Kritik atas Tindak Pidana Pornografi Dalam R KUHP
Oleh: Syahrial Martanto Wiryawan
1. Pengantar
Patut untuk disadari bahwa problem sosial yang menyangkut eksploitasi seksual semakin marak di indonesia, sebagai contoh misalnya cybercrimes, cybersex, cyberporn, atau iklan-iklan yang berkonotasi ekpsloitasi seksual. Maka seyogyanya kebijakan kriminalisasi terhadap masalah pornografi harus mempertimbangkan untuk mencapai tujuan nasional yang terkandung dalam amanat konstitusi. Namun rumusan kriminalisasinya haruslah memberikan perlindungan yang seimbang baik kepada hak individu maupun hak publik. Pornografi sedikit banyak bersinggungan dengan kebebasan pribadi seseorang. Oleh karena itu, kebijakan kriminalisasi terhadap pornografi seharusnya lebih ditujukan pada kebebasan pribadi yang mengandung aspek negatif terhadap kehidupan sosial, terutama terhadap ekploitasi seksual terhadap perempuan dan anak-anak.
Pada dasarnya, pornografi berasal dari penggabungan dua kata, yaitu: porne dan graphos. Kata porne mengandung arti prostitusi maupun pelacuran dan kata graphos mengandung arti tulisan atau gambar. Oleh karena itu identifikasi dari istilah ini ialah tulisan atau gambar yang memancing kesenangan seksual (seperti kesenangan seksual pada pelacuran). Praktik-praktik yang menjadikan kesenangan seks sebagai komoditas untuk mencari keuntungan yang merupakan sebuah kejahatan dan oleh karena itu maka Rumusan pornografi/pornoaksi dalam konteks seperti inilah yang seharusnya di rumuskan.
Delik-delik pornografi juga seyogyanya harus diletakkan dalam rangka perlindungan terhadap individu (terutama perempuan dan anak) maupun publik atas praktik-praktik eksploitasi seksual (yang tidak secara langsung) dilakukan terhadap mereka, namun dengan sarana media tertentu (gambar-foto-film-tulisan-suara) untuk mencari kesenangan dan menghasilkan keuntungan (komoditi). Agar rumusan-rumusan ini tidak berpotensi mengekang kebebasan berekspresi dan kebebasan individu. Maka harus direview ulang perumusannya terutama untuk memberikan defenisi untuk istilah-istilah tertentu yang multiinterpretasi.
Walaupun baru muncul pada awal 1990-an, proses kriminalisasi terhadap perbuatan-perbuatan yang dianggap sebagai tindak pidana pornografi tidak dapat dilepaskan dari Tim Penyusun yang dibentuk untuk pertama kalinya, yakni pada tahun 1977. Tim penyusun pertama ini dipimpin oleh Basaroedin. Tim inilah yang menginisiasi proses dan kebijakan kriminalisasi terhadap delik-delik baru yang sebelumnya tidak terdapat dalam KUHP, termasuk tindak pidana pornografi. Adapun yang menjadi dasar dimasukkannya tindak pidana-tindak pidana baru ke dalam R KUHP (kriminalisasi), salah satunya terhadap perbuatan-perbuatan yang dikualifikasi pornografi ini, sebagai salah satu bentuk tindak pidana dilandasi oleh[1]:
- Konsep nilai dan kepentingan yang melatarbelakangi sifat dan hakikat delik tersebut.
- Aspek dan tujuan kebijakan/politik kriminal.
- Aspek “nilai kesusilaan” nasional, faktor kriminogen, dan dampak negatif lainnya dari perbuatan tersebut.
Konsep nilai dan kepentingan yang melatarbelakangi sifat dan hakikat delik. Dalam konsep ini, masalah yang berkaitan dengan kesusilaan dianggap tidak hanya masalah privat/individu semata-mata, tetapi terkait juga dengan nilai-nilai dan kepentingan masyarakat luas, termasuk di dalamnya kepentingan keluarga, kepentingan kaum/kelompok dan kepentingan lingkungan sehingga yang harus dikedepankan adalah kepentingan umum daripada kepentingan pribadi[2]. Dengan demikian, tidaklah bijaksana apabila sesuatu yang terkait erat dengan kepentingan yang lebih besar, kepentingan masyarakat, tidak dijadikan sebagai suatu perbuatan yang melanggar.
Aspek dan tujuan kebijakan/politik kriminal, berkaitan dengan ditetapkannya suatu perbuatan sebagai suatu tindak pidana, pada hakekatnya merupakan sarana atau upaya untuk mencapai tujuan tertentu. Salah satu yang hendak dicapai melalui kriminalisasi terhadap suatu perbuatan adalah “pencegahan”, baik dalam arti pencegahan khusus (special preventie) maupun pencegahan umum (general preventie). Dalam hal ini meningkatnya pembuatan, penyebarluasan dan penggunaan dan perbuatan serta penyelenggaraan pornografi dalam masyarakat dianggap sangat memprihatinkan dan dapat mengancam kelestarian tatanan kehidupan masyarakat yang dilandasi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa sehingga perlu peraturan perundang-undangan yang secara tegas mengatur definisi dan pemberian sanksi terhadap perbuatan-perbuatan yang berkaitan dengan pornografi ini[3].
Berkaitan dengan nilai kesusilaan nasional, ditetapkannya suatu perbuatan sebagai suatu tindak pidana harus bersumber pada dan mendapat sandaran kuat dari moral agama. Disamping itu, penentuan delik kesusilaan ini harus berorientasi pada “nilai-nilai kesusilaan nasional” yang telah disepakati bersama, serta harus memperhatikan nilai-nilai hidup dalam masyarakat. Aspek inilah yang kemudian didorong oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk mendesak segera dibentuknya peraturan perundangan-undangan yang mengatur mengenai pornografi[4]. Desakan MUI ini dilatarbelakangi oleh semakin merebak dan meluasnya tayangan-tayangan pornografi yang telah menimbulkan berbagai dampak negatif bagi masyarakat Indonesia, sehingga apabila hal ini tidak dilakukan, akan mengganggu upaya pencapaian pembangunan manusia Indonesia seutuhnya[5].
Sedangkan yang menjadi bahan Tim Penyusun KUHP dalam menentukan perbuatan-perbuatan yang dianggap sebagai tindak pidana (kriminalisasi) adalah:
- KUHP (yang berasal dari wetbook van strafrecht/wvs) yang masih berlaku;
- Konsep Rancangan KUHP;
- UU lain yang ada diluar KUHP[6].
Tiga hal inilah yang dijadikan landasan para penyusun R KUHP untuk melakukan kriminalisasi
2. Pornografi dalam R KUHP
Delik pornografi dimasukkan R KUHP ke dalam bagian kedua Bab Delik Kesusilaan, yang terdiri 10 Pasal yaitu Pasal 470 hingga Pasal 480 R KUHP. Khusus terkait dengan anak, R KUHP juga melakukan kriminalisasi untuk pornografi anak di Pasal 384 R KUHP terkait penggunaan sarana teknologi
R KUHP merumuskan lima perbuatan baru yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana pornografi. Kualifikasi perbuatan tersebut meliputi: menjadikan diri sendiri atau orang lain sebagai obyek pornografi, memaksa anak-anak menjadi model atau objek pornografi, membuat, menyebarluaskan, dan menggunakan karya seni yang mengandung sifat pornografi, membeli barang pornografi dan/atau jasa pornografi, dan mendanai atau menyediakan tempat, peralatan dan/atau perlengkapan untuk melakukan kegiatan pornografi.
Secara umum ketentuan mengenai tindak pidana pornografi yang diatur dalam R KUHP ini tidak jauh berbeda dengan ketentuan yang diatur KUHP. Perbedaannya dalam R KUHP ini unsur dari tindak pidananya diperluas, tidak hanya hal-hal yang menyangkut “tulisan, gambar atau benda”, tetapi dengan memasukkan hal-hal yang berkaitan dengan tulisan, suara atau rekaman suara, film atau yang dapat disamakan dengan film, syair lagu, puisi, gambar, foto, dan/atau lukisan[7]. Dimasukkannya hal-hal baru tersebut merupakan penekanan terhadap unsur “tulisan, gambar, atau benda”, yang sebenarnya semua itu sudah termasuk dalam unsur “tulisan, gambar atau benda” sebagaimana terdapat dalam rumusan lama[8].
Rumusan Pasal baru dalam R KUHP juga cukup ekspansif dengan menjangkau subyek hukum yang dapat dikenakan pidana bagi tindak pidana kesusilaan selain seperti yang dikenal KUHP, yakni pembuat atau yang menjadi subyek perantara dimana publik dapat mengakses produk pornografi. Dalam R KUHP terdapat dua subyek yang dapat dikenakan pidana pornografi yang dapat memicu kontroversi seperti : Pertama, orang yang menjadikan diri sendiri sebagai model produk-produk yang dianggap pornografi dan Kedua, orang yang membeli barang pornografi.
Selanjutnya mengenai kebijakan kedua, yaitu menetapkan/merumuskan atau mengkriminalisasikan delik baru yang memang sejak semula tidak ada dalam KUHP. Kebijakan menetapkan perumusan baru atau melakukan “reformulasi” terhadap delik-delik yang sudah ada selama ini, termasuk melakukan perubahan unsur delik, sifat delik atau ancaman pidana/aturan pemberian pidananya/pola pemidanaannya sangat jelas terlihat dalam ketentuan mengenai tindak pidana pornografi. Dalam bagian ini, Tim Penyusun Rancangan KUHP tampaknya mereformulasi dan memperluas ketentuan Pasal 281 KUHP, yakni mengenai tindak pidana terhadap kesusilaan[9], dimana rumusan Pasal 469 RKUHP menghilangkan unsur kesengajaan. Sementara itu dalam Buku III Rancangan KUHP yang memuat penjelasan, tidak memberikan batasan apa yang dimaksud dengan melanggar kesusilaan atau pornografi. Artinya, kebijakan kriminalisasi perbuatannya seperti halnya dengan KUHP diserahkan pada praktik dalam pengadilan.
Aspek lainnya adalah mengenai perubahan ancaman pidana pada Pasal-Pasal pornografi tampak jelas dengan adanya pemberatan terhadap delik-delik yang dilakukan dengan melibatkan atau menjadikan obyek kejahatannya berkaitan dengan anak-anak. Dimana terhadap hal ini tim penyusun Rancangan KUHP hampir semuanya sepakat untuk melakukan pemberatan ancaman pidana[10].
3. Analisa dan Catatan Kritis
KUHP Indonesia yang berlaku saat ini tidak memberikan definisi apa itu kesusilaan dan pornografi namun hanya memberikan arah bagi penegak hukum untuk dapat mengkonstruksikannya dalam batasan hukum yang kontekstual dengan kondisi yang berkembang baik dalam doktrin maupun dengan mengindera suasana batin masyarakat. Garis pemikiran ini tampaknya tidak berubah dalam apa yang dianut oleh para perumus R KUHP.
Oleh karena itu maka dalam R KUHP tidak ada pengertian yang jelas mengenai apa yang dimaksud dengan pornografi juga kesusilaan. Jika dilihat dari bunyi Pasal 477 R KUHP, secara implisit pornografi diartikan “yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya”.
Pengertian pornografi yang dibangun dalam R KUHP ini masih sangat kabur dan relatif luas dan memiliki persamaan dalam perbuatan yang melanggar kesusilaan. Dalam pengaturan itu sangat sulit untuk ditentukan kapan perbuatan tersebut dikatakan melanggar kesusilaan atau melanggar pornografi. Jika melihat rumusan unsure dari Pasal 477 R KUHP, maka jika seseorang terjerat Pasal pornografi, orang tersebut juga akan terjerat Pasal pelanggaran terhadap kesusilaan.
R KUHP memberikan pengecualian terhadap perbuatan – perbuatan yang dianggap melanggar pornografi dengan alasan karya seni, budaya, olahraga, dan ilmu pengetahuan.[11] Selain itu pencegahan kehamilan dan pengguguran kandungan juga diberikan alasan penghapusan pidananya. Ketentuan mengenai hal ini dapat dilakukan apabila ternyata perbuatan tersebut dilakukan dalam rangka pelaksanaan Keluarga Berencana dan pencegahan penyakit menular[12].
