Aspek Penting Dalam Menangani Perkara Narkotika

oleh: Pista Simamora

Hampir di seluruh Indonesia, terjadi overcrowding akibat berlebihnya jumlah penghuni Rumah Tahanan (RUTAN) dan Lembaga Permasyarakatan (LAPAS), dan ini menjadi masalah yang serius bagi sistem peradilan pidana. Terupdate pada 25 Oktober 2019, dari 523 wilayah Unit Pelayanan Teknis (UPT) Pemasyarakatan di Indonesia, hanya 4 wilayah saja yang tidak mengalami overcrowding, yaitu: Daerah Istimewa Yogyakarta, Maluku Utara, Papua Barat, dan Sulawesi Barat.

Fenomena ini sebetulnya bertolak belakang dengan tren kejahatan di Indonesia, yang sebenarnya cenderung stabil dari waktu ke waktu. Juga tercatat dari Sistem Database Pemasyarakatan (SDP), fenomena ini sudah terjadi sejak 9 tahun terakhir. Bahkan beberapa kategori kejahatan, seperti kejahatan pencurian dengan pemberatan, pencurian kendaraan bermotor, pencurian dengan kekerasan dan penganiayaan pun ikut menurun.

Lalu apa yang menyebabkan terjadinya fenomena overcrowding?

Meningkatnya penghuni RUTAN dan LAPAS diakibatkan oleh meningkatnya angka kejahatan untuk perkara narkotika. Peningkatannya mencapai 2 kali lipat selama 2014 – 2016. Kasus ini juga telah menyeret 45,830 orang pengguna narkotika ke dalam penjara. Hal ini adalah salah satu dampak dari adanya deklarasi perang terhadap narkotika yang dicetuskan pada masa pemerintahan Joko Widodo. Padahal, semula pemerintah telah mengeluarkan UU Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, pada Pasal 4 huruf d, yang bertujuan untuk menjamin pengaturan dan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalahguna dan pecandu narkotika. Namun nyatanya pada fase ini terjadi kriminalisasi berlebihan terhadap pengguna narkotika, yang justru memutus hukuman penjara adalah hukuman yang sesuai bagi para penyalahguna dan pecandu narkotika, dan juga beberapa Pasal lainnya, seperti Pasal 54 dan Pasal 103. Namun sayangnya pasal ini terkesan menjadi pasal karet, dan masih banyak para penyalahguna dan pecandu narkotika yang justru mendapat hukuman penjara. Hal ini tentu tidak dapat dibiarkan. Ditakutkan, Indonesia akan semakin mengalami overcrowding, sehingga perlu adanya reformasi kebijakan narkotika yang efektif dan efisien.

Dalam upaya meminimalisir dan memperbaiki salah kaprahnya UU Narkotika ini, Mahkamah Agung sebenarnya sudah membuat beberapa ketentuan yang membahas tentang aspek-aspek yang harus dipertimbangkan secara materiil dan formil. Setidaknya ada 11 poin aspek hukum materiil dan 20 poin aspek hukum formil yang harus diperhatikan sebelumnya.

Pada Aspek Hukum Materiil, memerhatikan 11 poin berikut:

  1. Penguasaan narkotika yang dikuasai oleh terdakwa, dan jika narkotika digunakan secara bersama-sama namun bukan merupakan penguasaan penuh oleh terdakwa, maka terdakwa tidak dapat dijerat dengan Pasal 112 (1) UU Narkotika.
  2. Memerhatikan kondisi terdakwa pada ketergantungan narkotika, dan jika terbukti maka disarankan untuk dilakukan terapi individu, konsultasi keluarga, obat-obatan untuk mengurangi adanya gangguan mental, rehabilitasi medis, serta pemeriksaan psikologis.
  3. Tidak tepatnya penggunaan pemberatan hukuman jika terdakwa terbukti menggunakan lebih dari 1 jenis narkotika.
  4. Penilaian atas ketergantungan seorang terdakwa sangatlah tidak tepat, karena seharusnya terdakwa dibantu untuk disembuhkan dan dapat kembali ke masyarakat.
  5. Seorang terdakwa yang pernah terlibat dalam peredaran gelap narkotika, tidak layak untuk dikaitkan dengan kasus yang sedang ia jalani.
  6. Tujuan pembelian narkotika harus menjadi pertimbangan awal, apakah narkotika tersebut hanya untuk digunakan sendiri atau bersama-sama, dan bukan untuk diperjual-belikan kembali.
  7. Pemufakatan jahat hanya dapat diberikan kepada terdakwa yang terbukti terlibat dalam pasar gelap, bukan kepada seseorang yang hanya menguasai atau menggunakan narkotika.
  8. Kepemilikan batas berat narkotika harus dihitung berdasarkan berat bersih, dan tidak termasuk biji serta batang pembungkus narkotika, yang beracuan pada SEMA No. 4 tahun 2010 jo SEMA Nomor 3 tahun 2011, dan harus melalui pemeriksaan laboratorium.
  9. Penguasaan pada berat atau jumlah narkotika harus beracuan pada SEMA No. 4 tahun 2010 jo SEMA Nomor 3 tahun 2011.
  10. Perhatian pada berat atau jumlah narkotika, apabilaberat atau jumlahnya di bawah ketentuan SEMA No. 4 tahun 2010 jo SEMA Nomor 3 tahun 2011, maka diasumsikan untuk digunakan secara pribadi atau bersama-sama, dan penguasaan ini bukan untuk diperjual-belikan.
  11. Penelusuran penggunaan narkotika harus diperhatikan, sebab penyalah guna narkotika belum tentu dapat dikatakan juga sebagai pecandu narkotika.

