Meninjau Penghinaan Dalam R KUHP 2015

Oleh: Supriyadi Widodo Eddyono

Pengaturan penghinaan dalam R KUHP 2015

Bukanlah tanpa alasan mengapa mencuat rekomendasi depenalisasi delik-delik penghinaan, hal ini karena praktik peradilan selama ini menunjukkan bahwa pidana penjara tidak lagi sesuai dengan perkembangan pemidanaan dan social masyarakat. Melihat dari rumusan RKUHP terkait delik-delik penghinaan tersebut, akan disampaikan beberapa kritik dalam konteks perumusan RKUHP dalam paparan tulisan di bawah ini

Tindak Pidana Penghinaan dalam Rancangan KUHP diatur dalam sebaran yang meliputi 3 bab yakni: BAB II Tindak pidana terhadap martabat Presiden dan wakil Presiden, BAB V Tindak pidana terhadap ketertiban Umum, dan BAB XIX Tindak pidana Penghinaan. Dalam BAB II Tindak pidana terhadap martabat Presiden dan Wakil Presiden penghinaan diatur di Bagian kedua yakni Tindak Pidana Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden pasal 262, 263 dan 264. Dalam BAB V Tindak Pidana terhadap Ketertiban Umum, penghinaan diatur terkait dengan Penghinaan terhadap Simbol Negara, Pemerintah, dan Golongan Penduduk Paragraf 1 Penodaan terhadap Bendera Negara, Lagu Kebangsaan, dan Lambang Negara dan Paragraf 2 Penghinaan terhadap Pemerintah dalam (Pasal 281 sd Pasal 289). Sedangkan dalam Bab XIX mengenai tindak pidana penghinaan, terbagi dalam enam bagian, yaitu pencemaran, fitnah, penghinaan ringan, pengaduan fitnah, persangkaan palsu, dan penistaan terhadap orang mati. (Pasal 540 sd Pasal 550)

Berdasarkan sebaran pasal-pasal tindak pidana penghinaan yang ada setidaknya ada 3 masalah mendasar terkait dengan delik penghinaan dalam Rancangan KUHP yaitu: pertama adanya ketentuan – ketentuan pasal inskontitusional yang dicoba dihidupkan kembali oleh tim perumus Rancangan KUHP, kedua meningkatnya ancaman pidana, dan ketiga ketiadaan alasan pembenar yang cukup. Selain ketiga faktor itu, para perumus Rancangan KUHP nampaknya tidak melihat kembali ketentuan – ketentuan hukum Internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia sebagai dasar untuk melakukan kriminalisasi ataupun dekriminalisasi terhadap suatu perbuatan[1]

Selain pengaturan yang sangat ketat terkait penghinaan dikarenakan tidak adanya perubahan dari pengaturan yang lama, hal lain yang menjadi keunikan dalam rancangan KUHP adalah meningkatnya semua ancaman pidana bagi kejatan penghinaan. Fitnah yang dalam KUHP saat ini berlaku diancam dengan pidana paling lama 4 tahun naik menjadi 5 tahun di dalam Rancangan KUHP, sama halnya dengan pengaduan fitnah dengan angka kenaikan sama dari 4 tahun menjadi 5 tahun, bahkan penghinaan ringan yang hanya diancam 4 bulan 2 minggu di dalam KUHP naik dengan ancaman paling lama 1 tahun penjara di dalam Rancangan KUHP[2]

Penghinaan sebagai alat pembatasan kebebasan berekspresi

Karena kebebasan berekspresi adalah bagian dari hak-hak asasi dan kebebasan dasar yang penting pengaruhnya bagi penghargaan martabat individu untuk ikut berpartisipasi, dan bertanggungjawab, dalam penyelenggaraan demokrasi. Demikian juga dengan kemerdekaan berpendapat merupakan salah satu hak asasi manusia yang strategis dalam menompang jalan dan bekerjanya demokrasi, karena demokrasi tidak akan berjalan tanpa adanya kebebasan-kebebasan untuk berpendapat, sikap, dan berekspresi.

