Optimisme DPR Soal R KUHP Dipertanyakan

Pembahasan rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana untuk menggantikan hukum pidana warisan era kolonial (Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie), yang berlaku sejak 1918, tak kunjung rampung meski sudah mulai dilakukan sejak 1964. Banyaknya pasal yang akan dimasukkan ke RUU KUHP menjadi tantangan terbesar pembahasannya. Optimisme DPR yang mengaku bisa menyelesaikan soal ini dalam dua tahun, atau paling lambat pada akhir masa pemerintahan Presiden Jokowi, mengundang banyak tanda tanya.

Wakil Ketua Komisi Hukum DPR Benny Kabur Harman menyebutkan ada dua tantangan besar dalam merevisi KUHP. Pertama, revisinya harus sinkron dengan undang-undang lainnya sehingga pembahasannya harus sangat hati-hati. Kedua, jumlah pasalnya memang banyak. KUHP saat ini memiliki 569 pasal. Dalam draf, Revisi RUU KUHP saat ini sebanyak 786 pasal. “Karena saking banyaknya pasal, ya,” kata politikus dari Partai Demokrat itu, Kamis pekan lalu.

Namun Benny masih memiliki optimisme untuk bisa menyelesaikan RUU KUHP lebih cepat. Dia mematok penyelesaiannya sampai dua tahun. “Tapi kami selalu optimistis. Mungkin butuh dua tahun.”

Anggota Badan Legislasi DPR, Arsul Sani, menyatakan penyusunan RUU KUHP ini ditargetkan rampung sebelum akhir masa pemerintahan Presiden Jokowi. Hingga kini, Panja RUU KUHP telah menyelesaikan lebih dari 55 pasal dari jumlah total 218 pasal yang ada dalam Buku I KUHP.

Buku pertama ini berisi ketentuan umum. Sedangkan buku keduanya akan berisi pasal tentang tindak pidana. Sedangkan Buku III KUHP mengatur soal pelanggaran. “Targetnya, buku pertama akan rampung pada Agustus 2016. Bahkan, kami optimistis sudah selesai sebelum Agustus tahun depan,” ujarnya.

Arsul mengimbau koalisi masyarakat sipil turut memberi masukan untuk perumusan RUU KUHP. Masukan tersebut sangat berguna untuk mempercepat perumusannya. “Anggota Panja DPR yang sekarang ini, kan juga ingin dicatatkan namanya sebagai sejarah hukum republik ini,” kata politikus asal Partai Persatuan Pembangunan itu.

Dia khawatir, jika pembahasan rancangan Undang-Undang KUHP tak selesai pada masa pemerintahan Jokowi maka pada pemerintahan berikutnya akan diulang dari awal. “Kalau sampai tidak rampung lagi sampai akhir masa pemerintahan, nanti pembahasannya akan dimulai dari nol lagi di periode berikutnya.”

Banyak orang mempertanyakan optimisme DPR soal penyelesaian RUU KUHP, dan ini bukan tanpa alasan. Rancangan revisi KUHP pertama kali disiapkan pada 1964. Hingga setengah abad berlalu, pembahasan rancangan itu tak kunjung selesai. Setelah Reformasi 1998, rencana revisi KUHP dilakukan pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.

Namun rencana tinggal rencana. Hingga akhir masa pemerintahan Yudhoyono, yakni 2014, rencana revisi itu tak membuahkan hasil sehingga diserahkan kepada pemerintahan Joko Widodo untuk meneruskannya.

Salah satu yang tak yakin pembahasan RUU KUHP kelar adalah peneliti dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Miko Ginting. Namun, menurut dia, bukan berarti revisi KUHP itu tak mungkin selesai sesuai dengan tenggat.

Dia menyarankan tiga hal. DPR dapat menggunakan sistem clustering. Misalnya, dalam pasal pidana pembunuhan, mana yang akan disepakati, mana yang tidak. DPR harus membentuk tim pembahasan substansi, tim perumusan, serta tim redaksional supaya pembagian tugas berjalan efektif. “Harus ada tiga tim supaya lebih efektif,” ujar Miko Ginting.

Kedua, seharusnya Panja melakukan amendemen parsial. Artinya, tidak semua pasal pidana dimasukkan ke RUU KUHP. “Cukup bagian mana saja yang perlu direvisi,” ujarnya. Ketiga, soal efektivitas waktu pembahasan. Menurut Miko, Panja RUU KUHP tidak perlu diberikan beban untuk membahas undang-undang lainnya sehingga Panja dapat berfokus dan cepat menyelesaikan rancangan KUHP. Selain itu, Panja sebaiknya tidak melakukan reses ataupun kunjungan kerja agar berkonsentrasi menyelesaikan RUU KUHP. “Dengan begini, saya optimistis RUU KUHP selesai sebelum akhir masa pemerintahan,” ujar Miko.

Upaya Lebih dari Setengah Abad

KUHP yang kita pakai selama ini bersumber dari hukum kolonial Belanda, yakni Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie. Pengesahannya dilakukan pada 1915 dan berlaku sejak 1 Januari 1918. Setelah Indonesia merdeka, KUHP tetap diberlakukan disertai penyelarasan kondisi dengan pencabutan pasal-pasal yang tidak lagi relevan. Untuk menegaskan kembali pemberlakuan hukum pidana pada masa kolonial tersebut, pada 26 Februari 1946, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Rencana revisi KUHP sejatinya sudah dilakukan setengah abad lalu, namun tak kunjung terwujud hingga kini.

1963: Seminar Hukum Nasional I, pada 11-16 Maret 1963 di Jakarta, menyerukan agar rancangan kodifikasi hukum pidana nasional secepat mungkin diselesaikan.

1964: Pemerintah menyusun Rancangan KUHP I.

1968: Rancangan KUHP II disusun.

1971-1977: Rancangan KUHP III, IV, dan V disusun.

1979: Dibentuk tim pengkaji hukum pidana untuk menyusun Rancangan KUHP VI.

1989-1985: Pembahasan intensif lewat lokakarya dan seminar untuk menyusun Rancangan KUHP VII dan VIII.

1999: Rancangan KUHP XII disiapkan untuk diserahkan ke DPR.

2013: Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyerahkan Rancangan KUHP XIII ke DPR. Sampai masa akhir jabatannya, rencana revisi itu tak membuahkan hasil.

2015: Pada 5 Juni, Presiden Jokowi menerbitkan Surat Presiden untuk memulai pembahasan Rancangan KUHP antara pemerintah dan DPR.

Sumber: Koran Tempo

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *