Hukuman Mati dalam R KUHP: Jalan Tengah Yang Meragukan
Dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP), perdebatan mengenai hukuman mati kembali muncul. Meski sudah ada pergeseran paradigma mengenai hukuman mati, kritik atas munculnya kembali hukuman mati tetap mengemuka. Dalam RKUHP, hukuman mati diatur sebagai pidana pokok yang bersifat khusus, karena itu pergeseran paradigma hukuman mati dalam RKUHP ini dianggap oleh pemerintah sebagai jalan tengah diantara kelompok abolisionist dan retensionist dalam perdebatan mengenai hukuman mati.
Pergeseran ini tentu penting untuk dicermati dengan baik, utamanya mengenai kompatibilitas RKUHP dengan berbagai instrumen hukum hak asasi manusia internasional yang telah diratifikasi oleh negara Indonesia. Sebagai negara yang telah meratifikasi Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik dan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia, Indonesia berkewajiban untuk melakukan harmonisasi terhadap ketentuan hukum hak asasi manusia internasional tersebut.
Persoalan hukuman mati dalam RKUHP ini ditengarai juga tidak akan meminimalisir persoalan pada tingkat praktik. Meski ada masa tunda selama 10 tahun, namun masa tunda ini justru menimbulkan persoalan baru dalam bentuk death row phenomenon. Death row phenomenon adalah kombinasi dari keadaan yang ditemukan pada saat terpidana menunggu eksekusi mati yang menghasilkan trauma mental yang berat dan kemunduran kondisi fisik dalam tahanan. Fenomena ini didapat dari kondisi menunggu hukuman mati yang lama dan kecemasan menunggu eksekusi itu sendiri ditambah dengan lingkungan yang terbatas, aturan sewenang-wenang, pelecehan, dan terisolasi dari orang lain.
Di Indonesia sendiri dari seluruh terpidana mati yang dieksekusi sepanjang tahun 2015, rentang lama menunggu dari upaya hukum terakhir yang berkekuatan hukum tetap menyentuh angka 8 sampai dengan 16 tahun. Terpidana paling lama adalah Raheem Agbaje Salami dengan masa tunggu 16 tahun, sedangkan terpidana paling cepat dieksekusi mati adalah Tran Thi Bich Hanh dengan masa tunggu 2 tahun.
Karena itu, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) harus mempertimbangkan banyak hal dalam konteks hukuman mati. Tidak hanya pertimbangan terhadap seluruh perjanjian internasional yang telah diratifikasi namun juga mempertimbangkannya kembali dalam tujuan pemidanaan nasional yang ada dalam RKUHP. “Pekerjaan rumah” kedepan, Pemerintah dan DPR juga wajib untuk segera mengadakan perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) agar hak-hak tersangka, terdakwa, dan juga terpidana dapat terlindungi dengan baik.
Unduh Disini