Dalam konsteks ini, maka untuk menjamin bekerjanya sistem demokrasi dalam sebuah negara hukum, perlu adanya perlindungan khusus terhadap hak-hak kebebasan berpendapat dan berekspresi. Perlindungan hak-hak jenis ini telah tertulis dalam hukum Internasional dan kemudian diatur dalam Pasal 19 Deklarasi Universal HAM dan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik. Amanat yang diatur dalam Piagam PBB dan Kovenan ini adalah mewajibkan bagi setiap negara pihak agar menjamin perlindungan atas hak-hak kebebasan berpendapat dan berekspresi. Oleh karena itu, pada pundak negaralah terletak kewajiban untuk melindungi hak-hak kemerdekaan berpendapat dan atau perlindungan hak-hak tersebut merupakan tanggung jawab negara (state responsibility).[3]

Pengaturan hukum penghinaan secara pidana di Indonesia berdampak pada pandangan bahwa apakah kebebasan berekspresi dapat dibatasi? Pembatasan diperkenankan dalam hukum internasional, namun harus diuji dalam metode yang disebut dengan uji tiga rangkai (three part test) yaitu (1) pembatasan harus dilakukan hanya melalui undang-undang; (2) pembatasan hanya diperkenankan terhadap tujuan yang sah yang telah disebutkan dalam Pasal 19 ayat (3) Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik; dan (3) pembatasan tersebut benar-benar diperlukan untuk menjamin dan melindungi tujuan yang sah tersebut.[4]

Berdasarkan riset terhadap putusan pengadilan untuk perkara pidana penghinaan yang dilakukan oleh ICJR pada 2012, terdapat fakta yang menarik. Dalam penuntutan pidana penghinaan, masyarakat biasa menempati porsi tertinggi sebagai pelaku penghinaan dengan 160 kasus dari 171 putusan, sementara korban penghinaan terbesar ditempati oleh pejabat publik atau orang-orang yang bekerja di sektor publik, yaitu 63 kasus. Data ini menunjukkan bahwa hukum pidana penghinaan secara efektif digunakan untuk melindungi kepentingan pejabat publik dan/atau orang-orang yang bekerja di sektor publik.

Fakta ini menunjukkan bahwa hukum penghinaan di Indonesia masih diselumuti dengan nuansa kolonial yang memberikan perlindungan besar bagi individu kerajaan atau wakil negara terhadap hak masyarakat biasa. Sayangnya, semua Pasal yang ada dalam Bab XVI KUHP lama diadopsi dalam pengaturan di Bab XIX RKUHP tanpa memperhatikan perkembangan yang terjadi di Masyarakat.

Asumsi bahwa Pidana Penjara untuk Penghinaan Tidak Sesuai dengan Perkembangan Sosial dan Tren Putusan Pengadilan

Hak atas reputasi merupakan bagian dari hak yang harus dilindungi oleh negara, sehingga negara harus membentuk suatu instrument hukum yang tepat untuk tetap menjaga terlindunginya martabat dan hak atas reputasi dari warga negaranya, namun perlindungan ini juga harus dibentuk dengan aturan yang sangat ketat sehingga nantinya tidak dijadikan alat untuk mengekang kebebasan berekspresi dan berpendapat. Sejarah Indonesia Mencatat, setelah dengan asas kokordansi WvS berlaku di Indonesia, KUHP menjadi bukti sejarah bahwa alasan hak atas reputasi menjadi sarana yang ampuh untuk mengekang kebebasan dari warga negara, contoh yang sangat mudah adalah melihat ke masa-masa Orde Baru.

Lalu apa relevansinya terkait ancaman pidana penjara dengan Hak Asasi Manusia dalam pengaturan hukum penghinaan? Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945 berbunyi :

Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.

bagian yang sangat penting untuk diperhatikan adalah saat ini ancaman pidana penjara bagi penghinaan menyebabkan terancamnya hak atas rasa aman untuk mendapatkan perlindungan dari negara dan secara langsung mendapatkan ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi, dalam hal ini adalah kemerdekaan berekspresi. Suasana rasa takut tersebut juga berhubungan langsung dengan praktik penangkapan dan penahanan bagi tersangka atau terdakwa tindak pidana penghinaan sebelum dan selama proses peradilan berlangsung.

