Catatan Pembahasan DIM R KUHP 23 November 2015
Rapat Komisi III dengan 13 anggota Panja-7 Fraksi dan Dirjen PUU Kemenkumham
Dihadiri pula oleh Prof. Muladi, Prof. Barda Nawawi, Prof. Harkristuti Harkrisnowo, Chaerul Huda, dkk
Benny K. Harman :
Rapat dibuka 10:50 ditutup pukul 13.00
Agenda hari ini Senin, 23 November 2015 : Melanjutkan pembahasan DIM
Kita dengan pemerintah saat 19 November 2015 yang lalu sudah membahas Pembahasan DIM No. 97-124, selanjutnya memulai Pembahasan DIM 125 (Pasal 33).
Prof. Harkristuti Harkrisnowo (HH) :
Mohon ijin pimpinan, minggu lalu pemerintah diminta untuk menghadirkan tim perumus, sekarang pemerintah menghadirkan prof. Muladi dan prof Barda yang akan menjelaskan mengenai mengapa RKUHP yang tadinya 3 buku menjadi 2 buku. Jadi, Pemerintah mengusulkan memulai dari tim perumus, kenapa Buku II, prof. Barda dan pro. Muladi akan memaparkan kembali. Mohon ijin juga saya menggantikan Dirjen PP yang berhalangan hadir karena sedang bertugas ke gorontalo. Trimakasih.
Benny :
Apa kita perlu bahas lagi itu ya? Karena sebelumnya dalam nota pemerintah itu sudah disampaikan soal 2 buku dan tidak ada fraksi yang mengajukan keberatan.Dan dari fraksi kita anggap saja itu sudah selesai. Hanya teknisnya yang kategori I dan II, teknis itu yg perlu informasi karena banyak teman yang tidak paham, padahal berangkat dari politik hukum kita itu, gimana kalo kita sepakati itu aja ya ? jd tidak usah lagi mempersoalkan kenapa buku I dan II. Dan pembagian ini kita setujui, dan yang jadi masalah apakah pembahasan ini satu paket atau tidak? Sejalan ini tidak ada soal. Atau ada masukan gimana? Atau pemerintah perlu jelaskan lagi?
Prof. HH :
Kami berpandangan kalau ini sudah jelas di kemudian harinya tidak ada lagi muncul pertanyaan-pertanyaan yang terkait. Kemarin itu memang bukan tentang kenapa 2 buku kenapa bukan 3 buku, misal dalam DIM 86, apa itu kategori I dalam pasal tersebut? nah itu sebabnya ini perlu supaya teman2 dapat informasi dan dicatat notulensi. Sehingga apabila ada pertanyaan kami merefer pada tim perumus.
Benny :
Kita akan memberi kesempatan kepada tim pemerintah untuk menjelaskan supaya kita lebih tahu lebih dalam, itu lebih baik. Dan kami ucapkan terimakasih. kami persilahkan.
Prof. HH :
Terimakasih pimpinan. Mulai dari prof barda.
Prof barda :
Terimakasih, saya akan mencoba memberikan penjelasan mengapa RKUHP berubah dari 3 buku menjadi 3 buku. Konsep berpikirnya adalah bahwa Hukum pidana sebagai induk hukum pidana itu terdiri dari 2 bagian. Pertama yang dikenal dengan aturan umum (general rules) dan aturan khusus (special rules). Special rules itulah merupakan bagian dari RKUHP yang terdiri dari perumusan dari delik2 khusus. Dimana di dalam sistem yang lama, perumusan delik-delik khusus itu dibagi 2 ada kejahatan dan pelanggaran. Sementara dr RKUHP, karena kedua bagian jenis atau bentuk tindak pidana kejahatan atau tindak pidana pelanggaran itu hakikatnya adalah suatu tindak pidana, maka disatukan, itu jalan berfikir bahwa aturan khusus itu hakikatnya adalah delik, buku II dan buku III itu adalah delik, nah sekarang dijadikan 1. Tetapi, Hakikat pembedaan antara dulu kejahatan dan pelanggaran, Itu dibedakan dg simbol2. Istilahnya Kalo deliknya itu ringan, dalam RKUHP itu hanya diancam dengan denda kategori I. Oleh karena itu jika dulu ada redaksi dalam aturan umum yang menyatakan bahwa percobaan terhadap kejahatan dipidana, percobaan terhadap pelanggaran tidak dipidana, pelanggaran itu disimbolkan dalam RKUHP dengan delik yang diancam dengan denda dalam kategori I yang menunjukkan bahwa delik itu delik ringan. Jadi sekali lagi, sebetulnya tidak ada perbedaan prinsip karena sistem aturannya sama yang terdiri dalam aturan umum dan aturan khusus. Nah dalam aturan khususnya dlm RKUHP itu tidak lagi dibedakan antara kejahatan dan pelanggaran, walaupun dengan catatan, konsekuensi2 akibat hukum pembedaan pelanggaran dan kejahatan itu tetap mendapat perhatian di dalam RKUHP. Pembagian 2 seperti RKUHP ini Kalo melihat komparasi KUHP di negara lain juga tidak masalah, artinya ada model yang seperti itu. Krn hakikatnya pelanggaran dan kejahatan itu adalah tindak pidana, intinya itu. Dulu seminar hukum nasional pertama tahun 1963 itupun sudah diamanatkan, hendaknya RKUHP itu hanya dibuat 2 buku saja tidak lagi 3 buku jika kelak menggantikan wvs. Karena hakikatnya 22nya itu tindak pidana.
Muladi :
Filosofi pembedaan antara kejahatan dan pelanggaran itu secara konseptual didasarkan pada kategori recht delict, itu delik hukum itu otomatis berbicara tentang kejahatan sedangkan wet delicht itu menjadi suatu tindak pidana apabila diatur dalam undang-undang atau kita sebut sebagai pelanggaran. Dan disitu dibedakannya pidananya itu lebih ringan, disamping pelanggaran juga tidak disebutkan kesengajaan atau kealpaannya/mens rea. Dan dalam literatur anglosaxon sekalipun itu tidak begitu 100% sama itu kita mengenal mala verse, mala verse itu memang perbuatan jahat seperti pembunuhan, perkosaan dan mala prohibita, yaitu jahat karena diatur oleh UU. Perbedaannya itu adalah kuantitas pemidanaannya tidak lagi sesuai perkembangan jaman. Seringkali apa yang disebut wet delicht itu lebih berat atau sebaliknya, terutama berbicara perkembangan hukum administratif, ancaman pidananya itu malah lebih berat, jadi pelanggaran secara filosofinya itu sudah tidak sesuai lagi, sudah tidak cocok, tidak bisa dipegang, inkonsisten. Maka pada akhirnya para ahli dulu disatukan saja dan pelanggaran dan kejahatan dianggap sebagai tindak pidana saja. Konsistensi itu suatu hal yang penting sekali. Dan sekarang bukan lagi sebagai kejahatan atau pelanggaran, tapi hanya tindak pidana saja.
Barda :
Mengapa unsur sengaja hilang dari rumusan delik? Itu karena bahwa yang dikatakan tindak pidana itu hanya perbuatan objektif yang dilarang. Tidak hanya perbuatan, tapi hal2 objektif, perbuatan, akibat dan keadaan, itu yang masuk tindak pidana. Sedangkan unsur sikap batin itu masuknya unsur kesalahan dalam hukum pidana. Jadi Hukum Pidana terdiri dari 3 pilar pokok,
- Unsur objektif/perbuatan/tindak pidana
- unsur orang/kesalahan/Pertanggungjawaban pidana
2 unsur inilah yang menjadi faktor utama untuk adanya masalah yang ketiga, yaitu Pidana, jadi kalo di skemakan rumusnya menjadi :
Tindak pidana + kesalahan = pidana.
