini juga akan membatasi rejim dalam mengkriminalisasi sebuah tindak pidana. Karena itu, beberapa rumusan pasal yang terdapat dalam RUU-KUHP yang masih dirumuskan secara formil dirubah menjadi rumusan materiil.

[1] Kausalitas menjadi penting sebab berhubungan dengan pertanyaan “siapa yang dapat dipertanggung­jawabkan terhadap timbulnya suatu akibat (Jan Remmelink. “Hukum Pidana” (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 128-134)

[2] Jan Remmelink, ibid, hlm. 125-126.

[3] J. Spier (Ed), “Unification of Tort Law : Causation”, (Netherlands : Kluwer Law International, 1996), hlm. 3

[4] Ibid

[5] Satochid Kartanegara. “Hukum Pidana Kumpulan Kuliah”, (Tanpa Tempat : Balai Lektur Mahasiswa, tanpa tahun), hlm. 240 hlm. 200.

[6] Wirjono Prodjodikoro, “Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia”, (Bandung: Eresco, 1969), hlm. 48.

[7] Satochid Kartanegara, op.cit

[8] Naskah Akademik RUU-KUHP 2015, (Jakarta : BPHN, 2015), hlm. 20

[9] Dalam Naskah Akademik R-KUHP ajaran diartikan sebagai bangunan konsepsional hukum pidana yang bersifat umum atau algemene leerstukken atau algemene lehren seperti masalah tindak pidana pidana, sifat melawan hukum, kesalahan, pidana dan tujuan pemidanaan, asas-asas hukum pidana dan lain sebagainya yang disebut juga dengan bagian umum atau aturan/ketentuan umum yang di dalam KUHP tercantum dalam Buku Kesatu. (Ibid, hlm. 19-20).

[10] Ibid

[11] Van Hamel, dalam Moeljatno, “Asas-Asas Hukum Pidana”, (Jakarta : Penerbit Rineka Cipta, cetakan ketujuh, 2002), hlm. 94

[12] Von Kries, dalam Remmelink, op.cit

[13] RUU-KUHP, op.cit, hlm. 92

[14] http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol21602/pasal-penghasutan-kembali-diusulkan-menjadi-delik-materil [diakses pada tanggal 30 Agustus 2015]

[15] RUU-KUHP, op.cit, hlm. 50-51

[16] Ibid, hlm. 52

[17] Ibid

[18] Ibid, hlm. 103-105

[19] Teori relevansi mendasarkan pada sebab-sebab sebagaimana yang dirumuskan oleh pembuat undang-undang. Misalnya penganiayaan yang menyebabkan matinya seseorang, maka bentuk penganiyaan yang dimaksudkan adalah misalya kualifikasi luka yang diderita oleh korban sebagai penyebab kematian dan bukan karena kebakaran yang terjadi di rumah sakit ketika korban dirawat (Jan Remmelink, op.cit, hlm. 129)

[20] Moeljatno, op.cit, hlm. 5

[21] Rancangan Undang-Undang KUHP, op.cit, hlm. 67

No Comments

Leave a Reply