Pengaturan dalam RKUHP ternyata cukup mengagetkan, apabila dihubungkan dengan kewenangan aparatur negara dalam hal ini Penyidik atau Penuntut Umum untuk melakukan penahanan sebagaimana diatur dalam Pasal 21 KUHAP, maka ancaman hukum dalam BAB Penghinaan Rancangan KUHAP telah mengaktifkan syarat dasar hukum objektif dilakukannya penahanan, cilakanya adalah dengan kewenangan yang nyaris tak terkontrol dengan alasan Subjektif dari penyidik, maka dapat dibayangkan bagaimana nantinya praktik penangkapan dan penahanan yang dapat mengancam hak atas rasa aman tersebut.

Peningkatan tren ancaman hukuman penghinaan dalam Rancangan KUHAP bukanlah masalah kecil, dampaknya sangat luas dan masif. Bayangkan seseorang dapat ditahan hanya karena dianggap melakukan fitnah merujuk pada dasar hukum objektif hancaman hukuman di atas 5 tahun. Secara rinci peningkatan ancaman pidana penjara dari KUHP ke RKUHP dapat dilihat di tabel berikut :

Jenis Tindak Pidana Ancaman Pidana Penjara di KUHP Ancaman Pidana Penjara di RKUHP
Pencemaran Lisan 9 Bulan 1 Tahun
Pencemaran Tertulis 1 Tahun 4 Bulan 2 Tahun
Fitnah 4 Tahun 5 Tahun
Penghinaan Ringan 4 Bulan 2 Minggu 1 Tahun
Pengaduan Fitnah 4 Tahun 5 Tahun
Persangkaan Palsu 4 Tahun 4 Tahun
Pencemaran Orang Mati/ Orang yang Sudah Meninggal 4 Bulan 2 Minggu 1 Tahun

Ada beberapa alasan mengapa kemudian depenalisasi menjadi tawaran penting yang harus dipertimbangkan dalam pengaturan penghinaan dalam Rancangan KUHAP, beberapa diantaranya terkait dengan tren putusan kasus-kasus penghinaan dan tentu saja urgensi dari pidana penjara itu sendiri. Grafik putusan hasil riset dari ICJR pada tahun 2012 menunjukkan pergerakan pola pemidanaan yang terjadi dalam praktik peradilan untuk kasus-kasus penghinaan selama ini.

Penurunan Pola Pemidanaan Penjara Kasus Penghinaan

Secara statistik, semua ancaman pidana penjara penghinaan dalam RKUHP mengalami peningkatan. Hanya saja, nampaknya pembuat RKUHP tidak berkaca pada tren putusan oleh Pengadilan terkait pidana penjara Pasal-Pasal penghinaan, ICJR pada 2012 mencatat, rata-rata hukuman penjara yang dituntut oleh Jaksa adalah 154 hari (5 bulan) penjara dan hukuman penjara yang kemudian dijatuhkan oleh Pengadilan berkisar antara 108-112 hari (3 bulan – 4 bulan) penjara.[5] Pola ini secara tegas menjawab bahwa tingginya ancaman hukuman dalam RKUHP kurang berdasar dapat menjawab kebijakan pemidanaan dalam RKUHP tersebut.

Selain pola dan tren dari putusan pengadilan yang menunjukkan ukuran minim dari penjatuhan pidana, data lain yang tidak kalah menarik adalah alur koreksi putusan dari Pengadilan Negeri (PN) ke Mahkamah Agung (MA) yang menunjukkan fakta bahwa penggunaan pidana penjara mengalami penurunan yang signifikan. Pada 2012 dengan 205 kasus yang dituntut penjara, Rata-rata hukuman penjara yang dijatuhkan oleh PN adalah 154 hari penjara, angka ini kemudian dikoreksi menjadi 112 hari penjara di MA. Namun, yang menjadi catatan penting adalah dari 205 tuntutan pidana penjara yang dilakukan di Pengadilan, PN memutus bersalah 126 tuntutan diantaranya, alur tersebut kemudian berubah menjadi hanya 75 tuntutan yang dikabulkan di tingkat MA.[6]