Jadi Kesalahan bukan unsur perbuatan, tindak pidana. Tapi kesalahan adalah unsur dapat dipidananya seseorang, Unsur pertanggungjawaban pidana. Oleh karena itu setiap orang yang melakukan tindak pidana untuk dapat dipidana itu harus dibuktikan bahwa dia bersalah. harus punya kesalahan.
Asas tiada pidana tanpa kesalahan itu azas orang, melekat pada orang, bukan melekat pada perbuatan/unsur tindak pidana. Jadi unsur kesengajaan, itu unsur sikap batin, unsur kesalahan bukan unsur tindak pidana. Jadi tindak pidana unsur utama nya itu perbuatan, perbuatannya itu melawan hukum. Perbuatan melawan hukumnya itu bisa dilihat secara melawan hukum formal/ UU dan melawan hukum secara materil/hukum yg hidup/asas2 umum. Jadi hanya itu sajalah unsur utama dari tindak pidana.
Jadi sengaja sebagai salahsatu unsur kesalahan itu melekat pada syarat pemidanaan, bukan syarat delik, bukan syarat tindak pidana. Orang yang melakukan suatu tindak pidana untuk membuktikan apakah perbuatannya itu delik atau tidak, tidak perlu dibuktikan adanya unsur sengaja, sengaja diperlukan untuk membuktikan bahwa orang itu bersalah terhadap tindak pidana yang dilakukan, itu faktor pencelaan, unsur dapat dicelanya orang itu terhadap perbuatan yang telah dilakukan, jadi azas tiada pidana tanpa kesalahan dalam RKUHP itu lebih difokuskan pada asas tiada pidana tanpa sengaja, itu prinsip. jadi hanya orang yang melakukan dengan sengaja lah yang dapat dipidana. Kalo terhadap perbuatan karena keaalpaannya dia layak dipidana, itu bersifat eksepsional. Oleh karena itu, Kalo deliknya culpa, maka kata culpa itu dimasukkan sebagai unsur. Karena itu sifatnya Sebagai pengecualian dari hal umum.
Jadi kalo delik pada umumnya, meskipun dalam delik tidak ada sengaja dalam rumusan delik, tidak berarti orang itu tidak harus dibuktikan bahwa dia bersalah, prinsipnya harus sengaja. Itu yang dimaksud dengan tidak harus ada kata sengaja. Karena sengaja bukan unsur pembunuhan. Bukan unsur delik, Misal. Sengaja adalah unsur dapat dipidananya orang itu terhadap perbuatan membunuh, apakah membunuh itu disengaja atau tidak. Dalam teoritik itu dikenal pandangan dualistik.
Sementara pandangan monistik, itu menyatukan semua unsur dapat dipidananya perbuatan dan orang menyatu dalam stafbaarfeit/tindak pidana. Itu biasanya kita sebut warisan aliran klasik, yg orientasinya hanya pada perbuatan. KUHP kita yang lama di dalam literatur sering disebut aliran klasik. Oleh karena itulah wajar dalam KUHP juga hanya ada asas perbuatan yaitu asas legalitas yaitu asas perbuatan. perbuatan yang bagaimana? Perbuatan itu yg harus terlebih dahulu dirumuskan dalam UU. Tapi dalam KUHP itu tidak ada asas untuk orang, karena memang ia orientasinya hanya pada daad, tidak pada dader.
Itu yg melatarbelakangi RKUHP tidak memasukkan sengaja dalam unsur delik. Model memasukkan sengaja dalam unsur delik itu adalah pandangan monistik.
Sementara pandangan yg memisahkan unsur sengaja dari unsur delik itu adalah dualistik. Dan konsep RKUHP adalah menganut pandangan dualistik.
Mohon maaf kalo uraian ini terlalu teoritik. Tapi itulah yang menjadi latarbelakang ari RKUHP ini.
Muladi :
Ini kaitannya dengan DIM 131 Pasal 37, rekan2 PDI ditanyakan makna celaan objektif, jadi celaan objektif berasal dari hubungan celaan objektif tindak pidana/perbuatannya jadi asas legalitas terhadap perbuatannya dan celaan subjektif terhadap pembuat/asas kesalahan. Sehingga 22nya menuju pada istilah pertanggungjawaban pidana.
Perbuatan, kesalahan, dan pidana adalah satu kesatuan. Menyatu dalam pertanggungjawaban pidana.
Prof. HH :
Demikian pimpinan penjelasan mengapa menjadi 2 dari 3 buku dan kedua mengenai mengapa unsur dengan sengaja tidak lagi dituliskan.
Benny K Harman :
Penjelasan ini untuk dua soal yang kemarin kita pending, yang pertama, Pengelompokan 3 buku menjadi 2 buku itu ada permasalahan ato pertanyaan ga?
Sumanjaya-FPKS :
Saya belum masuk kesitu, ketua. Tapi saya ada pertanyaan mengenai perbuatan yang ingin lebih mendalam, konteks perbuatan yang berkenaan dengan niat antara kejahatan dan pelanggaran.
Benny :
Kalo itu nanti, tentang sengaja. Ini soal buku I dan Buku II ini kita setuju saja ya. Ini muncul kan akibat teman hanura mempertanyakan ini. kalo kita sudah mempersoalkan ini, supaya nanti kita tidak gugat soal ini lagi. Itu kan akibat datang tidak kontinyu, itu memang repot yah.
Kita sudah sepakati saja ya. (ketok palu)
Selanjutnya dengan rumusan dengan sengaja, selalu ada perkataan dipidana ‘dengan sengaja’ atau selalu ada kata “dengan sengaja” dalam tiap undang-undang, awamnya kita ini mengartikan kalo tidak dengan sengaja apakah otomatis tidak pidana. kenapa tiba2 ilang semua ini unsur sengaja?
Sumanjaya-FPKS :
Pemerintah, ketika membicarakan tentang unsur sikap batin, yang kita pelajari bahwa setiap perbuatan itu berawal dari niat, dan seseorang itu akan mendapatkan dari apa yang dia niatkan. Kalo seseorang berniat buruk itu dia tidak bisa dilakukan tindakan kepadanya sampai terbukti niat buruknya itu ditunaikan. Sebaliknya jika niat buruknya diurungkan karena kesadarannya, secara spiritual dia mendapat reward, Tapi ini sekali lagi bukan bahasa hukum. Mohon maaf.
Yang saya ingat dulu kalo seseorang melakukan pelanggaran dengan tidak menggunakan helm, ketika dijalan raya saya menyadari bahwa saya salah, nah kalo misalnya unsur sementara ini juga dibiarkan, tidak bisa diketahui niatnya apa. Kami ingin lebih dalam soal ini supaya nanti tindak pidana ini jelas. Kalo misalnya ia melakukan tindak pidana itu pelanggaran,
Kalo ditarik ke ranah agama, bahwa niat itu ternyata menentukan. Bahkan perbuatan baik sekalipun tanpa niat itu artinya tertolak.
Mohon pendalamannya agar clear.
