Pasal-Pasal Yang Membungkam
Lentera, sebuah majalah yang dibuat mahasiswa dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi Universitas Kristen Satya Wacana, ditarik dari peredaran karena mengangkat tema soal Gerakan 30 September 1965 dengan judul “Salatiga Kota Merah”. Protes dari Wali Kota, polisi, dan tentara atas tema itu membuat pemimpin Lentera diinterogasipolisi pada 18 Oktober 2015 dan distribusi majalahnya dihentikan.
Apa yang terjadi terhadap Lentera, menurut Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, adalah salah satu bentuk ” pembredelan yang dulu lazim terjadi di masa Orde Baru. “(Penerbitan Lentera) ini kasus terbaru yang mengancam kebebasan berekspresi dan berpendapat serta kebebasan pers di Indonesia,” kata Kepala Divisi Riset dan Pengembangan Jaringan LBH Pers, Asep Komarudin.
Bagi LBH Pers, kasus itu memperpanjang daftar kasus-kasus yang mengancam kebebasan berekspresi. Dalam catatan LBH Pers, kasus-kasus yang terkait dengan kebebasan berekspresi yang terjadi belakangan ini adalah gugatan dengan menggunakan Pasal 310 dan 311 tentang pencemaran nama baik dalam Kitab Undang-UndangHukumPi-dana (KUHP). Kasus yang mengemuka tentang hal itu belakangan ini adalahsoal gugatan hakim Sarpin terhadap anggota Komisi Yudisial dan aktivis ICW, Emerson Vunto, karena dianggap mencemarkan nama baiknya.
Pencemaran nama baik adalah satu dari sekian pasal dalam KUHP peninggalan kolonial Belanda yang masih dipakai dalam hukum kita. Menurut Direktur Eksekutif LBH Pers Nawawi Bahrudin, setidaknya terdapat 34 pasal dalam KUHP yang mengancam kebebasan berekspresi, selain “pasalkaret” 310 dan 311 itu. Sayangnya, kata Nawawi, jumlah pasal-pasal yang membungkam itu bukannya akan berkurang, tapi justru sebaliknya. Sebab, dalam draf revisi KUHP yang disiapkan pemerintah dan DPR, jumlah pasal yang dikategorikan bisa mengancam kebebasan berekspresi itu akan bertambah menjadi 85 pasal. “Artinya hukum Indonesia justru lebih buruk dari hukum di zaman kolonial,” ujarnya.
Pasal-pasal “pembungkam” yang ada dalam RKUHP itu, antara lain, adalah larangan penyebaran dan pengembangan ajaran komunisme dan Mantisme; penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden serta kepala dan wakil kepala negara sahabat; serta pornografi. Nawawi menilai pasal penghinaan terhadap presiden dan kepala negara harus dihilangkan. Sebab, pasal itu sudah dibatalkan
Anggota Komisi Hukum DPR RI, Arsul Sani, mengakui pembahasan kebebasan berekspresi dan berpendapat akan menjadi materi yang akan mengundang banyak perdebatan. Khusus tentang pasal penghinaan presiden, Arsul setuju pasal itu masuk draf KUHP Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan Indonesia perlu dijaga nama dan kewibawaannya. “Kami akan buat garis batas yang jelas antara penghinaan dan kritik,” tuturnya.
Wakil Pemimpin Komisi Hukum Benny K. Harman mengatakan,, sesuai dengan rapat kerja bersama pemerintah Senin lalu, pembahasan RUU KUHP buku I baru akan dibahas pada 29 Oktober 2015. Keseluruhan RUU KUHP sendiri ditargetkan selesai dibahas pada Desember 2016.
Sumber: Koran Tempo