Dari ketentuan-ketentuan yang diatur di dalam bagian mengenai tindak pidana pornografi, ada beberapa ketentuan yang rumusannya sangat luas dan tidak rigid[13]. Ketentuan-ketentuan tersebut mengandaikan setiap orang yang mengangkat persoalan seksual, masalah sensualitas dan ketelanjangan punya tujuan mengeksploitasi kesenangan seks seperti pada pornografi. Dalam asumsi penyusun Rancangan KUHP ini, semua persoalan seksual dan sensualitas dilihat sebagai mencerminkan akhlak rendah karena mencari keuntungan dengan menjual kesenangan seksual. Padahal tidak semua hal yang berkaitan dengan seksualitas, sensualitas, ketelanjangan yang terdapat dalam, misalnya materi kuliah anatomi, karya-karya seni, makalah seminar perkawinan dan pendidikan seks bertujuan untuk merendahkan harkat, martabat dan melanggar kesusilaan sebagaimana yang ingin dilindungi dalam ketentuan ini
Keberadaan ketentuan ini sangat dikhawatirkan mengganggu privasi dan kebebasan berekspresi setiap yang berada di wilayah Indonesia karena telah memasuki wilayah privat bagi setiap orang dan mengganggu kebebasan seseorang dalam menjalankan aktivitasnya[14]. Disamping itu, delik-delik yang dirumuskan dalam bagian tindak pidana pornografi ini mengindikasikan adanya pembatasan terhadap hak-hak pribadi warga negara dan adanya campur tangan negara yang sangat besar untuk mengontrol kehidupan warga negaranya. Oleh karena itu, dalam merumuskan perbuatan-perbuatan yang dikualifikasi sebagai tindak pidana pornografi ini seharusnya para penyusun Rancangan KUHP ini membuat rumusan yang sederhana dan mudah dimengerti sehingga keberadaan ketentuan-ketentuan ini tidak membatasi hak-hak privat warga negara dan mengurangi intervensi negara terhadap warga negaranya
Tiadanya pengertian yang memadai mengenai pornografi, mengakibatkan R KUHP menjadi kalap untuk menentukan subyek hukum yang dapat dikenai sanksi. Dalam Pasal-Pasal yang pengatur pornografi, terdapat tujuh kategori subyek hukum yang dapat dikenai pidana, yaitu: (i) orang yang membuat, menggandakan, menyebarluaskan, memperdagangkan (Pasal 470); (ii) orang yang menyediakan jasa (Pasal 471); (iii) orang yang meminjamkan atau mengunduh (Pasal 472); (iv) orang yang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, dan menyimpan (Pasal 473); (v) orang yang mendanai atau memfasilitasi (Pasal 474); (vi) orang menjadikan dirinya sendiri atau orang lain sebagai model atau obyek (Pasal 475 dan Pasal 476); (vii) Orang yang mempertontonkan diri atau orang lain (Pasal 477); dan (viii) orang yang melibatkan atau memaksa anak-anak menjadi model atau obyek (Pasal 478 dan Pasal 479).
Pengaturan yang demikian itu dapat menghambat dan membatasi pengungkapan ekspresi, meskipun ekspresi tersebut untuk keperluan pribadi. Akibatnya pengaturan Pasal pornografi dalam R KUHP ini akan dengan gampang mengkriminalkan para seniman. Dengan kata lain, menjadikan seniman sebagai pelaku kriminal apa bila membuat karya yang dianggap berbau pornografi.
Pengaturan pornografi dalam R KUHP ini lebih mengatur orang untuk bertingkah laku dan berekspresi melalui tata nilai tertentu. Sehingga pengaturan dalam Pasal-Pasal tentang pornografi dan pornoaksi lebih tujukan untuk menjaga sistem nilai yang ada. Akibatnya, pengaturan dalam rancangan KUHP ini telah melupakan esensi dari pornografi itu sendiri, yaitu: melindungi eksploitasi seksual terhadap perempuan dan anak-anak.
4. Keterbatasan Rumusan Delik Pornografi
Eksplorasi kritis terhadap rumusan Pasal-Pasal Rancangan KUHP harus dilakukan sebab dalam konteks diskursus publik saat ini terjadi perdebatan dan tarung argumentasi yang menyeret pada wilayah wacana yang fundamental. Seperti, hak asasi manusia, hak konstitusional yang dimiliki warga yang dijamin negara, hingga pada ranah ilmu hukum pidana sendiri. Naskah ini mencoba untuk memasuki ranah diskursus elementer tersebut. Pada Bab II dan Bab III telah diuraikan mengenai konsep tindak pidana pornografi dan pornoaksi, perkembangannya dan membandingkan rumusan dari beberapa KUHP negara lain, hingga uraian mengenai unsur-unsur rumusan Pasal-Pasal dalam Rancangan KUHP.
Argumentasi dari kalangan yang berpendapat bahwa dibentuknya sebuah undang-undang anti pornografi maupun upaya untuk memasukkan rumusan Pasal-Pasal dalam undang-undang anti pornografi ke dalam Rancangan KUHP, khususnya adalah bahwa KUHP tidak memberikan definisi atau batasan yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan “kesusilaan”[15]. Tidak adanya definisi tersebut akan menyebabkan terjadinya “multitafsir” terhadap pengertian kesusilaan. Sehingga rumusan KUHP yang ada saat ini memiliki kelemahan karena tidak dapat memberikan arahan yang jelas kapan seseorang itu disebut bertingkah laku susila atau asusila (melanggar susila). Lebih lanjut diterangkan bahwa terjadinya interpretasi yang berbeda terhadap sebuah undang-undang seharusnya tidak boleh terjadi, hal itu dikhawatirkan akan menimbulkan ketidakpastian hukum[16]. Untuk itu Rancangan KUHP harus mengkriminalisasi pornografi seperti yang dirumuskan dalam undang-undang anti pornografi, didasarkan pada logika bahwa peraturan yang lebih jelas atau detail akan menghindari terjadinya ketidakpastian hukum dan menghindari implementasi yang sewenang-wenang (non arbitrary implementation) dari aparat penegak hukum[17].
Reformulasi perbuatan pidana terhadap Pasal-Pasal KUHP dalam Rancangan KUHP hanya dilakukan pada Pasal 281 mengenai kesusilaan dimuka umum dan Pasal 282 mengenai pornografi. Rancangan KUHP memformulasikan Pasal 469 persis dengan KUHP yang berlaku di Belanda, dengan menghilangkan unsur kesengajaan. Sedangkan Pasal pornografi berkembang menjadi sepuluh Pasal yang diadopsi dengan berbagai perubahan dan penyesuaian rumusan dari rumusan Pasal undang-undang anti pornografi. Dengan demikian, formula rumusan Pasalnya adalah mewarisi semangat undang-undang anti pornografi.
Sebagaimana telah disinggung dalam Bab II, bahwa Rancangan KUHP memberikan definisi terhadap apa yang dimaksud pornografi. Definisi tersebut dimuat didalam Buku I Rancangan KUHP Bab V mengenai Pengertian Istilah, tepatnya pada Pasal 211:
Pasal 211
Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bunyi pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.