Benny :
Kesalahan itu bukan untuk membuktikan adanya tindak pidana, tapi unsur untuk menentukan dapat dipidananya tindak pidana itu. Jd kurang lebih semacam itu. Karena akan berimplikasi pada alasan pemaaf dan pembenar. Karena seolah2 kesengajaan itu yang paling penting, karena dirumuskannya di depan. Dalam rumusan tindak pidana tertentu juga demikian, itu dalam semua undang2 yang kita bikin selama ini. selalu ditekankan, ditonjolkan itu dengan sengaja.
Mungkin bisa dibuat simulasi kasus prof? Supaya kami bisa nangkap.
Sumanjaya-FPKS :
Mungkin ada suatu naskah yang bisa dipahami secara naratif, sebab penjelasan abstrak seperti itu, bagi saya yang awam memang tidak mudah, apalagi dari profesor transfer knowledge nya agak disconnect. Mungkin barangkali ada tulisan dengan bahasa yang tidak terlalu sulit dicerna, yang menjembatani dimensi keilmuan dan dalam bentuk contoh kasus.
Benny :
Ok Kami persilahkan pemerintah.
Proh. HH :
Dalam penjelasan pasal 40 ayat (2) RKUHP, perbuatan yang dapat dipidana adalah perbuatan dilakukan dengan sengaja kecuali peraturan perundang2an menentukan dg tegas bahwa suatu tindak pidana dilakukan dengan kealpaan dapat dipidana. Ini kemudian yang memback up dalam rumusan2 bahwa semua rumusan2 tindak pidana itu kesengajaan itu harus tetap dibuktikan kesengajaannnya itu meskipun tidak dicantumkan.
Dalam penjelasan, halaman 173 itu sudah ada keterangan lebih lanjut mengenai mengapa ini terjadi. Jadi memang ada runtutannya. Kenapa dengan sengaja itu hilang, implikasinya pada seluruh rumusan dalam rancangan UU.
Barda :
Saya mohon maaf kalo penjelasan yang tadi saya sampaikan tidak begitu jelas, saya kira bahan tertulis itu ada pada kita, naskah akademik, dan penjelasan dalam buku I, dan berikutnya bahan itu semua saya asumsikan ada pada semua anggota dewan sewaktu akan membahas ini. artinya dalam membahas RKUHP seyogyanya dibekali terlebih dahulu latar belakang keilmuan atau konseptual tentang hukum pidana ini, saya barusan sudah berusaha sesingkat mungkin yang dulu mencantumkan sengaja itu dia tidak berfikir sistematis membedakan antara perbuatan dengan orang, dalam hukum pidana itu biasa dikenal pemisahan, antara unsur objektif/unsur perbuatan dengan unsur orang/unsur sikap batin. Jadi antara unsur sikap batin dan unsur perbuatan, memang dibedakan.
Sementara ini dari pks (sumanjaya) ini konsep berpikirnya terkesan masih dipengaruhi oleh cara berpikir lama yang tidak memisahkan antar unsur orang dan unsur perbuatan seolah unsur orang itu melekat pada unsur perbuatan.
Itulah yang melatarbelakangi KUHP dulu, sedangkan dalam RKUHP ini mau dipisahkan. Jadi actus reus/perbuatan terlarang itu hanya satu; perbuatannya, kedua; akibatnya, ketiga; yatu keadaanya, dimana perbuatan itu dilakukan. Sementara kalo sikap batin itu melakukan itu masuknya unsur orang/unsur kesalahan. Karena masuknya Unsur kesalahan, bukan unsur tindak pidana, maka dia tidak masuk.
Contoh : misalnya pencurian 362 tidak ada kata2 barang siapa, dengan sengaja, mengambil barang orang lain, … itu tidak ada. Begitu juga pasal selainnya. Tidak semua unsur delik itu didalamnnya ada unsur sengajanya. Apalagi unsur niat, unsur niat hanya pada delik2 yang mengandung unsur niat. Kalo dalam KUHP itu misalnya unsur percobaan. Secara hukum, Niat itu beda dengan sengaja. Kalo niat itu unsur sifat melawan hukum yg subjektif. Niat itu masih didalam, belum diwujudkan, Kalo niat sudah diwujudkan dalam bentuk perbuatan itu namanya sengaja.
Jadi memang dari penjelasan pak Sumanjaya-FPKS tadi sebetulnya sudah mencakup, bahwa seseorang memperoleh sesuatu itu karena niatnya, itu artinya seseorang memperoleh hukuman dari sesuatu yang telah ia niatkan, artinya pada saat ia akan dipertanggungjawabkan/dipidana ya tergantung niatnya. Kalo niat awalnya disengaja, sikap batinnya berwujud yang sangat tercela, sengaja itu sebagai simbol dari sikap batin yang bernama mens rea dalam arti yang berat. Sikap batin jahat itu abstrak. Kesalahan itu dibagi dua, Kesalahan yg berat namanya sengaja. Kesalahan/Sikap batin yang lebih ringan namanya culpa. Nah ini semua adalah unsur2 pada saat orang itu mau dipertanggungjawabkan.
Tapi saat mau menentukan apakah perbuatan ini dilarang apa tidak, itu diliat perbuatannya saja. Bahwa mencuri dilarang. Tapi pada waktu dia mau dijatuhi hukuman, diliat apakah pada waktu dia mengambil barang itu layak dipidana karena ia sengaja atau apa? sikap batinnya yang berat atau ringan?
Jd mungkin cara saya yang mungkin kurang dapat menjelaskan atau antara apa yang ada di kepala saya dengan Pak Suman-FPKS tidak nyambung. Frekuensinya beda mungkin. Mungkin Pak Chaerul Huda bisa menambahkan karena disertasinya tentang kesalahan.
Chaerul Huda :
Memang permasalahan klasik berkenaan dengan hukum pidana itu adalah permasalahan bagaimana menempatkan dimana itu kesalahan. RKUHP menempatkan kesalahan sebagai unsur yang menentukan dalam pertanggungjawaban. Bukan berkenaan dengan unsur dilarangnya perbuatan, karena ini dua hal yang berbeda. Ada persoalan dilarangnya perbuatan, ini menjadi soal tindak pidana. Ada persoalan dipertanggungjawabkan seseorang karena perbuatan itu, ini berbicara soal kesalahan.
Ketika kesengajaan itu ditempatkan sebagai suatu masalah pertanggungjawaban, maka dia tidak menjadi bagian dari unsur tindak pidana. Tapi unsur dari perbuatan. Karena tindak pidana itu perbuatan yang dilarang, dengan dilarangnya perbuatan itu menjadi tindak pidana. Perbuatan bisa dipisahkan dari orang yang melakukannya.
Contoh : ada orang yang melempar batu ke kaca, jika dari perbuatannya sama apabila orang waras dan gila. Secara perbuatan sama, tapi orangnya itu yang berbeda. Yang satu orang waras, yang satu orang gila. Jadi soal pertanggungjawaban berkenaan dengan ia waras atau gila, ia sengaja atau lalai, tetapi perbuatan yang dilarangnya hanyalah persoalan berkenaan dengan ga boleh merusak kaca jendela orang.
Jadi sebenarnya disini RKUHP itu mencoba memisahkan persoalan yang berhubungan dengan perbuatan (tindak pidana) dan persoalan bagaimana mempertanggungjawabkan orang karena perbuatan itu, karena mempertanggungjawabkan perbuatan dan melarang orang yg melakukan tindak pidana itu berbeda, dua hal yang terpisah. Karena tidak selalu orang yang melakukan tindak pidana itu dipidana, sangat terghantung orang itu memiliki kesalahan atau tidak. Saya pikir itu terimakasih.
