Aliansi Nilai Pemerintah dan DPR Inkonsisten dalam Kodifikasi RKUHP

Dikhawatirkan terjadi duplikasi aturan sanksi pidana di luar KUHP yang nantinya berdampak kriminalisasi terhadap masyarakat sipil.

Masa sidang mendatang, DPR bakal mulai melakukan agenda pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Sistem kodifikasi yang digunakan pemerintah dan DPR masih menyisakan pertanyaan. Pasalnya belum adanya kejelasan pemerintah dan DPR menggunakan sistem kodifikasi total atau terbuka.

Wahyudi Djafar, Program officer monitoring kebijakan dan pengembangan jaringan advokasi Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) dan Anggota Aliansi Nasional Reformasi RKUHP, berpandangan belum adanya kesepakatan diinternal pemerintah dan DPR terhadap sistem kodifikasi yang digunakan berdampak pada sejumlah instrumen hukum. Padahal peraturan perundangan memiliki peran signifikan dalam perkembangan hukum pidana di Indonesia. Sementara sistem kodifikasi total RKUHP sejatinya mengharuskan semua ketentuan pidana di luar KUHP ditarik masuk dalam RKUHP.

“Tetapi ini menimbulkan ketidakjelasan RKUHP dengan instrumen hukum yang memuat ketentuan pidana di luar KUHP tersebut,” ujar dalam sebuah diskusi yang digelar Aliansi Nasional Reformasi RKUHP di Jakarta, Kamis (30/7).

Wahyudi mengkritik terhadap inkonsistensi pemerintah dan DPR. Pasalnya ketika tim perumus RKUHP menyatakan akan menerapkan kodifikasi total, namun DPR dan pemerintah tetap membahas RUU yang muatan materinya mengatur sanksi hukum pidana. Hal itu justru bertentangan dengan kodifikasi total. Sekali pun pemerintah dan DPR menggunakan sistem kodifikasi terbuka, maka sedari awal mesti diberikan ketegasan. Soalnya hal tersebut berdampak dalam pembahasan RKUHP yang memuat 786 Pasal.

Ia juga menyatakan jika sejumlah RUU dalam Prolegnas 2014-2019 bukan tidak mungkin nantinya mengatur sanksi pidana di luar KUHP. Makanya perlunya ketegasan pemerintah dan DPR agar publik tidak menilai dualisme sistem kodifikasi. “Kritik saya konsistensi terhadap pembentuk UU, yakni DPR dan pemerintah,” ujarnya.

Sementara itu, Arsil, Anggota Aliansi Nasional Reformasi RKUHP dari LeIP berpandangan ketidakkonsistenan pemerintah dan DPR memunculkan pertanyaan. Menurutnya eksistensi kodifikasi menjadi penting dalam RKUHP. Dalam rangka meminimalisir duplikasi aturan sanksi pidana terhadap jenis tindak pidana yang sama dengan ancaman hukuman yang berbeda di luar RKUHP menjadi dampak akibat ketidakjelasan sistem kodifikasi yang digunakan. Sebaliknya jika saja terdapat kejelasan penggunaan sistem kodifikasi total, dapat mencegah terjadi duplikasi aturan sanksi pidana di luar RKUHP.

Arsil khawatir jika menggunakan kodifikasi terbuka bukan tidak mungkin bakal bermunculan aturan sanksi pidana di RUU yang akan dibahas oleh DPR dan pemerintah. Ia mengambil contoh, jika orang diduga melakukan tindak pidana pencemaran nama baik, polisi dapat menjerat tidak saja menggunakan KUHP, tetapi juga UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik (ITE).

Ia juga berpendapat jika pemerintah dan DPR bersepakat menggunakan kodifikasi total, maka aturan sanksi pidana terhadap semua jenis tindak pidana cukup diatur dalam RKUHP. Selain itu pemerintah dan DPR bersepakat untuk melakukan moratorium penyusunan dan pembentukan aturan hukum pidana di luar RKUHP. “Contohnya, kalau sudah ada ketentuan sanksi pidana terhadap pelanggar contempt of court dalam RKUHP, tidak perlu lagi diatur di luar RKUHP,” ujarnya.

Dikatakan Arsil, model kodifikasi total dalam RKUHP menitikberatkan upaya menarik semua ketentuan pidana di luar KUHP ke dalam RKUHP. Namun langkah tersebut menimbulkan dampak bagi sejumlah pasal dalam UU sektoral yang memuat ketentuan generic crime di luar KUHP. Ia menilai kodifikasi yang memisahkan generic crime dengan administrative crime bakal menimbulkan pertanyaan.

Tenaga ahli Komisi III dari Fraksi PKS, Mei Susanto berpendapat dalam penyusunan RUU yang dilakukan DPR acapkali mengatur materi ketentuan sanksi pidana. Pasalnya DPR berpandangan tanpa adanya aturan sanksi pidana dalam RUU dianggap tidak sempurna. Atas dasar itulah cara pandangan seperti itulah di mata Mei perlu ditinjau ulang.

Ia menilai belum adanya kesepakatan antara antar fraksi dalam sistem kodifikasi menjadi sorotan. Terlebih antar fraksi hanya menyepakati pembaharuan sistem penegakan hukum yang bermasalah, serta standarisasi penerimaan remunerasi penegakan hukum. “Jadi belum jelas pada masalah RKUHP. Kita berharap Jokowi bisa bicara dengan elite politik untuk membagas politik hukum kita ke depan. RKUHP yang diajukan pemerintah memang banyak masalah, makanya harus kita buat peta yang jelas ke depan,” tandasnya.

Leave a Reply