Penurunan pola pemidanaan penjara bagi kasus penghinaan memiliki makna banyak terkait progresifitas hakim dalam melihat relevansi penggunaan pidana penjara terhadap karekteristik delik penghinaan yang secara lansung berhadapan dengan Hak Asasi Manusia. Menurunnya angka penjatuhan pidana pada kasus penghinaan memang tidak secara langsung menghilangkan iklim ketakutan bagi warga negara untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan Hak Asasi nya, namun pengurangan pola pemidanaan ini setidaknya menunjukkan bahwa pidana penjara bukanlah satu-satunya jenis pidana yang dapat dijatuhkan pada kasus penghinaan.[7]

Meningkatnya Penggunaan Pidana Percobaan

Berbeda dengan tren pidana penjara bagi kasus penghinaan, penggunaan pidana percobaan justru meningkat dalam tren putusan yang dikeluarkan Hakim di muka Pengadilan, tahun 2012, berdasarkan riset ICJR, rata-rata lama percobaan yang dituntut adalah 272 hari penjara, koreksi yang dilakukan oleh MA hanya menurun diangka 252 hari penjara saja. Fakta lain yang lebih menarik adalah dari 63 jumlah tuntutan percobaan, Putusan PN menjatuhkan justru lebih dari yang dimintakan yaitu 73 Putusan, dan yang dikoreksi oleh MA hanya turun di angka 37 putusan yang dikenakan masa percobaan. Secara perbandingan, MA mengabulkan pidana penjara hanya 37% dari tuntutan yang diajukan, sedangkan menjatuhkan pidana percobaan mencapai 59% dari jumlah tuntutan.

Peningkatan penggunaan hukum percobaan tersebut sejalan dengan karekteristik dari kasus-kasus penghinaan yang terjadi di Indonesia, ICJR mencatat bahwa dalam tahap tuntutan, penggunaan hukuman percobaan jauh meningkat ketimbang dalam tahap dakwaan jaksa. Ini menunjukkan, bahwa hampir separuh bukti-bukti yang diperiksa dalam tahap pemeriksaan pengadilan menunjukkan kualitas penghinaan yang rendah, yang dalam kata lain, banyak unsur-unsur penghinaan dalam dakwaan kurang terpenuhi. Akibatnya, dalam banyak dakwaan Jaksa yang menuntut hukuman penjara bagi pelaku penghinaan, tapi diturunkan menjadi hukuman percobaan oleh putusan pengadilan.[8]

Dalam RKUHP, pidana bersyarat ditransformasi menjadi pidana pengawasan sebagaimana tercantum dalam Pasal 79 dan Pasal 80 RKUHP, berbeda dengan pengaturan di KUHP, dalam RKUHP, pidana pengawasan disebut tegas sebagai salah satu alternatif dari pemidanaan menggantikan pidana penjara. Menilai dari karekteristik dari kasus-kasus penghinaan maka sudah tepat apabila pidana percobaan menjadi salah satu alternatif dalam penjatuhan pidana bagi kasus-kasus penghinaan.

Mengapa kemudian pidana percobaan yang di dalam RKUHP identik dengan pidana pengawasan perlu dikedepankan, kalaupun penjatuhan pidana memang tidak terhindarkan? Menurut Muladi[9], pidana pengawasan (probation) mempunyai beberapa keuntungan, dari sisi terpidana, selain menghilangkan stigma terkait “pemenjaraan” dan dampak negatif dari perampasan kemerdekaan, pidana pengawasan memberikan kesempatan kepada terpidana untuk memperbaiki dirinya dimasyarakat, sepanjang kesejahteraan terpidana dalam hal ini dipertimbangkan sebagai hal yang lebih utama dari pada risiko yang mungkin diderita oleh masyarakat, seandainya si terpidana dilepas di masyarakat. Dalam rangka pemberian kesempatan ini, persyaratan yang paling utama adalah kesehatan mental dari terpidana.