Benny :
Sekali lagi penjelasan pemerintah itu jelas bagi kita, kebanyakan permasalahannya itu dalam setiap perumusan UU itu selalu menyantumkan unsur dengan sengaja ada unsur dengan maksud. Fokusnya seolah2 itu adalah suatu yg penting sekali untuk dipidananya orang yang melakukan perbuatan itu. Sedangkan dari 3 profesor tadi itu dibedakan mana perbuatan yang dilarang dan perbuatan yang dapat dihukum?
Misalnya mencuri ayam itu kan tidak boleh. Itu udah rumusannya. Sedangkan dapat dipidananya tadi itu kan tergantung ada atau tidak orang2 yang mencuri itu. Apakah itu dapat disimpulkan tidak setiap orang yang curi ayam itu dapat dipidana? Mengapa begitu karena kalo ia mencuri ayam tapi tidak ada maksud, atau tidak ada sengaja, maka tidak bisa dipidana. Artinya Unsur ini sangat penting. Itu satu.
Soal yang kedua, Apakah itu pada level hakim pengadilan, untuk menentukan dapat dipidana atau tidaknya tadi itu, atau penegak hukum pada polisi ini juga ada otoritas dapat menilai oh ini dapat dipidana nih. Wah ini bahaya, prof. Kalo hanya formalitas dapat dilarang. Ini bahaya.
Saya faham mengapa rumusan2 kita di dewan ini selalu mencantumkan unsur sengaja itu di depan, untuk menegaskan bahwa eh kamu polisi ga boleh macam2, kalo gak ada kesengajaan, eh gaboleh ditangkap orang ini, itu maksudnya.
Tadi penjelasan prof tadi seolah2 boleh saja ditangkap orang itu, seolah2 nanti saja masalah bersalah atau nggak itu ya di pengadilan. Itu resikonya, pembagian implikasi semacam ini. ini ketakutan kami saja. Dan menurut saya deliberasi seperti ini kan wajar prof. Mungkin yang kami pahami itu salah, atau apa ya bisa didiskusikan. Ada 2 persoalan disitu, kalo yang tadi dijelaskan oleh prof tadi, soal perbuatan yang dapat dihukum dan perbuatan yang dikategorikan sebagai perbuatan pidana. Yang kesimpulannya, tidak semua perbuatan pidana itu dapat dihukum, oleh hakim. Sekarang masalahnya oleh polisi ini, ini implikasi hukum dalam praktiknya, polisi kita nantinya bisa ga peduli dia sengaja atau tidak, yang penting bapak masuk pekarangan orang mungkin dia masuk kedalam pula, nah ini dilarang, nah masuklah dia kena pasal.
Prof, ini kalo rumusannya kaya begitu tadi, ini ada implikasi hukumnya dalam prakteknya, polisi kan mikirnya dalam pelaksanaan. Padahal kita bermaksud bikin RKUHP ini supaya tidak sewenang2.
Jadi pertanyaannya, Apakah unsur kesengajaan dapat dipidananya itu ada di wilayah hakim di pengadilan, atau wilayah juga penegak hukum?
Kalo bukan menjadi wilayah aparat penegak hukum, maka nanti polisi, jaksa itu dalam melaksanakanaturan hukum tadi akan cenderung betul2 legalistik. Oleh sebab itu mereka yang menganut paham kepastian hukum yang lebih materil ini harus dirumuskan lebih substantif permasalahannya di pasal-pasal. Untuk membatasi penyalahgunaan wewenang, untuk membatasi polisi tadi.
Memang juga tidak ada jaminan misal polisi ini bersikap kami menduga ada kesengajaan, soal dugaan ini benar atau salah, kita lihat nanti di pengadilan, wah itu kan nanti repot kita. Belum lagi tindak pidana yang banyak menyangkut macam2 ini.
Kalo saya berpandangan ya kita percaya saja sama penjelasan prof tadi, atau mungkin prof muladi silahkan
Muladi :
Jadi dalam hukum, hukum apa saja, itu ada yang namanya adressat norma, adressat norma itu sasaran norma, jadi kalo ini dibuat, adressat normanya itu tidak hanya masyarakat tapi juga penegak hukum. Jadi harus betul2 memahami.
Jadi apa yang dikatakan prof barda tadi, saya kira betul, tapi dari segi sisi akademis, konseptual itu sudah betul. Karena definisinya orang diaktakan sengaja itu artinya orang tersebut menghendaki perbuatan yang dilarang, dan atau mengetahui atau membayangkan akibat yang dilarang, Willens en wetens, jadi mengetahui, membayangkan dan menghendaki perbuatan yang dilarang, dari pemahaman akademis, memorie van toelichting, dsb.
Kalo ada kealpaan itu sebenarnya ada kedaaan yang membahayakan keamanan orang atau mendatangkan kerugian pada orang yang besar dan tak dapat diperbaiki karena kurang menduga2 atau karena kekurang hati-hatian atau sikap teledor. Itu yang menjadi kealpaan, sebagai perkecualian tadi.
Kalo saya pribadi berbeda dengan prof barda. kalo kata sengaja itu saya tidak keberatan dicantumkan dalam RKUHP. Karena adressat norma itu bukan hanya untuk yang tahu hukum/akademisi tapi untuk masyarakat, dan penegak hukum, dan penyidik itu juga pangkatnya kan macam2.
Terimakasih.
Benny :
Ya itu kan pribadi ya, nanti silahkan pemerintah yang memutuskan.
Apa yang menjadi pengetahuan umum selama ini, kalau sengaja itu dimasukkan atau kalau tidak dimasukkan, menimbulkan ini.. tapi kalu dimasukkan malah lebih jelas, kata sengajanya ini. sehingga poin yang dijelaskan prof barda tadi, sama dengan kita, tapi kita cantumkan supaya apa yang dimaksudkan itu bisa terukur.
Ini penting kita putuskan karena nanti kan ini berkaitan dengan pasal2 selanjutnya. bila memang membutuhkan kata dengan sengaja. Tentu nanti kalo yang pelanggaran, ya itu lain lagi. Itu konsekuensinya pada jenis2 pidana yang nanti akan dirumuskan dalam RKUHP.
Prof. HH :
Nanti akan pemerintah akan koordinasi untuk menyamakan persepsi. Seyogyanya ini tidak mengganggu proses pembahasan buku I, karena penggunaan kata sengaja ini karena ini akan lebih banyak di buku 2.
Benny :
Baik kita dilanjutkan. Terimakasih pemerintah.
Pasal 33, DIM 125.
Setiap orang melakukan perbuatan yang dilarang, tetapi perbuatan tersebut untuk melaksanakan perintah jabatan, tidak dipidana.
Apakah perintah jabatan ini salah atau tidak, ini kan bukan salah yang diperintah? Ini yang jadi soal. Yang tidak tahu apa2 kebanyakan jadinya korban.
Kami persilahkan dulu DIM 125 ini, catatan ini ada di PKS, PPP ada redaksional. Gerindra malah usul dihapus.
Gerindra :
Tentang usul yang dihapus, kami tarik kembali.
F-PKS :
Secara substansial pasal ini diperlukan karena kita bisa melihat suatu perbuatan itu dilakukan atas dasar kesadaran atau perintah jabatan, yang jadi masalah adalah pertama, pada pasal ini tidak memberikan satu kejelasan delik. Yang kedua, yang dipermasalahkan disini orang yang melaksanakan jabatan itu. Sedangkan yang memberikan perintah jabatan itu mungkin di pasal lain ya pak, mohon maaf, tapi tidak tercermin di pasal ini.
