Pasal Korupsi Masuk RKHUP, KPK dan Kejaksaan Dinilai Tetap Dapat Sidik Korupsi
Masuknya sejumlah pasal korupsi dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi kekhawatiran sejumlah kalangan pegiat anti korupsi. Soalnya, lembaga adhoc seperti KPK serta Kejaksaan Agung tak lagi dapat menangani kasus korupsi. Hal itu pun ditepis anggota Komisi III Taufiqulhadi saat rapat dengar pendapat dengan Kejaksaan Agung di Gedung DPR, Senin (7/9) lalu.
“Jadi jangan kita konfrontasikan, bahwa dimasukannya pasal–pasal korupsi ke dalam KUHP maka lembaga-lembaga lex specialis itu akan jadi hilang. Jadi, tidak ada masalah,“ ujarnya.
Meski korupsi merupakan kejahatan extraordinary crime, bukan berarti mengesampingkan asas lex generalis. Menurutnya masuknya pasal korupsi dalam RKUHP menjadi payung hukum dalam penanganan kasus korupsi. Tetapi juga tidak berarti KPK dan Kejaksaan kehilangan kewenangan dalam penanganan kasus korupsi. Sebaliknya, KPK dan Kejaksaan tetap dapat menangani dan menyidik kasus korupsi.
Lebih lanjut politikus Nasional Demokrat (Nasdem) itu berpandangan seluruh Undang-Undang (UU) yang bersifat lex specialis sejatinya tak dapat berdiri sendiri. Sebaliknya, mesti berpayung hukum KUHP. Dengan begitu, Kejaksaan pun memiliki payung hukum untuk melakukan penindakan terhadap kasus-kasus lex specialis, korupsi misalnya.
Jaksa Agung HM Prasetyo berpandangan masuknya pasal korupsi dalam RKUHP bakal menjadi perdebatan. Apalagi pasal pencucian uang pun masuk pula dalam RKUHP. Ironisnya, kedua pasal jenis kejahatan itu menjadi tindak pidana biasa. Karena itulah Prasetyo khawatir korps adhiyaksa yang dipimpinnya ke depan tak lagi memiliki kewenangan menyidik kasus korupsi.
“Tipikor dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) menjadi tindak pidana biasa. Sehingga, Kejaksaan dan kewenangannya tidak berwenang menyelidiki dan menyidik kasus korupsi,” ujarnya.
Anggota Aliansi Nasional Reformasi RKUHP, Refki Saputra mencoba untuk mengakomodir usulan tim perumus yang ingin lakukan kodifikasi total. Menurutnya, untuk mengakomodir hal ini perlu dibuat sebuah rumah besar khusus untuk memasukkan tindak pidana khusus yang selama ini ada di luar KUHP, seperti korupsi dan pencucian uang.
“Harus bikin sebuah rumah besar agar bisa terakomodir (tindak pidana di luar KUHP),” kata peneliti dari Indonesian Legal Roundtable ini, Kamis (10/9).
Menurut Refki, setelah rumah besar ada, maka pekerjaan lainnya ada mencocokkan Buku I dalam RKUHP sesuai dengan asas-asas yang berlaku bagi tindak pidana khusus tersebut. Misalnya dalam pidana pencucian uang, di UU lex specialis, lebih mengejar aset. Namun dalam KUHP yang berlaku sekarang, masih mengedepankan pengejaran orang.
Namun, persoalan ini tidak semudah yang dikira. Menurut Refki, perlu ada diskusi mendalam agar tindak pidana di luar KUHP selama ini bisa masuk ke dalam RKUHP. Ia mengingatkan, agar keinginan tertentu jangan sampai mengacaukan sistem hukum yang telah berjalan selama ini. “Jangan sampai terjadi kekacauan, karena pada praktiknya banyak perkembangan yang terjadi.”