Dari sisi lain, secara objektif Muladi menilai bahwa pidana percobaan dalam bingkai pengawasan akan mengurangi beban negara dikarenakan minimnya penggunaan fasilitas tempat penahanan negara baik di RUTAN (Rumah Tahanan) atau LAPAS (Lembaga Pemasyarakatan), dan yang terpenting adalah sejauh mana manfaat dari pidana penjara terhadap masyarakat. Bahwa yang perlu disadari adalah pidana pengawasan atau percobaan akan memberikan dampak yang lebih besar pada masyarakat dimulai dari kehidupan keluarganya yang akan berimbas pada lingkungan masyarakat sendiri, mengingat karekteristik dari tindak pidana penghinaan yang dari segi kualitas tindak pidananya rendah, maka mendorong dijatuhkannya pidana percobaan sebagaimana dalam KUHP saat ini atau pidana pengawasan sebagaimana dalam RKUHP akan jauh labih bermanfaat dan relevan dari pada penjatuhan pidana penjara.

Penggunaan Pidana Denda

Pada Tahun 2012, Berdasarkan Riset ICJR, Perbandingan tuntutan PU terhadap terdakwa penghinaan menunjukkan bahwa 205 Perkara dituntut dengan Hukuman Penjara, 70 perkara dituntut dengan Hukuman Percobaan dan hanya 1 Perkara saja yang dituntut dengan Pidana Denda.[10] Fakta menunjukkan bahwa Jaksa lebih senang dengan tuntutan pemenjaraan pada terdakwa tindak pidana penghinaan, daripada penggunaan Pidana Denda.

ICJR mencatat bahwa minimnya tuntutan pidana denda sendiri lebih diakibatkan karena jumlah nominal yang di atur dalam KUHP sangat minim (Rp 4.500), sehingga JPU terkesan enggan untuk menggunakan jenis hukuman ini. Walaupun dalam perkembangannya pada 2012 ada kenaikan nilai denda berdasarkan Peraturan MA No 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP, namun cara menghitung besaran dendanya dan prakteknya belum ditemukan untuk kasus pidana penghinaan.

Dalam Pasal 82 Ayat (3) RKUHP, pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan kategori, yaitu:

kategori I   Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah);

kategori II Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah);

kategori III Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah);

kategori IV Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);

kategori V Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); dan

kategori VI Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).

tindak pidana penghinaan sebagaimana diatur dalam Bab XIX tebtang tindak pidana penghinaan mengatur ancaman untuk pidana denda rata-rata berada pada kategori II sampai dengan kategori IV. Peningkatan yang cukup drastis memang apabila dibandingkan dengan pengaturan yang ada di KUHP saat ini. Pola minimnya penggunaan pidana denda dibandingkan dengan penggunaan pidana penjara diyakini akan tetap sama dengan pola dan tren yang saat ini berkembang, apabila jaksa dalam hal ini Penuntut Umum masih menggunakan pola pikir yang sama terkait tindak pidana penghinaan, bahwa akan lebih bermanfaat dan relevan penggunaan pidana lain dalam hal ini kaitannya dengan pidana denda daripada pidana penjara.

Pidana Penjara Menimbulkan Dampak yang Luas

Pada dasarnya, masifnya penggunaan pidana penjara melahirkan kritik-kritik yang berkembang diantara para ahli di dunia. Apabila ditinjau dari segi tujuan yang hendak dicapai dengan penerapan pidana perampasan kemerdekaan tersebut, Herman G. Moeller berpendapat bahwa terdapat hal-hal yang saling bertentangan dari segi filosofis, diantaranya : [11]

  1. Bahwa tujuan dari penjara, pertama adalah menjamin pengamanan narapidana, dan kedua adalah memberikan kesempatan-kesempatan kepada narapidana untuk direhabilitasi.
  2. Bahwa hakekat dari fungsi penjara tersebut di atas seringkali mengakibatkan dehumanisasi pelaku tindak pidana dan pada akhirnya menimbulkan kerugian bagi narapidana yang terlalu lama di dalam lembaga, berupa ketidakmampuan narapidana tersebut untuk melanjutkan kehidupannya secara produktif di dalam masyarakat.