Kemudian sampai sejauh mana sesungguhnya perintah jabatan itu boleh atau dapat diperintahkan oleh atasan kepada pelaksana perintah tersebut sehingga dapat dipastikan bahwa pasal ini tidak menjadi cek kosong pada pejabat tertentu sehingga bisa berdampak pada penyalahgunaan wewenang/jabatan/abuse of power.
Oleh karena itu karena kami belum mengelaborasi jauh pasal ini, mohon maaf, kami sangat berharap ada penjelasan yang memuaskan dari pemerintah, sehingga jadi guidance bagi pasal2 berikutnya. Kami juga ingin menyampaikan secara jujur kepada pemerintah, keterbatasan pengetahuan dan waktu ini juga mungkin tidak memberikan kemampuan kami mengartikulasi pasal ini, oleh karena itu ini mungkin permasalahannya menggunakan bahasa indonesia yang baik, ini sudah benar namun yang baik dan mudah dipahami sehingga tidak menyesatkan dalam redaksi pasal ini. ini menjadi catatan kami, bahwa perumusan deliknya harus memberikan tidak ada tafsir lainnya kecuali itu yang dimaksudkan.
Terimakasih.
F-PPP :
Kami mengamini dari FPKS, Kenapa kami menambahkan kata yang sah, karena untuk ada tata kelola penegakan hukum yang baik. Misal ada perintah tembak ditempat geng motor, itu Sejauh mana kewenangan itu dapat diberikan. Kemudian perintah itu dilaksanakan tapi kemudian perintah itu tidak sah. Jadi Harus ada ukuran itu adalah perintah yang seperti apa. Dan juga untuk mempersempit kemungkinan terjadinya abuse of power.
Usul perubahan
Setiap orang melakukan perbuatan yang dilarang, tetapi perbuatan tersebut untuk melaksanakan Jabatan yang sah, tidak dipidana.
F-Nasdem :
Pasal ini tetap diperlukan, ditambahkan kata “dilakukan”
Usul perubahan
Setiap orang melakukan perbuatan yang dilarang, tetapi perbuatan tersebut dilakukan untuk melaksanakan perintah jabatan, tidak dipidana.
Benny :
Silahkan pemerintah untuk memberikan penjelasan.
Prof. HH :
Dari tim pemerintah berterimakasih atas masukan dari PPP dan Nasdem Tentang masuknya kata2 “sah” dan yang “dilakukan”.
Makna dari pasal ini, yang pertama, harus ada hubungan yang sah/subordinasi antara atasan dan bawahan, antara yang memberi perintah dan yang diperintah.
Yang kedua, yang memerintah punya kewenangannya yang sah untuk memberikan perintah.
Yang ketiga, perintah itu harus sesuai berdasarkan UU. Jadi tidak bisa hanya membuat diskresi yang tidak ada landasannya itu saya kira tidak termasuk disini.
Jadi Kami menerima masukan yang sah dari PPP dan Nasdem. Sehingga bunyinya menjadi :
Setiap orang melakukan perbuatan yang dilarang, tetapi perbuatan tersebut dilakukan untuk melaksanakan perintah jabatan yang sah, tidak dipidana.
Demikian, terimakasih.
Muladi :
Mengacu pada pasal 3 UU TIPIKOR, penyalahgunaan wewenang, menurut saya Kata yang sah ini mengikuti Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB), nomor 1 adalah kepastian hukum. Kalo orang itu melaksanakannya tidak proporsional itu sah tapi salah. Tidak hanya jabatan yang sah tapi juga sesuai mengikuti AAUPB. Pencantuman sah itu harus ada ketetapan, jangan sampai itu dilakukan secara tidak proporsional.
Benny :
Penjelasan pemerintah tadi untuk menanggapi dari FPKS dan FPPP.
Barda :
Kemungkinan keraguan menerima rumusan ini dapat dimaklumi karena mungkin dalam redaksi itu tidak ada kejelasan perintah jabatan itu sah atau tidak sah.
Kalo saya telusuri rumusan konsep2 yang lama, konsep tahun 2004 “..tidak dipidana setiap orang yang melakukan tindak pidana karena melaksanakan perintah jabatan oleh pejabat yang berwenang” kemungkinan rumusan seperti itulah yang agak mengganggu, sehingga ada yang mengusulkan ada kata “sah” dan sebetulnya penambahan kata yang sah itu sudah tercakup dari kata awal yang berbunyi, “setiap orang yang melakukan perbuatan yang dilarang”, itu sudah jelas perbuatan yang dilarang itu “tindak pidana” / “delik”.
Jadi kalo orang melakukan tindak pidana tetapi karena melakukan perintah jabatan yang sah ato kalo pake istilah lama itu yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang, itu tidak dipidana, dan asas seperti itu ada dimana2, dalam arti di kita sudah ada, di KUHP yang lama, di beberapa negara lain pun ada ,tercantum.
Jadi kesan saya, soal eksistensi rumusan pasal ini saya kira wajar tetap ada, saya setuju sekali kalo ada perubahan, kalo FPP itu ditambah kata “yang sah” kalo dari Nasdem itu ada kata “yang dilakukan” tetapi dengan catatan, didalam kalimat setiap orang yang melakukan itu artinya memang sudah dilakukan. Kalo dikembalikan pada konsep lama, Seyogyanya perintah jabatan yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang. Itu saya kira yang menjadi masalah. Itu saja, terimakasih.
Arsul Sani PPP :
Bagi kami FPPP, kalo memang kembali pada rumusan yang lama, ya oke. Karena hanya ingin ada unsur kejelasan pada persoalan perintah jabatan itu, apakah ada kata yang sah atau dari pejabat yang berwenang, Paling tidak itu yang harus jelas.
Meskipun tetap mengikuti perintah jabatan, dari pejabat yang berwenang tapi tetap dipidana. Misal kurir pegawai kabupaten yang memang pekerjaannya melakukan pengiriman, suatu ketika melakukan pengiriman sebuah amplop dan ini isinya uang suap, sementara ia tidak tahu dalamnya itu uang suap, tapi ia tetap di pidana, kena penyertaan. Nah seperti ini lah yang menjadi concern kami, karena begitu banyak yang kami temui hal seperti ini. Padahal ia melaksanakan perintah yang sah dari pejabat yang berwenang bahkan. Karena memang tiap hari tugasnya menjadi kurir mengantar dokumen atau barang, diberikan oleh orang yang biasa memberi perintah/atasannya.
FPKS :
Kami berharap diskusi soal pasal ini memang harus didalamkan, karena dalam rancangan ini kelak menjadi UU, pada prakteknya bisa saja terjadi multi tafsir. Bukan saja soal2 yang terkait dengan dugaan tindak pidana korupsi, tapi juga soal2 di daerah militer. Misalnya.
Di daerah yang terjadi operasi militer dan ada keinginan untuk mengadili pelaku2nya, Militer bilang ini tugas negara, dan mereka diberi kewenangan. Tapi kemudian ada di satu sisi ada kelompok terkait HAM mereka menuntut agar kemudian ini diadili, terkait dengan pelanggaran HAM. Ini sekelumit realita yang ada di lapangan. Kita perlu menyadari bahwa kekuasaan itu harus diawasi dan dibatasi di era demokrasi ini. Sehingga kemudian tidak terjadi apa yang dikhawatirkan.
Kami punya harapan agar soal ini bisa di elaborasi sehingga kemudian menjadi catatan sejarah. Bahwa Diskusinya soal ini adalah blaa..blaa..bla..dls bukan saja soal2 yang menyangkut apa yang dibahas bang arsul tadi, tapi juga soal lain yang berpotensi untuk kemudian dipersoalkan.
