Hukum Adat dalam RKUHP Belum Jelas dan Undang Ketidakpastian
Erma Suryani Ranik, anggota komisi III DPR RI, mengatakan fraksi-fraksi partai pemerintah sangat mendorong Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) disahkan pada Agustus tahun 2018 ini sebagai kado kemerdekaan Republik. Kondisi terkini RKUHP saat ini sudah masuk tahap 99% sebagaimana diungkapkan oleh Prof Muladi, salah satu tim perumus RKUHP.
Hal ini terungkap dalam acara Konsultasi Nasional Diskusi Panel II yang diadakan oleh Aliansi Nasional reformasi RKUHP yang mengangkat tema: “Reaktualisasi Hukum Adat Dalam Hukum Negara”. Tema ini diangkat dilandasi oleh beberapa permasalahan yang belum terjawab mengenai pengakomodasian hukum adat ke dalam RKUHP, seperti pertentangan dengan asas legalitas yang dapat berpotensi memunculkan ketidakpastian hukum, permasalahan nilai-nilai universal vis a vis partikular (dimensi kearifan lokal) dalam konteks perlindungan hak asasi manusia, ruang lingkup wilayah berlaku yang dibatasi pada wilayah tertentu, penghukuman ganda, serta potensi pelanggengan ketidakadilan gender karena dalam beberapa konteks hukum adat bersifat patriakhi.
Pengakomodasian hukum adat dalam RKUHP sebagaimana tercantum dalam pasal 2, yang berbunyi:
Pasal 2
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang undangan.
(2) Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang ini dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas-asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab.
Dalam hal ini, menurut pandangan Aliansi Nasional Reformasi KUHP, RKUHP justru akan menyebabkan overkriminalisasi terhadap perbuatan-perbuatan yang sebenarnya tidak diatur dan dilarang dalam perundang-undangan. Ini akan menjadi batu sandungan terhadap asas legalitas yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) yang merupakan perlindungan, penghormatan dan penegakan hak asasi manusia, dimana terdapat batasan terhadap penghukuman pada seseorang. Apabila ingin disandingkan, terdapat perbedaan karakter yang mendasar antara hukum pidana dengan hukum adat, dimana hukum pidana melalui asas legalitasnya mengatur bahwa aturan harus tertulis dan cermat sedangkan hukum yang hidup dalam masyarakat umumnya tidak tertulis. Serta, hukum adat tidak melihat apakah suatu perbuatan tersebut diakibatkan oleh faktor kesengajaan atau kelalaian, melainkan melihat pada akibat yang ditimbulkan.
Salah satu narasumber panel II, Dekan Fakultas Hukum (FH) Universitas Parahyangan, Dr. Tristam Pascal Moeliono, mengkritik dimasukkannya pasal ini dikarenakan salah satu konsep yang terdapat dalam instrumen-instrumen internasional tentang pengakuan masyarakat adat adalah self-identification dan self-determination. Dimana masyarakat adat berhak untuk mengidentifikasi sendiri keberadaan komunitas mereka sendiri beserta hak-hak tradisionalnya. Dengan adanya kodifikasi hukum adat ke dalam hukum negara (Peraturan Daerah), pemerintah seolah memiliki kewenangan untuk menentukan mana masyarakat hukum adat yang hukum adatnya boleh hidup, dan mana yang tidak. Sehingga kodifikasi hukum adat ke dalam hukum negara bertentangan dengan konsep self-identification dari konvensi ILO dan UNDRIP.
Prof. Sulistyowati Irianto, Akademisi FH Univeristas Indonesia, juga mengingatkan bahwa hukum adat adalah hukum yang dinamis dan terus berubah. Karena hukum adat bagian dari kebudayaan masyarakat, sehingga akan berubah tergantung cara berpikir, berpengetahuan, dan cara berhukum masyarakat hukum adatnya. Sehingga kodifikasi hukum adat bertentangan dengan kenyataan bahwa hukum adat bukan hukum yang sekali dibuat kemudian tetap seperti KUHP.
