UU KUHP Direvisi Agar Penegak Hukum Tidak Saling Bentrok

Komisi III DPR diminta memastikan adanya fungsi efektif dari masing-masing aparat penegak hukum dalam Revisi Undang Undang Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP). Sebab.dengan KUHP yang baru nanti, diharapkan tidak ada rebutan penanganan perkara atau kasus oleh aparat penegak hukum.

Bekas Hakim Konstitusi Prof Ahmad Syarifuddin Natabaya menekankan, perlu sinkronisasi dan kodifikasi tugas dan kewenangan di dalam KUHP. “Masih banyak hal yang perlu diatur di republik ini. Ya polisi, jaksa dan banyak hal lainnya. Semua harus dikaji dan diatur dalam KUHP,” ujarnya, dalam Panel Discussion RUU KUHP Mewujudkan Hukum Pidana Nasional Yang Aspiratif Dan Keindonesiaan di DPP Partai Golkar, S lipi. Jakarta, beberapa waktu lalu.

Bekas Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional ini menegaskan, masing-masing unsur aparat penegak hukum itu harus tegas dipisah dalam tugas dan batasan kewenangannya. Sebab selama ini, berdasarkan KUHP lama yang merupakan produk hukum Belanda, sering terjadi benturan kepentingan dalam tugas dan kewenangannya. “Satu-satunya penyidik di republik ini ya polisi. Satu-satunya penuntut di republik ini ya jaksa,” tegasnya.

Tentu, lanjut Natabaya, perlu kajian dan pertimbangan matang dalam membuat Undang Undang KUHP versi Indonesia ini. Karena itu, tim penyusun RUU KUHP, terutama DPR harus benar-benar menyerap aspirasi semua pihak, agar KUHP benar-benar sesuai kebutuhan Indonesia dan mampu menjawab tantangan hukum.

“Misal ide supaya ada penyidik independen, seperti dibutuhkan KPK, ini harus dipertimbangkan. Sebab, penyidikindependen itu tetap harus ada kaitannya dengan polisi sebagai penyidik satu-satunya di Indonesia,” ujarnya.

Di tempat yang sama. Ketua Komisi Yudisial (KY) Suparman Marzuki menekankan pentingnya reformasi kepolisian Indonesia yang secara tegas dimuat di dalam KUHP yang baru. Kepolisian, lanjut dia, selama ini memiliki citra dan tugas yang sering dipersoalkan masyarakat, karena penyalahgunaan dan penerapan hukum yang tidak pas.

“Dalam penyusunan KUHP ini, polisi mendatang bukanlah sebagai crime hunter, tetapi harus sebagai penyelesai persoalan masyarakat, yang sebagai mediator untuk menyelesaikan persoalan-persoalan masyarakat,” ujar Suparman.

KUHP yang baru, yang sedang dalam pembahasan ini, lanjutnya, harus dipastikan. Polri adalah berorientasi sebagai polisi sipil.

Selain itu, di dalam KUHP, diusulkannya, perlu diatur pembatasan penanganan perkara di masing-masing institusi. Sebab, seperti di Mahkamah Agung (MA), masyarakat banyak yang tidak mendapat kepastian hukum karena lama dan panjangnya proses pemutusan perkara di MA.

“Di MA ada 10 ribu-an tumpukan perkara. Tentu ini akan memperlambat kepastian hukum di masyarakat. Karena itu, sangat diperlukan pembatasan penanganan perkara dengan mengedepankan ketelitian,” pungkasnya.

Sedangkan Ketua Komisi m DPR Azis Syamsudin menyampaikan, pembahasan dan penetapan RUU KUHP ini terus mendengarkan masukan dan pertimbangan dari semua sisi dan aspek, agar hasilnya paripurna dan mampu menjawab dan memberikan keadilan.

Wakil Ketua Umum DPP Partai Golkar ini juga menyatakan, target DPR untuk segera menetapkan Undang Undang KUHP yang baru sudah tidak bisa ditunda-tunda lagi.

“Targetnya, RUU KUHP ini harus selesai pada 2016. Rencananya akan diumumkan pada 17 Agustus 2016. Karena itu, kami dari DPR mengumpulkan sebanyak mungkin masukan dan pertimbangan dari semua elemen, dari KPK, kepolisian, kementerian hukum dan HAM, kejaksaan, para pakar dan masyarakat sehingga KUHP kita nantinya akan konprehensif,” papar Azis.

Sumber: Rakyat Merdeka

Leave a Reply