Jika logika kriminalisasi atau perumusan tindak pidana pornografi bertujuan untuk memberikan kejelasan yang tuntas, maka tujuan tersebut tentunya tidak tercapai. Sebab, dari segi ketatabahasaan maka pengertian eksploitasi seksual dan erotika merupakan istilah yang tidak secara serta merta dapat dijelaskan batasannya atau dimengerti maksud konteks kata tersebut dalam rumusan Pasal. Definisi pornografi dalam Rancangan KUHP menunjukkan syarat adanya niat (kesengajaan) untuk membuat suatu substansi dalam media atau alat komunikasi yang dimaksudkan untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang mengeksploitasi seksual, kecabulan dan/atau erotika. Sebaiknya Rancangan KUHP hanya memberikan pedoman/rambu mengenai tindak pidana yang menyerang rasa kesusilaan umum melalui rumusan-rumusan perbuatan yang dirumuskan dalam Buku II.
Dalam Buku II Rancangan KUHP rumusan Pasal-Pasal mengenai tindak pidana pornografi umumnya berlebihan (exessive). Perluasan Pasal yang tidak tertata, mengakibatkan rumusan-rumusan Pasal tersebut sulit untuk dipahami sebagai suatu rumusan perbuatan pidana. Terutama mengenai pilihan-pilihan terminologinya. Dengan demikian niat untuk menjernihkan perbuatan-perbuatan yang dimasukkan sebagai tindak pidana pornografi tidak mencapai tujuannya.
Secara umum terdapat beberapa kelemahan prinsipil dalam konsep kriminalisasi perbuatan. Rancangan KUHP menyisakan persoalan-persoalan semantik maupun konseptual seperti konsep eksploitasi seksual, kecabulan, konsep menggambarkan ketelanjangan. Konsep-konsep yang menjadi terminologi hukum tersebut sebenarnya hampir tidak mungkin untuk diberikan batasan secara hukum yang dapat memuaskan dan mengikat semua pihak atau memaksakan pihak-pihak untuk menundukkan diri pada konsep dan definisi tersebut. Kelemahan semantik tersebut tentunya kontradiktif dengan tujuan perumusan tindak pidana pornografi yang hendak memberikan kejelasan yang tuntas atas perbuatan yang termasuk sebagai tindak pidana pornografi.
Jika merunut argumen kalangan yang menghendaki perumusan secara detail sehingga tidak menimbulkan multitafsir, maka tujuan tersebut sangat jauh dari yang diharapkan. Hal ini tentunya karena sifat natural dari perbuatan yang diatur tersebut memang tidak bisa dijangkau secara ketat dalam batasan-batasan rumusan Pasal-Pasal yang memiliki secara tata bahasa inheren memiliki keterbatasan. Pilihan terminologis untuk mengidentifikasikan perbuatan pornografi malah dapat menimbulkan ancaman bagi kebebasan individu.
Dengan kelemahan-kelemahan yang ada tersebut, secara umum dari segi teknis perumusan perbuatannya maka rumusan yang saat ini terdapat dalam Rancangan KUHP tidak dapat mencapai tujuan perumusan perbuatan pidana, yakni untuk memberikan definisi tindak pidana yang tuntas.
Dapat dilihat bahwa permasalahan rumusan Pasal-Pasal tersebut terletak pada keterbatasan semantik dalam mengurai kondisi yang harus dipenuhi untuk dapat berlakunya kaidah. Jika demikian, sebenarnya Pasal-Pasal Rancangan KUHP tersebut tidak akan operasional karena permasalahan terminologis yang tidak memadai untuk memberikan kerangka arahan secara tuntas bagi pengetahuan umum (common sense) untuk dapat memaknakan batasan-batasan perbuatan yang dicakup. Persoalan-persoalan teknis tersebut dikhawatirkan akan memicu adanya tindakan berlebihan aparat penegak hukum.
5. Kriminalisasi yang Mengancam Kebebasan Sipil
Kriminalisasi adalah proses untuk menjadikan suatu perbuatan yang semula bukan merupakan sebuah tindak pidana menjadi tindak pidana. Kriminalisasi juga dapat diartikan sebagai usaha untuk memperluas berlakunya hukum pidana. Ukuran kriminalisasi dan dekriminalisasi secara doktrinal harus berpedoman sebagai berikut.[18]
- kriminalisasi tidak boleh menimbulkan “overcriminalization” yang masuk kategori “misuse of criminal sanction”;
- kriminalisasi tidak boleh bersifat ad hoc;
- kriminalisasi harus mengandung unsur korban (victimizing), bisa aktual atau bisa pula potensial;
- kriminalisasi harus memperhitungkan analisa biaya dan hasil dan prinsip ultimum remidium (ultima ratio principle);
- kriminalisasi harus menghasilkan peraturan yang “enforceable”;
- kriminalisasi harus memperoleh dukungan publik;
- kriminalisasi harus memandang unsur “subsosialiteit” (mengakibatkan bahaya bagi masyarakat, sekalipun kecil);
- kriminalisasi harus memperhatikan peringatan bahwa setiap peraturan pidana membatasi rakyat dan memberikan kemungkinan kepada aparat penegak hukum untuk mengekang kebebasan tersebut.
Dari sisi perancangan undang-undang, sebagaimana telah dipaparkan dalam bab terdahulu, rumusan-rumusan Pasal mengenai tindak pidana pornografi memiliki banyak kelemahan mendasar. Nampaknya penyusun rancangan KUHP kurang cermat untuk menerapkan kebijakan kriminalisasi. Jika diukur dari prinsip-prinsip umum seperti diuraikan diatas, maka banyak sekali standar yang kurang dipenuhi dalam merumuskan Pasal-Pasal pornografi. Seperti, prinsip-prinsip tidak boleh menimbulkan “overcriminalization”, prinsip “ultima ratio principle”, prinsip hasil “enforceble”, dan prinsip unsur“victimizing”.
Uraian di muka mengenai persoalan rumusan perbuatan dan permasalahan semantik Pasal-Pasal pornografi dalam Rancangan KUHP, telah memberikan paparan bahwa kebijakan kriminalisasi dalam tindak pidana pornografi Rancangan KUHP secara garis besar memiliki kelemahan. Kelemahan-kelemahan tersebut mencakup : Pertama, perluasan cakupan konsep pornografi yang tidak membedakan antara perlindungan pada ranah privasi dan proteksi diranah publik. Kedua, perluasan subyek kaidah yang dapat dikenakan pidana yang tidak sensitif dalam melihat gradasi kapasitas subyek tersebut apakah sebagai korban atau pelaku. Ketiga, perluasan rumusan mengenai jenis-jenis perbuatan yang dianggap sebagai pornografi tanpa pertimbangan apakah rumusan Pasal-Pasal tersebut berpotensi mengekang kebebasan berekspresi. Keempat, perluasan subyek kaidah yang dapat diancam pidana sebab terlibat dalam proses produksi pornografi dari proses pembuatan (mendanai, menyediakan tempat/peralatan) hingga tahapan distribusi produksi bahan yang dikategorikan sebagai pornografi (pembeli/konsumen) tanpa melihat konteks kausalitas bagaimana si subyek dapat terlibat didalamnya.