Terimakasih.
Benny :
Memang pembahasan DIM 125-124 ini kan menghidupkan kembali debat kita kemarin dan yang tadi disampaikan oleh prof. Barda. Karena disini kita langsung merumuskan orang yang melakukan, lalu dipidana. Padahal kita kan maunya merumuskan dulu perbuatan yang dikategorikan sebagai perbuatan pidana. kalo poin kedua ini yang kita ikut memang heavy ke rumusan tahun 2004, artinya perbuatan untuk melakukan perintah jabatan itu bukan perbuatan pidana. Karena itu orang yang melakukan ini tidak dapat dipidana. Mstinya kan begitu rumusannya, nah ini kita langsung ke ini.. bukan ke perbuatan langsung tapi ke orangnya.
Apa implikasinya? Implikasi hukumnnya yang saya jelaskan tadi didalam prakteknya dapat dipidananya itu diserahkan ke pengadilan, sedangkan soal itunya.. ini satu problem dalam pasal ini. tadi disampaikan oleh prof HH, ini kurang lebih percis seperti pasal 151, pasal 151 kan harus ada hubungan antara yang diperintah dengan yang memberi perintah. Kemudian yang kedua perintah itu harus diberikan oleh pemberi perintah yang sah. seorang kurir yang diperintah bawa duit, tentu itu bukan perintah begitu maksudnya, yaitu perintah dalam hukum publik.
Kemudian, yang ketiga isi perintah nya itu harus sah, karena kalo gak sah seperti yang dikatakan oleh FPKS, Itu gak masuk disini dia, untuk mencegah kewenangan tadi. harus ada hubungan antara pemberi perintah dan penerima perintah. Hubungan itu dalam ranah hukum publik. Kemudian yang kedua, isi perintahnya itu juga harus memenuhi AAUPB, kemudian ketiga, si pemberi perintah harus authorized/sah juga, bagaimana ini kalau masuk ke dalam penjelasan. Supaya yang dikhawatirkan FPKS ini dapat diakomodir, tapi tetap belum menjawab yang jadi persoalkan rumusan setiap orang yang.. kita mau kembali pada rumusan yang disampaikan prof barda atau ikut ini, kalo ikut prof barda, pasal 32 juga konsekuensinya juga berubah. Perbuatan yang dilarang ini dulu yang harus ditekankan, baru orang yang melakukan tindak pidana yang dapat dipidana.
Jadi masukan fraksi pada DIM di Pasal ini, adalah :
Alternatif 1 :
Setiap orang melakukan perbuatan yang dilarang, tetapi perbuatan tersebut dilakukan untuk mlaksanakan perintah jabatan yang sah, tidak dipidana.
Alternatif 2 :
Setiap orang melakukan perbuatan yang dilarang, tetapi perbuatan tersebut dilakukan untuk mlaksanakan perintah jabatan dari pejabat yang berwenang, tidak dipidana.
Prof. HH :
Ijin pimpinan, pemerintah minta waktu untuk konsolidasi. Besok mudah2an bisa diserahkan pada DPR.
FPKS :
Pak ketua, mumpung pemerintah mau konsolidasi, FPKS mau klarifikasi ada tambahan 3 hal itu harus kesatuan di pasal ini, antara apa yang diperintah, siapa yang diperintah, kemudian siapa yang memerintah, jadi antara sah dan kewenangan itu ada satu kesatuan.
Benny :
Pemerintah akan konsolidasi ya? Kalo begitu sekaligus bagaimana DIM 125-DIM 128 kita minta pemerintah untuk konsolidasi lagi rumusannya. Setuju? (ketok palu)
Benny :
Selanjutnya DIM 129 bagian kedua, tentang pertanggungjawaban pidana. Ok? (ketok palu)
Kemudian DIM 130..
FPKS :
Kalo kita cermati, ini rangkaian yang tak terpisahkan, dari DIM 125 itu, s.d DIM 136. Jadi kalo saya baca sepintas, ini nampaknya ini satu rangkaian yang harus dikonsolidasikan oleh pemerintah.
Sehinga pemabahasan berikutnya kita di DIM 137.
Benny :
Sebetulnya DIM yang kita bahas ini adalah bagian dari BAB II tentang tindak pidana dan Pertanggungjawaban pidana, nah tindak pidana sudah kita rumuskan dalam DIM DIM yang tadi sudah kita singgung, sampai pada apa yang disebut kemarin dengan apa delik aduan, kemudian kita masuk ke alasan pembenar, jadi kembali lagi ini adalah prinsip2 umum. Kemampuan bertanggungjawab juga yang tadi dijelaskan oleh para profesor tadi, tentu ini nanti pemidanaan dan penerapan pidana. Buku I ini prinsip2 umum ini yang kita bahas ini, baru kalo udah detail, ini di buku II. Meskipun demikian, bagian umum ini penting menjadi panduan untuk masuk di buku II.
Usul PKS tadi, DIM 125-DIM 136 itu soal pertanggungjawaban pidana adalah satu nafas. Bagaimana kalau kita memohon kesediaan pemerintah untuk konsolidasi lagi naskah itu sehingga dalam pertemuan beriktunya kita bisa bahas. Saya rasa sampai dengan DIM 164 (Pasal 54), bagaimana kalau DIM 125-DIM 164 kita minta pemerintah untuk konsolidasi lagi perumusannya. Atau kita bahas sambil ini lalu nanti pemerintah mengkonsolidir lagi?
FPKS :
Kami sangat mendukung bila pemerintah meminta waktu untuk mengkonsolidasikan hingga DIM 136, seandainya ketua tadi mengusulkan konsolidasinya sampai DIM 164, saya rasa itu lebih baik. Supaya tidak ada pengulangan.
Prof. HH :
Memang dalam paragraf 1 sampai paragraf 6 ada dalam bagian 2 tentang pertanggungjawaban pidana, dan memang paragraf 1-5 itu berhubungan, namun paragraf 6 itu totally different issue, Saya kira konsolidasi nanti hanya sampai DIM 155, dan kita bisa mulai lagi DIM 156 yaitu tentang korporasi.
Benny :
Bagaimana kalau DIM 125-DIM 155 yang dikonsolidir pemerintah. Sehingga besok pemerintah menjelaskan ini general, karena itu satu nafas, lalu Filosofinya, penjelasan rumusannya, dan kita serahkan berikan kesempatan pada fraksi2 yang menjelaskan DIM DIM yang dimuat disini.
Bagaimana bapak ibu setuju ya? DIM 125-155 dilanjutkan besok. Pemerintah melakukan konsolidasi (ketok palu).
Lanjut Masuk ke DIM 156. Setuju ya (ketok palu)
DIM 157 :
Korporasi merupakan subjek tindak pidana.
Bisa demokrat jelaskan?
F-Demokrat :
Kita minta penjelasan dari pemerintah, DIM 157 akan menjadi jelas bila pada Paragraf 6, Korporasi, ada penambahan menjadi “subjek hukum”, tidak hanya kata “subjek”
Usul perubahan
Korporasi merupakan subjek hukum tindak pidana.