Kesebelas poin ini harus menjadi pertimbangan awal para aparat penegak hukum dalam menangani kasus narkotika. Jika ditarik garis besarnya, selama penguasaan untuk diri sendiri atau secara bersama-sama dan bukan untuk diperjual-belikan, apalagi tidak berkaitan dengan pasar gelap, seharusnya tidak perlu mendapatkan hukuman penjara. Apalagi jika narkotika yang dimiliki berat atau jumlahnya masih di bawah ketentuan SEMA Nomor 4 tahun 2010 jo SEMA No. 3 tahun 2011.

Sedangkan pada Aspek Hukum Formil, memerhatiakan 20 poin berikut:

  1. Pemeriksaan barang bukti yang harus melalui laboratorium terlebih dulu;
  2. Para penegak hukum harus mencari kebenaran materiil dan mempertimbangkan profil terdakwa sebagai penyalahguna;
  3. Pertimbangan atas pembuktian pembelian narkotika melalui DPO;
  4. Adanya persesuaian fakta hukum yang akurat, dan bukan berdasarkan pada saksi penyidik kepolisian dan juga saksi mahkota saja;
  5. Proses pengembangan kasus yang terlalu lama akan dianggap dapat menimbulkan terjadinya kesalahan prosedur;
  6. Pemilihan perbuatan yang lebih ringan, harus diutamakan untuk didakwakan;
  7. Pasal tentang penyalahgunaan selalu didakwakan pertama kali, demi mwngerucutkan permasalahan menjadi hanya penguasaan narkotika dalam jumlah kecil saja, meskipun Penuntut Umum tidak memberikan dakwaan tersebut;
  8. Penyidik harus melakukan penyelidikan secara professional, dan tidak bisa hanya bersumber pada informasi masyarakat saja;
  9. Indikator penyalahgunaan narkotika yang didasarkan pada barang bukti sisa hasil penggunaan;
  10. Dalam proses penggeledahan, harus dihadiri oleh 2 orang saksi atau kepala desa setempat, dan berita acara ditandatangani oleh penyidik yang menghadiri penggeledahan, dan jika tidak memenuhi persyaratan tersebut maka akan dianggap sebagai suatu bentuk pelanggaran.
  11. Tidak diperkenankan melakukan penjebakan dengan teknik terselubung dan penyerahan di bawah tangan;
  12. Hakim perlu memberikan pertimbangan jika: (1) keterangan saksi hanya melibatkan kepolisian atau penyidik atau saksi verbalisan saja, (2) terjadi keterangan yang tidak berkesesuaian antara para saksi verbalisan, (3) terjadi penangkapan terdakwa lain setelah menangkap terdakwa sebelumnya dan terdakwa sebelumnya menyatakan narkotika tersebut adalah milik terdakwa lain, dan (4) tidak ada saksi lain selain saksi verbalisan yang mampu memberikan keterangan pada kasus tersebut;
  13. Jika ditemukan adanya perlakuan penyiksaan yang diterima oleh terdakwa, maka pengakuan dari terdakwa harus dikesampingkan;
  14. Keterangan dari saksi yang berasal dari penyidik atau saksi suruhan penyidik, harus dikesampingkan, karena dianggap tidak netral, tidak jujur, dan tidak objektif;
  15. Mempertimbangkan adanya indikator bagi terdakwa yang tidak terkait dengan peredaran gelap narkotika;
  16. Jika tidak ada hal-hal yang meringankan, maka pidana maksimal baru bisa dijatuhkan;
  17. Pembatasan penjatuhan pidana mati bagi terdakwa yang hanya berperan sebagai kurir, atau terdakwa belum mendapatkan bayaran dan belum menikmati hasil penjualan narkotika, terdakwa terpaksa melakukan hal tersebut karena terlilit hutang, dan terdakwa baru pertama kali membawa narkotika;
  18. Menghitung proses rehabilitasi sebagai masa pidana dalam waktu yang bersamaan;
  19. Berat atau ringannya suatu hukuman bukan menjadi kewenangan Judex Jurist melainkan Judex Facti; dan
  20. Permohonan kasasi tidak bisa dianggap sebagai istilah tidak mencerminkan semangat pemberantasan peredaran gelap narkotika.

Dua puluh poin di atas bertujuan untuk memenuhi rasa keadilan bagi para terdakwa. Sehingga bagi terdakwa yang memang dinyatakan sebagai penyalahguna narkotika atau penguasaan narkotika dalam skala kecil, atau bagi terdakwa yang benar-benar baru terlibat atau tidak sengaja terlibat, memiliki kesempatan untuk menerima rehabilitasi atau hukuman yang tidak berat. Dengan adanya keadilan yang seadil-adilnya, tentu akan membantu proses pemerataan semangat pemberantasan peredaran gelap narkotika.

Leave a Reply