Herman G. Moeller mencoba membuka tabir bahwa pidana penjara harusnya menjadi alternative terakhir bagi suatu pemidanaan, terlebih bagi tindak pidana seperti penghinaan yang secara kualitas dan karekteristik sangat berlebihan apabila dikenakan pidana perampasan kemerdekaan karena sangat berpotensi secara langsung melanggar Hak Asasi dimana sangat erat kaitannya dengan kebebasan berekspresi.

Pemidanaan penjara bagi pelaku penghinaan dari segi manfaatnya bagi pelaku dan masyarakat, dapat dilihat dari kritik Muladi terhadap pidana penjara yang dianggap merugikan individu dan masyarakat yang mengatakan :

“masalah pidana, terdapat suatu masalah yang dewasa ini secara universal terus dicarikan pemecahannya. Masalah tersebut adalah adanya ketidakpuasan masyarakat terhadap pidana perampasan kemerdekaan, yang dalam pelbagai penelitian terbukti sangat merugikan baik terhadap individu yang dikenai pidana, maupun terhadap masyarakat”.[12]

Kaitannya dengan Kehormatan dan reputasi – sebagai bagian dari rights of privacy – memang harus dilindungi, tetapi juga harus dicatat tanpa harus mengurangi atau mengancam free speech. Dalam konteks ini, yang perlu diperhatikan adalah bagaimana perlindungan kehormatan dan reputasi berelasi secara paralel dengan hak atas kebebasan berbicara. Ini dapat dilihat dalam putusan Bonnard versus Perryman di pengadilan Inggris, yang menyatakan bahwa “The rights of free speech is one which it is for the public interest that individuals should posses and, indeed, that they should exercise without impediment, so long as no wrongful acts is done; and unless as alleged libel is untrue there is no wrong commited…[13]

Ketentuan pembatasan hak dengan alasan perlindungan atas hak yang lain ini telah dipagari dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, bahwa “Tidak satupun ketentuan dari Kovenan ini yang dapat ditafsirkan sebagai memberi hak pada suatu Negara, kelompok atau perorangan untuk melakukan kegiatan yang ditujukan untuk menghancurkan hak-hak dan kebebasan-kebabasan yang diakui dalam Kovenan ini, atau untuk membatasinya lebih dari pada yang telah ditetapkan dalam Kovenan ini”.[14]

Terhadap permasalah tersebut, hampir setiap tahun Komisi HAM PBB dalam resolusinya tentang kemerdekaan berekspresi, selalu menyerukan keprihatinannya terhadap berlangsungnya “abuse of legal provisions on defamation and criminal libel”. Ada tiga komisi internasional yang dibentuk dengan mandat untuk mempromosikan kemerdekaan berekspresi yaitu UN Special Rapporteur, OSCE Representative on Freedom of the Media dan OAS Special Rapporteur on Freedom of Expression, dan pada December 2002 telah mengeluarkan pernyataan penting bahwa “Criminal defamation is not a justifiable restriction on freedom of expression; all criminal defamation laws should be abolished and replaced, where necessary, with appropriate civil defamation laws.”[15]

Pertanyaan yang timbul adalah apakah kemudian dengan tidak melindungi hak atas kehormatan dan reputasi secara ancaman pidana dapat membuat ketidak teraturan dan ketertiban di masyarakat? Berdasarkan data Article 19,[16] menyebutkan bahwa beberapa negara seperti Timor Leste (2000), Ghana (2001), Ukraine (2001) and Sri Lanka (2002), telah menghapus delik reputasi (Tindak pidana penghinaan dan sebagainya) dalam WvS-nya masing-masing. Semenjak mereka menghapus delik reputasi dalam Hukum Pidananya, pernyataan yang bersifat menyerang kehormatan justru tidak mengalami kenaikan yang signifikan, baik secara kuantitaf maupun kualitatif.[17]