Muladi :
Dalam corporate crimes/corporate criminal responsibility, ada 2 hal yang menonjol :
- Hal melakukan tindak pidana/siapa yang bisa melakukan tindak pidana disamping orang/korporasi
- Hal pertanggungjawaban pidana
Dalam KUHP yang bisa melakukan tindak pidana dan diminta pertanggungjawaban pidana ini masih manusia alamiah/natural persoon, tapi diluar KUHP ada lebih dari 62 UU yang memungkinkan korporasi merupakan subjek hukum pidana. Artinya bisa melakukan tindak pidana dan diminta pertanggungjawaban pidana. Dan dalam RKUHP ini mengikuti perkembangan di Belanda atau Di negara lain, pada akhirnya pertanggungjawaban pidana korporasi dimasukkan ke dalam buku I untuk mengganti pasal 59 KUHP, yang memungkinkan korporasi bisa melakukan tindak pidana secara luas, meliputi berbagai tindak pidana kecuali tindak pidana yang dikecualikan.
Kenapa harus masuk buku I, karena kalo diatur diluar KUHP, itu bertentangan dengan perkembangan sosial yang terjadi, yaitu tingkat victimogen dari kejahatan korporasi itu sangat besar, bisa merugikan negara, pajak, masyarakat, konsumen, lingkungan hidup, karyawan/pelanggaran hak kerja, pemegang saham, dsb. Sehingga apa yang terjadi diluar KUHP itu ditarik dalam buku I sehingga berlaku umum.
Disini Tidak berlaku vicarious liability, tapi berlaku identification theory, Artinya pengurus2 yang punya leading position itu punya directing mind, yang dianggap jiwanya korporasi itu seperti itu, mens rea nya diambil dari jiwa2 korporasi tersebut yang punya posisi di perusahaan seperti manajer, dls. kalo di Belanda berlaku Functioneer daderschaap, artinya ada suatu keputusan dari suatu dewan korporasi itu dan keputusan itu dianggap kebijakan korporasi, kalo terjadi seperti itu, maka korporasi bisa menjadi subjek hukum pidana.
Jadi memang ada beberapa syarat :
- Pengurus mempunyai kedudukan fungsional/leading position
- Kejahatan yang dilakukan pengurus itu untuk dan atas nama korporasi dan menguntungkan korporasi
- Harus intravires tidak boleh ultravires, harus dalam kewenangan korporasi
- Termasuk pengurusnya itu sebagai penganjur, atau pembantu atau sebagai pelaku, itu dianggap korporasi dapat dipertanggungjawabkan
Misalnya dalam beberapa pasal terkait seperti, Pasal 188 RKUHP, definisi korporasi, dan diperluas pasal 776, ini yang muncul dalam pasal berbagai UU diluar RKUHP. Pasal 48-54 tentang tindak pidana korporasi dan sanksi denda, pasal 82 dan sanksi tindakan dalam pasal2 tertentu. Dan masalah pertanggungjawaban pidana korporasi ini sangat baru dalam KUHP, artinya ketentuan yang bersifat khusus yang tersebar dalam UU diluar KUHP ini akan dibuat menjadi ketentuan yang bersifat umum. Kecuali tindak pidana tertentu yang mengecualikan atas prinsip tertentu.
Barda :
Sebetulnya permasalahannya adalah istilah, “subjek” tindak pidana saja atau “subjek hukum” tindak pidana? Pemerintah dalam hal ini mengambil sikap “subjek” saja. Bukan “subjek hukum” pidana, sebetulnya tidak ada prinsip yang berbeda, yang jelas mau menunjuk bahwa korporasi subjek delik. Dia subjek delik apa bukan. Ya kalo mau lebih luas, namanya subjek hukum pidana. Tapi kalo mau menyebutkan subjek dalam arti orang yang dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang bersangkutan, siapa adressat dari tindak pidana itu, itu kan subjek. Siapa si pelakunya, pelakunya itu bisa orang perorangan bisa korporasi. Ini soal pilihan kata, terserah mau diserahkan kepada tim perumus atau mau dibicarakan disini. Mungkin berkaitan dengan harmonisasi atau konsistensi perumusan. Itu saja.
Benny :
Tidak ada implikasi berbeda, antara dicantumkan atau tidak dicantumkan. antara subjek saja atau subjek hukum. Jadi kata “subjek hukum” tidak perlu ya, jadi “subjek” saja.
Demokrat sudah bisa menerima ya? (ketok palu)
Baik selanjutnya kita masuk ke DIM 158.
Catatan disini, Hanura, Golkar dan PPP kurang lebih sama.
Sedangkan PKS dan Nasdem, minta penjelasan.
Kami persilahkan dari fraksi untuk memberikan catatan.
F-PPP :
Perlu diberikan penjelasan bahwa yang dimaksud dengan “dalam lingkup usaha korporasi” yaitu bila perbuatan pidana tersebut merupakan perbuatan yang berkaitan dengan salahsatu atau lebih kegiatan yang termasuk dalam lingkup usaha korporasi. Saya kira itu saja, barangkali mau disambung sama teman2.
Penjelasan “Usaha korporasi” : bila perbuatan pidana tersebut berkaitan dengan usaha korporasi.
F-Golkar :
Pasal 49 : terdapat “kata orang-orang”, sehingga mengesankan orang2 itu walaupun diberi penjelasan dengan mempunyai kedudukan yang fungsional, tidak ada kata2 misalnya orang2 mempunyai kedudukan fungsional, kedudukan fungsional korporasi “yang sama”, khawatirnya orang2 tersebut adalah bukan orang2 yang sama dalam satu korporasi.
Penjelasan dari PPP sama, mengenai lingkup korporasi. Karena lingkup korporasi dalam penjelasan itu tidak disebutkan. Apakah nanti akan diberikan lebih detail dalam penjelasan? Padahal penjelasan itu menjadi guidance. Dan terakhir mengenai “orang-orang” itu dalam norma itu dijelaskan, bukan dalam penjelasan.
Benny :
Pasal 49 ini kan norma untuk menegaskan bahwa korporasi ini merupakan subjek hukum yang dapat melakukan tindak pidana. Hanya penjelasan itu tadi, siapa yang dimaksudkan dengan korporasi, dan siapa yang punya kewenangan untuk bertindak atas nama korporasi, untuk bisa dipidana, ini memang harus kita rumuskan dengan jelas disini. Jadi tindak pidana yang dilakukan korporasi itu apa, perbuatan apa saja yang digolongkan sebagai tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi, apakah misalnya pembunuhan, bisa? Ini kan penting, saya tidak tahu apakah belakang2nya ada rumusan soal itu, tentang tindak pidana yang bisa dilakukan oleh korporasi ini apa saja, kan pasal 49 itu kan penegasan bahwa korporasi itu adalah subjek tindak pidana. Tapi belum dijelaskan siapa yang punya kewenangan yang bertindak atas nama korporasi/yang berwenang dan ruang lingkup perbuatan apa saja yang dapat dikategorikan ini masuk perbuatan pidana. Jangan sampai ini semua soal, Wah bahaya nanti lama-lama gak ada yang mau investasi di negara kita ini.
Prof. HH :
Yang pertama adalah berkaitan dengan siapa saja yang menjadi pelaku, sehingga suatu korporasi dapat dikenakan pertanggungjawaban, ini yang tadi sudah dirumuskan dalam penjelasan Pasal 49, yaitu mereka yang mempunyai kedudukan fungsional.
Makna kedudukan fungsional itu : punya kewenangan mewakili, kewenangan mengambil keputusan, kewenangan menerapkan pengawasan terhadap korporasi, jadi disini dia bisa ditempatkan sebagai melakukan, menyuruhlakukan, turut melakukan, membantu melakukan atau menganjurkan tindak pidana.
