Membedah Ketentuan tentang Disabilitas dalam RKUHP
Aliansi Nasional Reformasi KUHP mengadakan diskusi terfokus mengenai pasal pidana terkait penyandang disabilitas yang diadakan di Hotel Morissey (Kamis, 19/5). Untuk mendapatkan gambaran dan masukkan dari berbagai pihak, Aliansi Nasional Reformasi KUHP mengundang lembaga dan organisasi yang mengadvokasi dan mengawal isu-isu terkait disabilitas. Para peserta diskusi terdiri dari lembaga negara, perwakilan organisasi disabilitas, dan organisasi masyarakat sipil.
Sebagai pembuka diskusi, Muhammad Nurkhoiron sebagai narasumber mengatakan bahwa, “Kelompok disabilitas ini, dalam konteks HAM adalah disebut sebagai suatu kelompok yang memiliki kebutuhan khusus. jadi kita menolak gagasan mereka adalah kelompok yang lemah atau kelompok yang memiliki kecacatan. Itu artinya, mereka sebetulnya dalam konteks HAM juga memiliki martabat yang sama sebagai manusia, mereka juga harus dihormati dalam konteks hak-haknya, ada prinsip equality/kesamaan, sekaligus mereka juga harus mendapatkan keadilan yang sama di muka hukum atau di dalam aspek kehidupan yang lain. Cuma selama ini, sebelum kita kenal istilah disabilitas, apa yang kita maksudkan sebagai equality atau persamaan, martabat, dan keadilan, itu cenderung diseragamkan pemenuhannya. kalau anak sekolah ya, seolah-olah anak-anak dianggap semuanya sama, kebutuhannya, fisik sama, penglihatan sama, rasa yang sama, sensorik yang sama, atau intelektual yang sama. Itulah yang dikritik yang sebelumnya juga didasarkan pada konsep equality itu tadi, persamaan atau kesamaan dalam pemenuhan HAM.”
Muhammad Nurkhoiron menambahkan bahwa kesamaan justru cenderung dipersepsikan sebagai keseragaman, dalam konteks itulah kita nanti memahami yang kita sebut sebagai disability itu adalah orang yang memiliki kebutuhan khusus atau ciri-ciri fisik, intelektual, mental, sensorik yang berbeda. Oleh karena itu, dalam konteks penguatan bersama ini, atau dalam konteks memperkuat equality tadi, penting kita memberikan atau mengakomodasi atau memenuhi kebutuhan mereka, Reasonable Accomodation, memberikan akomodasi yang layak, yang masuk akal. Itulah jalan kita untuk memikirkan bagaimana kalau langsung dikaitkan dengan konteks hak di bidang hukum.
“Bila terjadi kekerasan, jika korbannya disabilitas dan pelaku non-disabilitas, hukuman ditambah 30%, kalau pelaku dan korban sama-sama disabilitas, jadi hukumannya disamakan dengan masyarakat pada umumnya.” Kata Wellin Hartati, salah satu peserta diskusi dari dari Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) yang turut serta memberikan masukan. Hal ini berkaitan juga dengan Pasal 41 dan pasal 42 RKHUP mengenai pengurangan dan pertanggungjawaban pidana terkait disabilitas.
“Pada diskusi kali ini juga dibahas mengenai apakah kejahatan terhadap penyandang disabilitas sebagai korban harus dimasukkan dalam tindak pidana khusus?” Papar Tigor Gempita Hutapea, moderator diskusi ini. “Tidak setuju dimasukkan dalam tindak pidana khusus, delik umum saja, kita mau sama di depan hukum”, ungkap Aryani Arsyad, peserta diskusi dari HWDI.
Sebagai penutup ada beberapa rekomendasi yang dihasilkan pada diskusi terfokus kali ini yaitu, pertama, kondisi KUHP sekarang bahwa ada banyak hal yang perlu diperbaiki kepentingan disabilitas dalam KUHP ke depan. Kedua, bahwa tindak pidana atau kejahatan yang dilakukan disabilitas penting untuk ada pemberatan, tapi korban disabilitas yang ada tingkat kerentanan untuk menjadi korban kejahatan, tidak perlu membuat tindak pidana khusus. Ketiga, ketika pelaku merupakan disabilitas, hambatan apa yang dia alami sebagai pelaku sehingga terjadi tindak pidana. maka bisa dikategorikan melalui pendekatan pemaaf, tapi pemaaf perlu ditasfsirkan lagi agar tidak seperti di KUHP sekarang. Keempat, hate speech, penting dibuat satu bab khusus, pasal atau bab terkait hate speech disabilitas. Kelima, akomodasi yang layak. Keenam, mengakomodasi seluruh disabilitas yang ada. KUHP mengakomodir disabilitas lainnya. Kemudian ada prinsip yang penting terkait penghukuman, sanksi jangan sampai justru lebih berat ketika sanksi tersebut dikonversikan kepada sanksi yang lain. “Selanjutnya, hasil dari diskusi RKUHP ini akan menjadi masukan untuk memastikan hak-hak kedalam RKUHP tersebut. Tujuan kita untuk memberikan policy brief kepada DPR,” tutup Veronica Koman, Pengabdi Bantuan Hukum LBH Jakarta.