Dari uraian di atas, berdasarkan beberapa kelemahan rumusan Pasal pornografi dalam Rancangan KUHP dalam kerangka perlindungan terhadap hak asasi manusia, Rancangan KUHP memiliki kecenderungan mengancam kebebasan dan hak-hak sipil yang secara eksplisit dijamin dan dilindungi oleh konstitusi maupun peraturan perundang-undangan lainnya. Di negara-negara demokratis, hak-hak sipil ini biasanya dijamin dan diatur secara lengkap dalam konstitusi dan peraturan pelaksanaannya dimana dalam hal ini, negara menyatakan bahwa hak-hak sipil sebagaimana dinyatakan di atas dijamin keberadaan dan pelaksanaannya. Sementara di Indonesia, hak-hak sipil secara rigid ini diatur dalam UUD 1945, terutama pasca amandemen, dan UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia[19]. Formulasi konsep pornografi dan, rumusan perbuatan maupun perluasan subyek dalam Rancangan KUHP memiliki kecenderungan untuk melanggar kebebasan sipil masyarakat[20]. Hal ini berkaitan dengan hak-hak dasar yang layaknya dilindungi dalam negara demokratis seperti hak untuk berekspresi dan berpendapat, dan hak atas kehidupan pribadi (privacy).
Berkaitan dengan tindak pidana pornografi dan pornoaksi yang diatur dalam Rancangan KUHP, dikaitkan dengan hak-hak sipil sebagaimana dipaparkan di atas, terdapat beberapa hal yang patut ditinjau lagi dari ketentuan-ketentuan dalam Rancangan KUHP tersebut. Pasal-Pasal yang memiliki komplikasi semantik dan persoalan perumusan perbuatan membuka peluang negara untuk memasuki ranah privat seseorang dimana seharusnya negara dalam batas-batas konstitusional tidak dapat melakukan intervensi. Beberapa Pasal dibawah ini menunjukkan bagaimana rumusannya memiliki peluang untuk mengancam kebebasan sipil:
Pasal 470, berpotensi untuk menyerang batas-batas kebebasan individu, dimana Pasal ini membuka peluang untuk Pasal pornografi memasuki ranah privat seseorang. Hal ini karena dalam Pasal tersebut tidak ada klausul kondisional yang mengharuskan adanya niat atau kesengajaan untuk menjadikan bahan publikasi untuk konsumsi orang banyak atau diperdagangkan. Jelas niat dari perumus Pasal ini adalah mendisiplinkan tata laku individu hingga masalah yang sifatnya sangat pribadi dan hakiki, dalam hal ini dapat dicontohkan kehidupan seks pasangan suami istri. Keberlakuan Pasal ini tentunya akan bertentangan dengan salah satu alasan mengapa hukum pidana eksis, yaitu prinsip untuk melindungi hak-hak individu dan privasi sesorang dari intervensi atau gangguan orang/kelompok-golongan/bahkan negara.
Pasal 472 dan Pasal 473 berpotensi melanggar hak – hak privasi seseorang. Karena sepanjang untuk keperluan pribadi maka produk – produk pornografi semestinya tidak kriminalkan. Karena mengkriminalkan tindakan menyimpan dan mengunduh untuk keperluan pribadi adalah invasi terhadap privasi warga negara
Pasal 475, oleh perumus Pasal ini dimaksudkan untuk menjerat pelaku-pelaku pornografi. Namun dalam konteks yang aplikatif Pasal ini berpotensi besar dapat mengkriminalkan korban dari eksploitasi yang terdapat dalam bahan pornografi itu sendiri. Dalam tataran praktik, hukum akan berjalan dengan menutup mata, sepanjang kualifikasi seseorang telah memenuhi unsur tindak pidana yang dimaksud rumusan masalah, maka secara operatif hukum akan bekerja tanpa melihat konteks korban atau dalam kapasitas intelektual aktor. Pasal ini juga berpotensi untuk menyerang batas-batas kebebasan individu sebagaimana yang telah diuraikan dalam Pasal 468.
Pasal 477, berpotensi untuk menyerang kebebasan individu untuk berkreasi, berekspresi, memupuk ide/gagasan, berpikir, dan bertindak dalam konteks integritas sebuah karya seni. Karakter Pasal ini memperlihatkan watak otoriter, dimana tafsir sebuah karya seni harus menundukkan diri pada batasan yang diatur oleh negara, sementara itu ranah sebuah karya seni berdiri pada ranah estetis dimana persepsi individu atau masyarakat bekerja sangat kompleks. Ranah inilah yang tidak bisa dijangkau hukum secara rigid, terlebih melalui sebuah Pasal pidana yang dari aspek ketatabahasaannya sangat terbatas[21].
Pasal 480, Pasal ini tidak memberikan penjelasan mengenai ”alasan yang dibenarkan”. Pasal ini tidak artikulatif dalam menempatkan kondisi perbuatan yang harus dipenuhi agar tidak dapat dijangkau oleh hukum pidana, sehingga pesan dalam Pasal ini tentunya tidak implementatif.
6. Keterbatasan Rumusan Delik sebagai Peluang
Mengutip pendapat Groenhuijsen, terdapat empat makna yang terkandung dalam asas legalitas. Pertama, pembuat undang-undang tidak boleh memberlakukan suatu ketentuan pidana berlaku mundur. Kedua, bahwa semua perbuatan yang dilarang harus dimuat dalam rumusan delik sejelas-jelasnya. Ketiga, hakim dilarang menyatakan bahwa terdakwa melakukan perbuatan pidana didasarkan pada hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan. Keempat, terhadap peraturan hukum pidana dilarang diterapkan analogi[22]. Remelink berpendapat bahwa asas legalitas merupakan asas perlindungan yang hanya mempunyai preferensi yang sangat sedikit, tetapi pendapat terbanyak menyatakan bahwa demi masyarakat hukum tidak dapat dihindarkan. Lebih lanjut, bahwa pengetahuan bahasa yang modern mengajarkan bahwa kita tidak boleh terlalu bergantung kepada arti yang pasti dan statis terhadap kata-kata[23].