Mengenai Ruang lingkup korporasi itu dalam lingkup “usaha korporasi”, akan dijelaskan oleh Prof. Muladi
Prof Muladi :
Berdasarkan perbandingan hukum dan ketentuan instrumen internasional yang mengatur:
- Apakah ada suatu tindakan atau kelalaian yang dilakukan oleh seseorang yang bekerja untuk suatu badan hukum/leading position à ini mengidentifikasikan mens rea korporasinya disitu. Mens rea korporasi diliat dari mens rea pengurus yang punya leading position.
- Apakah tindakan tersebut sesuai dengan operasional bisnis suatu badan hukum à sesuai AD/ART nya/tidak boleh ultravires (tidak berlaku untuk tindak pidana yang hanya untuk pengkhianatan saja, yg hanya pidana penjara itu tidak bisa diberlakukan pada korporasi, juga pembunuhan, bigami, incest)
- Harus ada unsur benefit yang menguntungkan korporasinya/Crimes for corporation/Corporate Criminal. Kalau tidak menguntungkan korporasi, bukan kejahatan korporasi.
- Apakah badan hukum dapat memutuskan apakah tindakan tersebut harus dilakukan atau tidak? Dan apakah seperti yang ditampilkan dari tujuan yang sebenarnya tindakan ini diterima oleh badan hukum tersebut sebagai kebijakan
Elemen-elemen itu yang menyebabkan korporasi itu dapat dipertanggungjawabkan. Sekalipun sebagai penganjur, atau pembantuan, korporasi tetap harus bertanggungjawab. Dan dalam hukum pidana kita, tidak hanya bisnis, tapi juga diperluas, misal terorisme, itu korporasinya bisa dibubarkan, baik badan hukum maupun non badan hukum. Dan itu diperluas dalam Pasal 776 RKUHP, dan itu istilah2 yang digunakan dalam istilah2 UU diluar KUHP.
Benny :
Karena tadi tidak ada pembedaan antara korporasi yang berbadan hukum atau non badan hukum. Ada pertanyaan, apakah rumusan ini bisa mengcover perusahaan yang statusnya belum berbadan hukum? Karena dalam rezim hukum perusahaan, hukum perdata dan hukum pidana itu beda. Karena kalo dalam rezim hukum perdata kan kalau yang statusnya bukan badan hukum, maka tanggungjawab tidak bisa dibebankan pada korporasi, tapi pada orang perorangan, nanti kan ini beda. Apakah rumusan ini bisa mengcover pengurus perusahaan yang belum berbadan hukum.
Kalo dilihat seluruh bab tentang korporasi, disini belum ditemukan penjelasan apapun definisi korporasi dalam rumusan pasal ini. maka demi kepastian hukum, harus ada formulasi tentang hal itu, karena nanti manyangkut pertanggungjawaban pidananya.
Muladi :
Definisi korporasi ada dalam pasal 189 RKUHP, dan Pasal 776, badan hukum dan bukan badan hukum, pasal 776 ayat (2) untuk lebih detailnya. Jadi ini menampung perkembangan kejahatan korporasi sekarang yang ada di 60an UU diluar KUHP.
Benny :
Saya usulkan Pasal 49 diserahkan pada TIMUS, TIMSIS,
Fraksi – DPR :
Karena dalam perkembangannya, diversifikasi suatu usaha itu, apakah itu yang dimaksud ruang lingkup usaha? Yang kedua ada holding company yaitu membidangi dan membawahi korporasi2 yang berbagai macam. Tadi disebutkan dalam penjelasan Muladi, dewan pengurus yang memiliki leading posititon, nah “dewan pengurus yang memiliki leading posititon” dalam struktur seperti itu apakah sudah dijelaskan dalam Karena dalam rancangan belum tercatat.
Sumanjaya-FPKS :
Tadi kami bertanya tentang apakah perlu pencantuman kata orang-orang korporasi yang “sama”, karena bukan orang2 yang tidak terkonsolidasi dari seluruh orang-orang korporasi yang sama.
Kedua, apakah memungkinkan adanya tindak pidana gabungan korporasi? Saya baca, belum mendapati, tapi kalo melihat rumusan pasal 49 ini memungkinkan tampaknya adanya itu, karena orang2 yang mempunyai kedudukan fungsional dalam suatu organisasi korporasi yang bertindak untuk korporasi itu ternyata dilakukan oleh pengurus selanjutnya. Itu mungkin bisa beda-beda orangnya. Sehingga kalo memang ini sama, ada penjelasan kata “sama” nya itu, Menunjukkan tindak pidana gabungan korporasi atau lebih dari 1 korporasi.
Prof. HH :
Iya, Ini hanya mencakup mereka yang ada di dalam korporasi, apabila dia tidak masuk dalam struktur, tidak bisa dimasukkan. Karena itu atas nama korporasi, dan apakah ada penggabungan korporasi? Bisa saja digabungkan itu, bisa saja. Nanti sangat bergantung pada penerapan oleh para penegak hukum.
Ini memang menjadi PR kita, ketika ingin menegakkan tanggungjawab korporasi, meskipun korporasi telah dijadikan subjek sejak tahun 1955, itu bisa dihitung dengan jari siapa yang masuk, Karena memang kesulitan pembuktian.
Sumanjaya-FPKS:
Maaf interupsi, Jadi pemerintah memandang tidak perlu ada pencantuman kata “yang sama”? jadi saya bacakan bunyi pasal nya :
“Orang-orang yang mempunyai kedudukan fungsional dalam suatu organisasi korporasi yang bertindak untuk dan atas nama korporasi”
kami menghendaki ada kata yang “sama” dalam satu korporasi mereka itu.
Lalu yang kedua, jawaban Prof tuti belum tegas apakah di RKUHP ini ada penegasan tentang tindak pidana gabungan korporasi.
Kalau tadi kan masih dimungkinkan begitu ya, Apakah sudah kita catat itu, apa sudah masuk dalam pasal?
Kita berharap bahwa RKUHP ini bisa menjangkau jauh kedepan, malah saya senang sekali prof muladi bisa memberikan penjelasan kita sudah seusaha mungkin menjangkau kedepan, kita juga ingin bisa menjangkau RKUHP kedepan, jangan sampai begitu disahkan RKUHP, langsung jadi fosil. Kita berharap kita lebih komprehensif.
Benny :
Saya kira semangat kita sama pak, kita ingin ada pembaharuan tapi pembaharuan yang komprehensif.
Prof. HH :
Yang pertama, maksudnya kedudukan yang fungsional itu ya dalam korporasi itu, bukan korporasi yang lain.
Yang kedua, ada kemungkinan mereka dijerat dengan pasal2 gabungan tindak pidana, tadi yang udah disampaikan bahwa yang akan menjadi subjek dalam RKUHP ini kan setiap orang yang mencakup natural persoon dan legal persoon. Tapi gabungan itu juga adalah prinsip2 umum yang dapat diterapkan dalam korporasi.
Muladi :
Untuk holding company, diadopsi Delegation theory, lingkaran individu harus diperluas. Atas dasar delegasi wewenang.
Benny :
Baik, selanjutnya kita sepakat ini diberikan ke TIMUS dan TIMSIN ya. (ketok palu)
Buku ke I ada 6 Bab, kita sekarang ini sudah masuk Bab 2 bagian akhir, mengenai korporasi, setelah itu bagian pidana dan pemidanaan. Jadi mudah2an buku I ini bisa selesai pada waktunya.
Kita Lanjutkan besok, setelah rapat paripurna (Selasa, 24 november 2015, pukul 14.00 kita mulai)
——Rapat Diskors—–