Hukuman mati dinilai hanya perlihatkan ‘dua muka’ pemerintah

Merdeka.com – Setelah eksekusi mati gelombang kedua, Kejaksaan Agung diduga tengah merencanakan eksekusi tahap ketiga dengan mengajukan anggaran eksekusi dalam APBN. Padahal, dari dua kali eksekusi sebelumnya, pemerintah berkali-kali dikritik dan ditentang karena hukuman mati melanggar HAM.

Menurut peneliti senior Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Anggara, jika tetap melaksanakan gelombang ketiga, pemerintah telah mempraktikkan hukum ‘dua muka’ dalam pelaksanaan hukuman mati.

“Sebab dalam Rancangan KUHP (RKUHP), pemerintah sudah membatasi penggunaan hukuman mati,” ujar Anggara dalam sebuah diskusi di Resto Bakoel Coffee, Jl Cikini Raya, Jakarta Pusat, Kamis (8/10).

Pasal 89 RUU KUHP yang menyatakan pidana mati secara alternatif dijatuhkan sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat dan Pasal 90 yang mengatur tentang pelaksanaan pidana mati dapat ditunda dengan masa percobaan 10 tahun.
Sementara itu Pasal 90 menjelaskan, apabila dalam sepuluh tahun itu seorang terpidana mati menunjukkan perbuatan dan sikap terpuji, maka pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup atau pidana penjara selama 20 tahun.

Dalam Pasal 92 RKUHP ini, disebutkan jika permohonan grasi terpidana mati ditolak dan hukuman mati tidak dilaksanakan dalam selama 10 tahun, bukan karena terpidana melarikan diri maka hukuman mati tersebut diubah menjadi hukuman seumur hidup.

Menurut Anggara, terdapat masalah yang cukup serius dalam RKUHP tersebut. Masalah itu antara lain bertentangan dengan hak asali manusia yang diatur dalam Pasal 55 ayat (2) RKUHP.

“Meskipun pengaturan ini dianggap sebagai jalan tengah, namun terlihat beberapa hal inkonsistensi dalam RKUHP. Masih dicantumkannya hukuman mati dalam RKUHP bertentangan dengan tujuan pemidanaan yang juga diatur dalam RKUHP dalam pasal 52 ayat (2) yang menyatakan pemidanaan tidak untuk merendahkan martabat manusia,” ujarnya.

Politik dua muka, kata dia, juga diperlihatkan dalam Buku II RKUHP di mana masih banyak tindak pidana yang mencantumkan pidana mati tidak sejalan dengan ketentuan ICCPR yang telah diratifikasi Indonesia. Misalnya, tindak pidana makar terhadap NKRI, korupsi dalam keadaan tertentu, kejahatan penerbangan dan sebagainya.

“Politik dua muka Pemerintah yang di satu sisi memahami pentingnya membatasi hukuman pidana mati dengan fakta bahwa ada rangkaian eksekusi mati berikutnya. Hal ini menunjukkan bahwa Pemerintahan Jokowi tidak memiliki pendirian dan sikap terkait hukuman mati,” papar dia.

Akibat langgengnya RKUHP tersebut kata Anggara, pemerintah Jokowi telah mengeksekusi mati 14 terpidana mati yang secara keseluruhannya terjerat kasus narkotika. Sementara itu, terpidana mati lainnya masih menunggu waktu saja.

“Saat ini pun terdapat 121 orang yang menunggu eksekusi mati di Indonesia. Tren tuntutan dan vonis pidana mati pun meningkat. Citra tegas yang dipertontonkan pemerintah Jokowi dengan cara mengeksekusi mati nampaknya menjadi populer di kalangan jaksa dan hakim,” tandas dia.

Sumber : merdeka.com

Leave a Reply