Dalam konteks tindak pidana kesusilaan, sudah dijelaskan adanya keterbatasan bahasa untuk dapat memberikan definisi yang memiliki presisi tinggi (precision principle). Keterbatasan rumusan delik yang secara harafiah tidak pernah dapat memberikan kejelasan secara sempurna dan tuntas, merupakan situasi yang disadari oleh para pakar pidana khususnya. Hal ini dapat ditengarai dengan acapkali peraturan perundang-undangan menggunakan istilah umum yang global dan tidak pernah dapat secara persis menunjukkan tindakan apa yang diancamkan pidana oleh ketentuan pidana tersebut. Berkenaan dengan keadaan itu, maka dapat dikatakan bahwa pandangan yang menyatakan suatu ketentuan pidana seharusnya bersifat pasti (atau certa) sebenarnya tidak tepat (mutlak)[24].
Menurut Prof. Marjanne Termoshuizen-Arts:
“Kepastian hukum, ketentuan pidana seringkali juga dirumuskan mengikuti aturan tertib teknis yuridis dan mengunakan jargon–jargon khas hukum. Alhasil rumusan demikian menjadi sulit dimengerti masyarakat umum yang bukan ahli hukum. Maka dari itu perbuatan masyarakat umum galibnya tidak bepedomankan pada rumusan atau bunyi ketentuan pidana melainkan justru oleh norma-norma sosial yang melatarbelakangi rumusan peraturan perundangan-undangan tersebut. Kelompok masyarakat yang dalam praktik menjadi sasaran dari perumusan delik ialah para yuris yang akan dan harus menerapkan bunyi ketentuan perundang-undangan tersebut. Jadi rumusan perundang-undangan sebenarnya secara khusus ditujukan kepada pejabat pemerintah seperti pejabat penyidik yang berwenang melaksanakan upaya paksa dan hakim yang berwenang menjatuhkan sanksi pidana.”[25]
Hal inilah yang menurut beliau dan beberapa kalangan perguruan tinggi di Indonesia, mendorong perkembangan yurisprudensi dikalangan hakim Belanda cukup maju dan memberikan kontribusi bagi pembaruan hukum melalui putusan-putusan yang berwibawa. Sementara itu di Indonesia, proses untuk melahirkan yurisprudensi-yurisprudensi yang berwibawa tidak berjalan karena sistem peradilan (dan pengelolaan kelembagaannya) yang tidak menunjukkan performa yang semakin baik. Patut dikutip salah satu Putusan Makamah Agung Belanda yang relevan untuk mengaitkan formula perumusan delik kesusilaan dengan konteks kepentingan praktik pengadilan mengingat keterbatasan bahasa untuk dapat menjelaskan secara tuntas mengenai suatu kualifikasi perbuatan[26]:
“Terkadang norma sosial yang terkandung dalam perumusan delik atau yang melatarbelakangi suatu ketentuan pidana sengaja dibuat samar-samar atau implisit. Hal yang melatarbelakangi ini tidak perlu dipandang sebagai kekurangan bahkan kesamaran tersebut harus dianggap perlu, jika didalam delik terkandung suatu pertimbangan moral seperti: aanstotelijk voor de eerbaarheid (melanggar kesusilaan), unsur demikian atau pertimbangan demikian seharusnya dimaknai lebih lanjut oleh hakim pidana” (HR Belanda di dalam putusan 31 Oktober 2001).
Dalam kerangka doktrin hukum yang agak berbeda, pornografi di Amerika Serikat tumbuh dari praktik pengadilan sehingga menemukan standar mengenai apa yang disebut sebagai obscene material (the obscenity laws)[27]. Melalui kasus Miller vs California (tahun 1973) di Amerika Serikat, pada akhirnya hukum federal maupun setiap negara bagian, untuk mengatur kejahatan penjualan, distribusi, menyiarkan benda/bahan-bahan yang didefinisikan sebagai barang cabul mengacu pada pengertian yang diformulasikan dalam kasus ini. Oleh mahkamah Agung, melalui Kasus Miller, barang yang dapat dikategorikan sebagai cabul jika[28]:
To the average person, applying contemporary community standards, taken as a whole, it predominantly appeals to a prurient interest in nudity, sex or excretion;
the material taken as a whole, lacks serious literary, artistic, political or scientific value, and
the material depicts or describes, in a patently offensive way, sexual conduct specifically defined in subparagraphs a through e below:
- acts of sexual intercourse, heterosexual or homosexual, normal or perverted, actual or simulated;
- acts of masturbation;
- acts involving excretory functions or lewd exhibition of the genitals;
- acts of bestiality or the fondling of sex organs of animals;
- sexual acts of flagellation, torture or other violence indicating a sadomasochistic sexual relationship
Garis pemikiran untuk mendorong praktik pengadilan di Indonesia agar menghasilkan putusan-putusan yang memberikan penjelasan terhadap undang-undang, cukup relevan dengan konteks tindak pidana kesusilaan. Perumusan delik kesusilaan yang dirumuskan dalam KUHP Belanda dan Indonesia yang dilakukan secara samar, memiliki dasar argumentasi yang cukup memadai. Dalam hal-hal tertentu, ketidakjelasan ketentuan pidana sebagaimana tampak dalam penggunaan istilah-istilah umum tidaklah terelakkan. Jika dipaksakan untuk membuat rumusan pidana yang sangat tajam dan sempit, maka luas cakupannya justru hilang dan dengan cara itu yang dikorbankan adalah tingkat kejelasan umum dari aturan-aturan dalam perundang-undangan[29]. Meskipun dirumuskan secara samar, yang paling penting pada akhirnya adalah pertanyaan apakah norma yang termaktub di dalam ketentuan pidana itu cukup menjelaskan perbuatan manakah yang dilarang dan diancamkan dengan sanksi pidana dan apakah norma yang bersangkutan cukup memberikan kemungkinan bagi tersangka/terdakwa untuk mengukur atau menguji perbuatannya terhadap norma yang bersangkutan[30].
7. Penutup dan Rekomendasi
Persoalan yang mengemuka dalam wacana pornografi dan praktik hukum adalah mengenai ketidakmampuan hukum untuk menjangkau permasalahan-permasalahan yang muncul akibat maraknya bahan-bahan yang dikategorikan sebagai pornografi dan semakin permisifnya masyarakat Indonesia terhadap massifnya industri yang mengusung seks sebagai komoditas. Rumusan Pasal-Pasal tindak pidana pornografi dalam Buku II Rancangan KUHP umumnya berlebihan (excessive). Terdapat beberapa kelemahan prinsipil dalam konsep kriminalisasi perbuatan, yaitu bahwa Rancangan KUHP menyisakan persoalan-persoalan semantik seperti batasan atas konsep eksploitasi seksual, kecabulan, konsep erotika, dan gerakan erotis atau tarian erotis. Kelemahan semantik tersebut tentunya kontradiktif dengan tujuan perumusan tindak pidana pornografi dan pornoaksi yang hendak memberikan kejelasan yang tuntas atas perbuatan yang termasuk sebagai tindak pidana kesusilaan.
