Catatan Pembahasan R KUHP 15 September 2016
Pukul 20.00 – 22.00 WIB di Ruang Rapat Komisi III
Pembahasan RKUHP dilaksanakan pada Tanggal 15 September 2016, Pukul 20.00 – 22.00 WIB di Ruang Rapat Komisi III. Rapat dipimpin oleh Ketua Panja Benny K Harman dari Fraksi Demokrat. Pembahasan hari pertama membahas apa saja yang terdapat didalam RKUHP (Buku II).Di buku II terdapat 39 bab, banyak hal-hal yang perlu diperhatikan sebelum masuk ke pembahasan KUHP bagian ke 2 ini. Mengenai Rekodifikasi menurut Prof. Muladi mengandung beberapa misi, sebagai berikut:
- Dekolonialisasi (Menetralisasikan/ menghilangkan pengaruh colonial terhadap KUHP yang secara masif dilakukan melalui asas konkordansi, doktrin dan jurisprudensi Belanda)
- Demokratisasi/Humanisasi (menjaga keseimbangan kepentingan hukum dan moralitas baik kelembagaan/ Negara, kepentingan umum dan kepentingan individual)
- Harmonisasi (Penyesuaian Hukum Pidana Nasional dengan berbagai Konvensi dan kecendrungan Internasional)
- Partikularisasi (Berkaitan dengan hukum yang hidup dalam Masyarakat dan penyesuaian terhadapat Pancasila dan UUD 1945)
Semangat Hukum (Legal Spirits) dan Justifikasi (Raison D’erte) KUHP baru dalam kerangka proses dekolonialisasi dan rekodifikasi hukum pidana nasional akan terlihat secara garis besar tersurat dan tersirat, baik dalam konsiderans RUU tentang KUHP baru maupun dalam penjelasan umum RUU tersebut.
Nampaknya kondisi social politik di negara dalam Sistem Common Law (Case Law) (80 Negara) secara historis lebih demokratis. Peranan pengadilan sangat dominan untuk menciptakan “Precedent” yang mengikat atas dasar prinsip “Stare Decisis’. Peranan hakim sebagai wasit; dalam civil law system yang berasal dari Eropa Daratan (150 Negara). Hukum berhulu pada Kodifikasi (Statue) sebagai warisan zaman romawi yang bersifat authoritative. Hakim digambarkan sebagai investigator yang memimpin persidangan. Saat ini boleh dikatakan keberadaan dua bentuk tidak mutlak karena muncul juga bentukcampuran (Mix Of Features From Common To Civil Law System).
Dalam RUU KUHP , Pengaturan Buku III KUHP (WvS) Tentang pelanggaran ditiadakan dan Absorbsi terhadap pasal-pasal Buku III yang masih relevan dilakukan oleh Buku II RUU KUHP tentang Tindak Pidana (contoh pasal 503 WvS, yaitu pelanggaran terhadap ketertiban umum tetap diatur dalam Buku II RUU sebagai tindak pidana pasal 301 Ayat (4). Demikian juga pasal 510 KUHP yang mengatur tentang penyelenggaraan pesta atau keramaian tanpa izin tetap diatur dalam pasal 321 RUU KUHP, dan lain-lain)
Munculnya BAB baru dan tindak-tindak pidana baru dalam KUHP (dalam rangka misi konsolidasi), Antara lain:
- Bab Tindak Pidana Terhadap Proses Peradilan
- Bab tindak pidana terhadap HAM
- Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika
- Bab Tipikor
- Bab TPPU
- TP Terhadap Hukum Yang Hidup; dan
- Munculnya TP-TP baru seperti TP terhadap Ideologi Pancasila, TP Penyadapan, TP Informatika dan Elektronik, TP Transplantasi Organ Tubuh, Berbagai Perkembangan TP Kesusilaan, TP Penawaran untuk melakukan kejahatan, TP Perdagangan Orang, TP KDRT dan TP Terorisme.
Khusus mengenai RUU KUHP yang masih mengatur Pidana Mati (Bersyarat), hal ini didasrkan atas pemikiran bahwa persoalan pidana mati tidak hanya berkaitan dengan masalah HAM (Non- Derogable Right), Effektivitas (Deterrence), Konsolidasi Demokrasi, Inakurasi Kebijakan, Proses penegakan hukum yang belum memuaskan (ILL- Fungtioning Justice System), (Busto, 2016), tetapi berkaitan juga dengan persoalan kedaulatan nasional, social budaya, agama, reaksi internasional dan nasional yang terbelah dan ambigu, kejahatan berat yang meningkat kualitas dan kuantitasnya (Narkoba, Terorisme, DLL), sehingga semakin memperkuat tuntutan pembalasan (retribution) dan “Social Condemnation” terhadap kejahatan berat. Pengaturan tindak pidana mati bersyarat dan tindakan legislatif untuk mengeluarkan pidana mati dari pidana pokok dan sikap kehati-hatian untuk mengatur dan menerapkan pidana mati merupakan “Jalan Tengah” antara kelompok retensionis dan abolisionis terhadap pidana mati.
Penjelasan terakhir dari Prof. Muladi yaitu pembaharuan KUHP (Penal Code Reform) melalui RUU KUHP baru pada hakikatnya adalah melakukan rekodifikasi berupa rangkaian tindakan proses yang menghasilkan penyusunan kembali (Rearranging) kodifikasi baru yang bersifat mendasar menyeluruh dan sistematis, atas dasar dan nilai-nilai dan asas-asas baru yang disepakati secara nasional.