Harus dicatat bahwa dengan semua kritik yang ditujukan terhadap pidana penjara dan potensinya dalam memberangus kebebasan berekspresi, pidana penjara telah menimbulkan ketakutan yang mendalam pada masyarakat terutama untuk mendapatkan hak atas rasa aman untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan haknya sebagaimana dilindungi oleh Konstitusi negara Indonesia. Meningkatnya semua ancaman pidana bagi delik-delik penghinaan dalam RKUHP tanpa dasar filosofos dan empiris yang relevan telah berkontribusi akan kefek phobia kebebasan berekspresi di Indonesia. Dilain sisi Meskipun ancaman pidana penjaranya ditentukan rendah, tetap dapat menimbulkan efek yang mendalam dan luas.

Efek tersebut muncul karena sistem maupun prosedur penahanan yang dilakukan oleh instansi-instansi yang berwenang, sebelum dan selama proses peradilan berlangsung telah menimbulkan dampak yang buruk bagi tersangka maupun terpidana delik penghinaan. Pandangan buruk tersebut juga berkembang di masyarakat, yang memandang bahwa seorang terdakwa atau terpidana penghinaan yang menjalani hukuman penjara disamakan dengan penjahat biasa dalam kasus-kasus pidana lainnya. Semua efek tersebut dapat menimbulkan dehumanisasi, berisiko terjadi prisonisasi, menimbulkan stigma yang buruk di masyarakat.[18]

Tentu saja alasan tersebut diperburuk dengan hasil Riset ICJR, yang menunjukkan bahwa fakta munculnya status orang-orang yang memiliki kepentingan kuat seperti penguasa dan tentu saja pejabat publik dan/atau orang-orang yang bekerja di sektor publik yang menduduki posisi pertama sebagai korban penghinaan, telah melegitimasi bahwa aktor-aktor inilah yang menggunakan dan menyalahgunakan ketentuan pidana penghinaan untuk melindungi diri dari kritik atau dari pengungkapan fakta-fakta atas penyimpangan perilaku untuk kepentingan pribadi. Untuk itu tingginya ancaman pidana dalam Rancangan KUHAP harus direspon dengan revisi ancaman pidananya sendiri yaitu “hanya” ancaman pidan denda atau setidak-tidaknya mengedepankan pidana pengawasan dengan menurunkan ancaman pidana penjara.

Doktrin Membela Diri dan Alasan Pembenar Absen

Menurut hukum Indonesia, baik dalam hukum pidana maupun hukum perdata, hanya ada satu alasan yang dapat digunakan untuk membela diri dalam perkara penghinaan. Alasan tersebut diatur dalam Pasal 310 ayat (3) KUHP dan Pasal 1376 KUHPerdata.

Pentingnya alasan pembenar ini ditegaskan dalam Pasal 19 ayat (3) Kovenan Sipol yang telah meletakkan syarat-syarat dasar tentang hal tersebut. Untuk itu penting dilihat bagaimana pandangan dari sisi hak asasi manusia untuk alasan-alasan pembenar dalam perkaraperkara penghinaan sebagaimana tercermin dalam Komentar Umum No 34 yang menegaskan bahwa “Defamation laws must be craft ed with care to ensure that they comply with paragraph 3, and that they do not serve, in practice, to stifle freedom of expression. All such laws, in particular penal defamation laws, should include such defences as the defence of truth and they should not be applied with regard to those forms of expressions that are not, of their nature, subject to verification. At least with regard to comments about public figures, consideration should be given to avoiding penalising or otherwise rendering unlawful untrue statements that have been published in error but without malice. In any event, a public interest in the subject matt er of the criticism should be recognised as a defence. Care should be taken by States parties to avoid excessively punitive measures and penalties (…)”.

Tanpa adanya alasan pembenar yang cukup ini, sebagaimana yang telah digariskan dalam Komentar Umum No. 34, telah membuat Human Rights Committee (HRC) menyimpulkan bahwa KUHP Filipina bertentangan dengan Pasal 19 ayat (3) Kovenan Sipol.