Dalam kerangka perlindungan terhadap hak asasi manusia, Rancangan KUHP memiliki kecenderungan mengancam kebebasan dan hak-hak sipil yang secara eksplisit dijamin dan dilindungi oleh konstitusi maupun peraturan perundang-undangan lainnya. Formulasi konsep pornografi dan pornoaksi, rumusan perbuatan maupun perluasan subyek dalam Rancangan KUHP memiliki kecenderungan untuk melanggar kebebasan sipil masyarakat. Khususnya, hal ini berkaitan dengan dengan hak-hak dasar yang layaknya dilindungi dalam negara demokratis seperti hak untuk berekspresi dan berpendapat, dan hak atas kehidupan pribadi (privacy). Kecenderungan tersebut terdapat dalam rumusan Pasal 470, Pasal 472, Pasal 473, Pasal 475, dan Pasal 477 Rancangan KUHP.
Dengan pijakan analisa dalam studi ini, secara umum, mengenai rumusan-rumusan Pasal-Pasal Pornografi dan Pornoaksi terdapat tiga kategori kesimpulan bagi perbaikan Rancangan KUHP. Pertama, perlunya reformulasi rumusan Pasal terhadap Pasal 470 dan Pasal 480. Kedua, perlunya pengelompokkan kembali sekaligus mereformulasi rumusan Pasal 471, Pasal 474, Pasal 477, dan Pasal 478, dan Pasal 479. Ketiga, perlunya dihapuskan rumusan Pasal yang cenderung overkriminalisasi, seperti pada Pasal 472, Pasal 473 dan Pasal 475.
Dari konteks tujuan hukum pidana, KUHP memiliki keterbatasan untuk dapat memecahkan permasalahan-permasalahan pornografi atau delik kesusilaan lainnya. Hukum pidana merupakan salah satu sarana saja diantara sarana hukum lainnya dalam mengatasi persoalan-persoalan hukum. Perlu dipikirkan pula adanya regulasi yang menyeluruh baik dari sarana pidana yang menginduk pada KUHP, undang-undang atau peraturan pemerintah maupun regulasi operasional lainnya yang mengatur segi-segi administratifnya. Bahwa perumusan delik kesusilaan yang dirumuskan dalam KUHP Belanda dan KUHP Indonesia dilakukan secara samar memiliki dasar argumentasi yang memadai. Meskipun dirumuskan secara samar, yang paling penting pada akhirnya adalah bagaimana norma yang termaktub didalam ketentuan pidana itu cukup menjelaskan perbuatan manakah yang dilarang dan diancamkan dengan sanksi pidana dan apakah norma yang bersangkutan cukup memberikan kemungkinan bagi tersangka/terdakwa untuk mengukur atau menguji perbuatannya terhadap norma yang bersangkutan. Bahwa menyusun rumusan yang ketat pada Pasal-Pasal tindak pidana yang menyerang rasa kesusilaan umum dengan mengacu kepada absolutisme atas prinsip lex certa terbukti tidak relevan mengingat bobot dari perbuatannya tidak mungkin dijangkau oleh keterbatasan bahasa dan hukum pidana untuk menformulasikannya dalam suatu Pasal. Untuk itu dalam perumusan Pasal delik kesusilaan dalam KUHP, hendaknya draft rumusan yang saat ini ada perlu ditinjau kembali.
[1] Ibid., hlm. 254-259.
[2] Lihat Penjelasan UU No 44 Tahun 2008 tentang Pornografi
[3] Lihat bagian Penjelasan UU No 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Secara lebih ekstrim Neng Djubaedah menyatakan bahwa masalah pornografi dan pornoaksi merupakan masalah lama yang belum dapat ditanggulangi oleh ketentuan-ketentuan yang ada yang terdapat dalam KUHP yang sudah berlaku sejak tahun 1917. Untuk lebih lengkapnya mengenai pembahasan tentang hal lihat Neng Djubaedah, Pornografi dan Pornoaksi Ditinjau dari Hukum Islam, Prenada Media, Desember 2005.
[4] Lihat Fatwa No. 287 tahun 2001 tentang pornografi dan pornoaksi, dimana di dalam fatwa tersebut MUI mendesak kepada semua penyelenggara negara agar segera menetapkan peraturan perundangan yang memperlihatkan dengan sungguh-sungguh bahwa fatwa MUI ini disertai dengan sanksi yang dapat berfungsi untuk membuat pelaku jera dan membuat takut orang yang belum melakukannya.
[5] Lihat Leden Marpaung, Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensinya, Sinar Grafika 1996, hlm. 1.
[6] Disamping tiga hal tersebut di atas, sumber lain yang dijadikan bahan bagi para penyusun KUHP untuk melakukan kriminalisasi adalah masukan dari berbagai pertemuan ilmiah (seminar, simposium, lokakarya, dan lain-lain); hasil-hasil penelitian dan kajian mengenai perkembangan delik-delik khusus dalam masyarakat; hasil dari pengamatan dan pengkajian terhadap bentuk-bentuk dan dimensi-dimensi baru kejahatan, dan lain-lain.
[7] Dalam hal ini penyusun Rancangan KUHP telah menyesuaikan rumusannya sesuai dengan perkembangan zaman. Sehingga hal-hal yang dulunya tidak disebut secara eksplisit tentang film atau rekaman suara misalnya, atau yang berkaitan dengan media elektronik seperti internet, akan menjadi terang dengan adanya rumusan ini.
[8] Lihat Leden Marpaung, Tindak Pidana terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensinya, Sinar Grafika, Cetakan II, 2004, hlm. 38
[9] Dalam yurisprudensi diakui bahwa yang menjadi unsur dari tindak pidana ini adalah : a. Perbuatan yang melanggar kesusilaan; b. Perbuatan tersebut dilakukan secara terbuka; dan c. Perbuatan tersebut dilakukan dengan disengaja ( opzettelijk).
