Pembahasan R KUHP: Komisi III Putuskan Hukuman Mati Dilakukan Secara Alternatif di Masa Depan.
Hari ini (Senin, 18 Januari 2016), akhinya pembahasan R KUHP antara Panja Komisi III dan Pemerintah telah menyepakati, bahwa ketentuan Hukuman Mati dalam KUHP mendatang dilakukan sebagai hukum khusus yang bersifat alternatif.
Dalam rapat Panja tersebut, pasal-pasal Hukuman Mati dalam R KUHP (pasal 89 sd 92 R KUHP) yang telah disepakati tersebut mulai dari daftar inventarisir masalah (DIM) No 360 sd DIM 272. DPR telah memastikan bahwa hukuman mati masih dapat dilakukan namun dengan cara yang khusus dan alternatif. Panja sepakat bahwa terhadap pasal 89R KUHP yang menyatakan bahwa Pidana mati secara alternatif dijatuhkan sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat.
Khusus untuk Pasal 90 RKUHP telah disepakati bahwa:
- Pidana mati dapat dilaksanakan setelah permohonan grasi bagi terpidana ditolak Presiden.
- Pelaksanaan pidana mati sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan di muka umum.
- Pidana mati dilaksanakan dengan menembak terpidana sampai mati oleh regu tembak.
- Pelaksanaan pidana mati terhadap wanita hamil atau orang yang sakit jiwa ditunda sampai wanita tersebut melahirkan atau orang yang sakit jiwa tersebut sembuh.
Aliansi Nasional Reformasi KUHP prihatin dengan keputusan ini, meski dari awal Aliansi memang telah melihat kecenderungan DPR menerima usul tersebut. Dalam pengamatan Aliansi, terlihat bahwa tidak satu pun fraksi DPR yang menolak Pasal-pasal hukuman mati tersebut. Hal ini dapat dilihat dari DIM R KUHP, relatif semua Fraksi di DPR menerima rumusan yang ditawarkan oleh pemerintah.
Aliansi berpendapat bahwa pilihan yang disepakati antara pemerintah dan DPR dalam Panja Pembahasan R KUHP merupakan yang menempatkan pidana mati terlepas dari paket pidana pokok merupakan kompromi sebagai jalan keluar bagi pihak pihak yang menolak dengan pihak yang menerima hukuman mati, ini merupakan negosiasi antara kaum “retentionist” dan kaum “abolisionist”.
Walaupun pilihan hukuman tersebut dapat dialihkan menjadi seumur hidup dengan beberapa syarat. Namun Aliansi Nasional Reformasi KUHP masih melihat bahwa ketentuan hukuman mati R KUHP akan menimbulkan permasalah yang sukup besar. Misalnya dalam Pasal 91 dinyatakan bahwa Pelaksanaan pidana mati dapat ditunda dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun, jika: a. reaksi masyarakat terhadap terpidana tidak terlalu besar; b. terpidana menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki; c. kedudukan terpidana dalam penyertaan tindak pidana tidak terlalu penting; dan d. ada alasan yang meringankan.
Persoalannya jangka waktu 10 tahun untuk mempertimbangkan pengalihan pidana mati menjadi pidana seumur hidup, atau penjara 20 tahun merupakan jangka waktu sangat lama, dan mengabaikan penderitaan psikis bagi calon terpidana mati. Masa tunda ini justru menimbulkan persoalan baru dalam bentuk death row phenomenon. Death row phenomenon adalah kombinasi dari keadaan yang ditemukan pada saat terpidana menunggu eksekusi mati yang menghasilkan trauma mental yang berat dan kemunduran kondisi fisik dalam tahanan. Fenomena ini didapat dari kondisi menunggu hukuman mati yang lama dan kecemasan menunggu eksekusi itu sendiri ditambah dengan lingkungan yang terbatas, aturan sewenang-wenang, pelecehan, dan terisolasi dari orang lain.
Disamping itu dalam RKUHP, ternyata terdapat 26 pasal yang mencantumkan hukuman mati dalam deliknya. Jika diperbandingkan, ancaman hukuman mati dalam KUHP sekarang ini hanya terdapat 16 tindak pidana yang diancam hukuman mati dan sekitar 15 ancaman hukuman mati dalam tindak pidana di luar KUHP
Pencantuman hukuman mati dalam KUHP di masa depan masih banyak meninggalkan masalah walaupun dapat dialihkan menjadi pidana penjara. Ketentuan mengenai hukuman mati ini cenderung melemahkan semangat dari tujuan pemidanaan yang diorientasikan kepada rehabilitasi atau pemidanaan narapidana sebagaimana dituntut dalam masyarakat modern