Berdasarkan hasil penelitian ICJR, dari perkembangan penanganan perkara penghinaan dalam persidangan, sebenarnya beberapa pengadilan telah memperluas alasan-alasan pembenar tersebut yaitu :[19]

  1. Di Muka Umum
  2. Kepentingan Umum
  3. Good Fatih Statement (Niat baik)
  4. Kebenaran Pernyataan (Truth)
  5. Mere Vulgar Abuse (sebuah pernyataan yang vulgar namun tidak dikategorikan sebagai menghina karena tidak dimaksudkan untuk merendahkan kehormatan)
  6. Priviladge and Malice (Laporan ke Penegak Hukum, Profesi dan Kode Etik serta Pemegang Hak berdasarkan Undang-Undang)

Namun dalam RKUHP alasan pembenar hanya ada dua, yaitu nyata nyata dilakukan untuk kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri sebagaimana diatur dalam Pasal 540 ayat (3) RKUHP.

Penutup

Pada dasarnya argumen bahwa penghinaan sudah tidak dapat lagi dipertahankan dalam hukum pidana sudah dalam pembahasan di dunia Internasional, beberapa negara telah secara masif menghilangkan pengihinaan dalam hukum pidananya, alasannya sangat sederhana, karena nilai “kejahatan” dalam penghinaan dianggap tidak lagi sesuai dengan nilai masyarakat demokratis yang modern, lebih jauh, bahwa penggunaan mekanisme lain seperti perdata lebih mengemuka, dan lagi, penghinaan memiliki hubungan sangat tipis dengan kebebasan berekspresi dan berpendapat.

Dalam konteks Indonesia, nampaknya depenalisasi menjadi pilihan yang lebih realistis, mengingat dampak buruk dari pemidanaan khususnya penjara. Beberapa pilihan terbuka, salah satunya mengedepankan pidana denda atau pidana bersyarat, belum lagi RKUHP menawarkan alternatif pemidanaan yang lebih banyak dari KUHP yang saat ini berlaku dan nilai denda juga lebih tinggi.

[1] Supriyadi Widodo Eddyono dan Erasmus Napitupulu, Penghinaan dalam Rancangan KUHP 2013, ICJR, 2014 hal 12

[2] Ibid

[3] ICJR, Analisis Situasi Penerapan Hukum Penghinaan di Indonesia, ICJR, Jakarta, 2012.

[4] Uji Tiga Rangkai ini telah diakui oleh UN Human Rights Committee dalam Mukong vs. Cameroon, views adopted 21 July 1994 dan juga oleh European Court of Human Rights dalam Hungarian Civil Liberties Union vs. Hungary (Application no. 37374/05). Dikutip dari Amicus Curie Prita Mulyasari Versi Elsam dkk.

[5] ICJR, Analisis Situasi Penerapan Hukum Penghinaan di Indonesia, Op.Cit hlm.91

[6] Ibid

[7] Ibid

[8] Ibid

[9] Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung,1992, hlm. 153-154.

[10] ICJR, Analisis Situasi Penerapan Hukum Penghinaan di Indonesia, Op.Cit hlm. 43.

[11] Lihat Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, 1992, Bandung, hlm.. 78.

[12] Muladi, Op.Cit, hlm. 5.

[13] Lihat Lihat ELSAM dkk, Amicus Curiae, Op. Cit. hlm. 42 dan Lihat http://swarb.co.uk/bonnard-v-perryman-ca-2-jan-1891/

[14] Lihat Pasal 5 ayat (1) Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik dan atau UU Nomor 12 Tahun 2005

[15] Lihat ELSAM dkk, Amicus Curiae, Op. Cit. hlm. 46

[16] Sebuah organisasi non-pemerintah internasional, Lihat http://www.article19.org/

[17] Lihat ELSAM dkk, Amicus Curiae, Loc. Cit

[18] Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro semarang, Semarang, 1995. hlm. 235

[19] Supriyadi Widodo Eddyono dkk, Analisis Situasi… Op. Cit

Leave a Reply