[10] Lihat ketentuan Pasal 470 hingga 479 RKUHP dan Pasal 384 R KUHP
[11] Lihat Pasal 480 R KUHP
[12] Lihat Pasal 483 Rancangan KUHP
[13] Jim Supangkat, dalam artikelnya Mem-pornografi-kan Masyarakat, Kompas 18 Desember 2005, menyatakan bahwa Penyusunan Pasal-Pasal pada RUU (Rancangan KUHP, pen) ini memperlihatkan proses berpikir yang tidak cermat. Penyusunan Pasal-Pasal ini terlihat dengan cukup jelas mengabaikan identifikasi pokok persoalan. Oleh karena itu Pasal-Pasal ini keluar dari konteks masalah pornografi.
[14] Satu hal penting yang patut dicatat, dan mungkin ini yang tidak pernah diperhatikan oleh para penyusun Rancangan KUHP ini, yaitu berkaitan adat kebiasaan dan budaya suatu suku bangsa yang ada di Indonesia, seperti misalnya di Bali dan Papua. Di Bali misalnya, yang merupakan daerah wisata, dimana banyak orang atau turis asing berciuman bibir di pinggir pantai. Karena memang di negaranya berciuman bibir merupakan suatu perbuatan yang biasa, bukan tindak pidana. Apakah juga akan diberlakukan ketentuan ini. Atau juga di Papua misalnya, dimana hampir sebagian orang Papua, khususnya di pedalaman dan kadang di kota-kota dalam kesehariannya yang selalu memakai koteka, sehingga apabila diperhatikan dan dicocokkan dengan ketentuan yang terdapat dalam Rancangan KUHP, khususnya yang berkaitan dengan tindak pidana pornografi dan pornoaksi, apa yang sehari-hari digunakan dan dilakukan oleh orang Papua tersebut telah mencocoki rumusan yang terdapat dalam Rancangan KUHP.
[15] Lihat, Legal Opinion Urgensi RUU Pornografi dan Pornoaksi, Tim Pengajar FH UI Depok (Fatmawati, SH. MH., Heru Susetyo, SH. LL.M. M.Si., Yetty Komalasari Dewi, SH. M.Li.) dalam : http://ruuappri.blogsome.com/2006/03/28/legal-opinion-urgensi-ruu-anti-pornografi-dan-pornoaksi/
[16] Pandangan ini adalah kontra argumen dari kalangan lainnya yang memiliki pendapat bahwa pornografi dan pornoaksi dapat diselesaikan dengan Pasal 281 dan Pasal 282 KUHP.
[17] Lihat Legal Opinion Urgensi RUU Pornografi dan Pornoaksi, loc. cit .
[18] Muladi, Makalah, Politik Hukum Pidana, dasar Kriminalisasi dan Dekriminalisasi serta Beberapa Perkembangan Asas dalam R KUHP, November 2001.
[19] Diratifikasinya Kovenan Hak Sipil dan Politik dengan UU No. 12 tahun 2005, semakin mengukuhkan perlindungan hak-hak sipil Warga Negara Indonesia.
[20] Konsep kebebasan sipil (civil liberties) memiliki jangkauan pengertian yang cukup dalam dan luas. Salah satu literatur dalam konteks hukum di Inggris mencoba memberikan batasan konsep dari terminologi kebebasan sipil ini, yaitu: “The term ‘civil liberties’ will used to denote the broad class of rights often reffered to as civil and political rights as they are recognised in the UK”. Civil Liberties and Human Rihgts, Helen Fenwick, Cavendish Publishing Limited, UK, 2002, hlm. 5.
[21] Langemeijer menyelidiki faktor-faktor mana yang dapat memberikan alasan untuk menganggap suatu karya sebagai gangguan kesusilaan: (1) pertunjukan yang jika diperlihatkan kepada orang lain dirasakan oleh orang lain itu sebagai pelanggaran tehadap perasaan halusnya, berbeda dengan jika diperlihatkan dalam lingkungan akrab sendiri; (2) cara bagaimana pertunjukan itu diperlihatkan, apabila itu dinyatakan dengan suasana hati yang kasar dan kurang ada perhatian mengenai pokok persoalan yang biasanya dirasakan sebagai menyinggung perasaan; (3) alasan-alasan yang menimbulkan dugaan pada pernyataan, apabila atau alasan-alasan itu sendiri kurang baik atau setidak-tidaknya tidak mempunyai nilai yang positif yang dapat membenarkan pernyataan yang mengagetkan; (4) cara bagaimana pernyataan itu dipaksakan kepada orang lain; (5) akibat-akibat tidak langsung, misalnya akibat terhadap anak-anak yang belum dewasa. Lebih lanjut bahwa kelima faktor tersebut dapat ditiadakan/dikecualikan dalam dalam konteks suatu karya seni, pengetahuan ilmiah, olahraga, dan humor. Lihat Van Bemmelen, op cit., hlm. 185 – 186.
[22] Dalam Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat melawan Hukum Materiel dalam Hukum Pidana Indonesia, Studi Kasus tentang Penerapan dan Perkembangannya dalam Yurisprudensi, Alumni, Bandung, 2002, hlm. 5 – 6.
[23] Ibid., hal 9 – 10
[24] Lihat Marjanne Termoshuizen-Arts ceramah Hukum Pidana “Same Riot, Different Development” Peranan Hakim dalam Proses Pembentukan Hukum, FH UI Depok, 3 – 4 April 2006. Selanjutnya beliau memberikan gambaran bahwa kita selalu menghadapi masalah ketidakpastian relatif tentang ruang lingkup atau jangkauan ketentuan pidana, ketidakpastian relatif tentang karakteristik kasus-kasus yang akan timbul dalam praktik dimasa depan, dan ketidakpastian relatif tentang perubahan-perubahan yang akan terjadi dalam kenyataan sosial dan sistem hukum beserta norma suatu negara tertentu.
[25] Lihat Ibid.
[26] Ibid.
[27] Karakteristik sistem hukum Amerika Serikat seperti halnya Inggris bersumber pada: a. Custom; b. Legislation; c.Case-law. Konsekuensi dipergunakannya case-law, jika satu perkara yang sama terdapat pertentangan antara case-law dan statute-law, maka pertama-tama akan dipergunakan case-law, sedangkan statute-law dikesampingkan. Lihat, Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, Mandar Maju, 2000, hlm. 35 – 36.
[28] Batasan ini selanjutnya dikenal sebagai Miller Standart/Miller definition of obscenity. Lihat Final Report Attorney General’s Commision on Pornography, Juli 1986. www.porn-report.com/contents.htm
[29] Lihat Marjanne Termoshuizen-Arts “Same Riot, Different Development” Makalah Asas Legalitas dalam Hukum Pidana Indonesia dan Belanda, FH UI Depok, 3 – 4 April 2006.
[30] Ibid.