R KUHP Cerminkan Jalan Tengah

Pengaturan pidana mati dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mencerminkan upaya untuk mengambil jalan tengah di antara pendapat yang pro dan kontra ihwal hukuman mati Rancangan KUHP memang masih mencantumkan pidana mati sebagai salah satu bentuk hukuman, tetapi diatur secara lebih ketat

Tara penyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP berusaha menampung semua pendapat tentang hukuman mati lalu mengambil jalan tengah,” kata Guru Besar Fakultas Hukum (FH) Universitas Diponegoro, Semarang, Nyoman Serikat Putra Jaya, dalam diskusi terbatas tentang hukuman mati yang diselenggarakan Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma di Kampus Mrican, Yogyakarta, Sabtu (31/10).

Nyoman yang ikut menyusun draf RUU KUHP mengatakan, dalam rancangan itu, pidana mati disebut sebagai pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara altematif. Pengaturan pidana mati dalam RUU KUHP juga dilakukan dalam pasal tersendiri, tidak disatukan dengan pengaturan pidana pokok lain seperti dalam KUHP sekarang, untuk menegaskan bahwa pidana mati benar-benar bersifat khusus.

Kekhususan pidana mati dalam RUU KUHP juga ditegaskan Pasal 89 yang menyatakan pidana mati secara altematif dijatuhkan sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat

Nyoman menambahkan. Pasal 91 RUU KUHP juga menyatakan, pelaksanaan pidana mati dapat ditunda dengan masa percobaan selama 10 tahun dengan sejumlah syarat Apabila terpidana matimenunjukkan sikap dan perbuatan terpuji selama masa percobaan, pidana mati bisa diubah menjadi pidana seumur hidup atau 20 tahun penjara.

Selain itu, Pasal 92 RUU KUHP menyebut jika permohonan grasi terpidana mati ditolak dan pidana tidak dilaksanakan selama 10 tahun bukan karena terpidana melarikan diri, maka pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup dengan keputusan presiden.

“Pasal-pasal itu menunjukkan, penerapan pidana mati berdasar RUU KUHP bersifat selektif, hati-hati, dan juga berorientasi pada perlindungan individu,” tutur Nyoman.

Guru Besar FH Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Marcus Priyo Gunarto menyatakan setuju dengan pengaturan pidana mati dalam RUU KUHP. Menurut dia, pemberian masa percobaan selama 10 tahun merupakan waktu yang cukup untuk mengoreksi putusan peradilan apabila ditemukan bukti bam. “Apalagi, pada tahun 2007, Mahkamah Konstitusi telah menyatakan pidana mati tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945,” ujarnya.

Guru Besar Hukum Pidana UGM Eddy OS Hiariej berpendapat pidana mati masih dibutuhkan dengan catatan hanya dijatuhkan kepada pelaku kejahatan luar biasa, misalnya korupsi, terorisme, penyalahgu-naan narkotika, dan pelanggaran berat hak asasi manusia (HAM). Hukuman mati juga bisa dijatuhkan pada kejahatan biasa, misalnya pembunuhan, yang dilakukan secara terencana dan sadis.

“Namun, yang juga perlu diingat adanya ancaman pidana mati dalam KUHP dapat menjadi rintangan dalam kerja sama internasional,” paparnya.

Ketua Pengadilan Negeri Bekasi Jawa Barat Albertina Ho menuturkan, ancaman pidana mati tetap perlu dicantumkan dalam KUHP sebagai tindakan preventif untuk melindungi masyarakat Namun, dia mengingatkan, pencantuman itu bukan bermakna para hakim akan selalumenjatuhkan pidana mati.

“Kalau misalnya nanti nilai-niIai yang berkembang di masyarakat tidak lagi menghendaki hukuman mati, hakim bisa saja tidak menjatuhkan pidana mati meskipun KUHP memungkinkan hal itu. Jadi, bisa dimungkinkan secara de jure pidana mati tercantum dalam KUHP, tapi secara de facto tidak ada hakim yang menjatuhkan hukuman mati,” ujar Albertina

Dosen Sosiologi Universitas Indonesia Lucia Ratih Kusumadewi menolak pencantuman pidana mati di RUU KUHP meskipun lebih ketat Sebab, selain bertentangan dengan HAM, pemberlakuan pidana mati juga tak berkorelasi dengan penurunan tingkat kejahatan.

“Adanya pidana mati juga menunjukkan kesalahpahaman bahwa hukum sama dengan pembalasan,” ujarnya.

Lucia mempertanyakan argumen bahwa pengaturan pidana mati dalam RUU KUHP merupakan jalan tengah. Menurut dia, argumen itu menunjukkan penyusunan RUU KUHP bersifat politis. “Dengan demikian, sebenarnya hukum tidak lagi memperjuangkan apa yang memang harus diperjuangkan untuk kebaikan bersama, tetapi hukum telah diperdagangkan untuk komoditas politik,” katanya.

Rektor Universitas Atma Jaya Yogyakarta Sri Nurhartanto mengaku tak setuju dengan pencantuman hukuman mati di RUU KUHP karena hak hidup tiap orang harus dilindungi. Apalagi, tambahnya, penghapusan hukuman mati sudah jadi tren global yang seharusnya diikuti.

Sumber: Harian Kompas

Leave a Reply