Dalam pandangannya, masih terdapat juga hukum adat yang sifatnya diskriminatif terhadap perempuan. Salah satu contohnya adalah hukum adat di salah satu komunitas adat yang mengharuskan korban pemerkosaan untuk dikawinkan dengan pemerkosanya dalam rangka membersihkan kampung dari ketidakseimbangan. Selain itu, salah satu Pasal di RKUHP yang merugikan masyarakat adat dan perempuan adalah Pasal mengenai Perzinahan. Masyarakat adat yang menikah bisa dikriminalisasi karena perzinahan karena tidak mencatatkan perkawinannya. Hal ini dapat didasarkan dari Data Bappenas 2013 dan 2014 yang menyatakan bahwa 40-50 juta masyarakat adat dan penghayat kepercayaan sulit mengakses pencatatan perkawinan.
Sedangkan Erma Suryani Ranik, mempertanyakan siapa yang berwenang mengeksekusi putusan pidana adat? RKUHP belum jelas merumuskan siapa yang berwenang mengeksekusi pidana adat sebagai pidana tambahan yang diatur dalam RKUHP. Di sisi lain, proses identifikasi dan pengakuan masyarakat hukum adat oleh negara belum selesai. Banyak komunitas-komunitas adat yang sifatnya hierarkis.
Rikardo Simarmata, Pengajar FH Universitas Gadjah Mada, selaku narasumber juga memberikan paparan kritis yang cukup mendalam tentang dimasukkannya Hukum Adat ke dalam Hukum Negara. Diantaranya, karena hukum adat tidak berlaku umum, perlu ditentukan apakah yang dikodifikasi adalah asas-asas hukum adat yang bisa berlaku umum (asas kepatutan dan asas keseimbangan), atau kodifikasi hukum tiap-tiap komunitas adat. Serta bagaimana cakupan keberlakuan hukum adat, apakah yurisdiksi hukum adat berlaku terhadap orang yang bukan anggota masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Patut diingat dan diperhatikan bahwa masyarakat hukum adat menganut prinsip keberlakuan ekstrateritorial.
Perlu diperhatikan juga apakah semangat kodifikasi bisa menjawab sifat hukum adat yang selalu berubah sesuai perkembangan masyarakat pemangkunya. Selain itu, yang cukup penting juga adalah sejak kemerdekaan Indonesia, istilah adat seringkali disalahgunakan untuk merujuk kepada semua hukum dan lembaga yang bukan negara. Contohnya, seringkali daerah swapraja seperti Kraton menyebut dirinya sebagai komunitas adat. Padahal daerah swapraja bukan merupakan masyarakat hukum adat.
Akomodasi hukum adat dalam sistem hukum nasional tidak cukup dengan didasarkan pada semangat (memunculkan ciri khas hukum pidana Indonesia) apalagi jargon (melestarikan budaya bangsa) tetapi perlu didasari oleh data-data etnografi yang memadai. Banyak hukum adat yang belum berbentuk tertulis. Perlu kajian etnografik yang menyeluruh bagi ribuan komunitas adat di Indonesia. Saat ini, semangat mengakomodasi/menghargai hukum adat sama besarnya dengan ketidaktahuan yang bersifat ilmiah mengenai hukum adat.
Atas dasar pemahaman diatas, maka Aliansi Nasional Reformasi KUHP merekomendasikan untuk menunda pengesahan RKUHP dikarenakan masih terdapat banyak masalah, salah satunya dimasukkannya hukum adat ke dalam RKUHP. Aliansi Nasional Reformasi KUHP menilai bahwa sebaiknya ketentuan mengenai hukum adat tersebut ditinjau ulang secara mendalam sebagai pengecualian asas legalitas dalam RKUHP, mengingat tidak adanya pemahaman dan kajian ilmiah berbasis etnografik mengenai hukum adat mana saja yang dapat dikategorikan sebagai hukum adat. Hal ini penting agar tidak menimbulkan ketidakpastian hukum dan dapat menjamin tidak terjadi overkriminalisasi dalam sistem hukum pidana di Indonesia.
No Comments