Overkriminalisasi, RKUHP Dikhawatirkan Berdampak Buruk bagi Industri Pariwisata

Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau RKUHP direncanakan kembali dibahas tahun depan karena sudah masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional tahun 2022. Sosialiasi materi RKUHP perlu kembali dilakukan untuk mencegah pro-kontra yang tidak perlu akibat belum tersampaikannya secara tepat sejumlah pengaturan dalam rancangan undang-undang tersebut.

Salah satunya adalah dampak RKUHP terhadap industri pariwisata yang dua tahun terakhir terpuruk akibat pandemi Covid-19.  Para pelaku industri pariwisata mengkhawatirkan sejumlah pasal di RKUHP bakal  berdampak pada sektor wisata yang diprediksi mulai bangkit pada 2022.

Pengurus Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali, Gede Ricky Sukarta, dalam diskusi daring bertema ”Overkriminalisasi di RKUHP dan Potensi Dampaknya pada Pariwisata” pada Kamis (9/12/2021) mengungkapkan, kondisi hunian hotel dan villa di Bali saat ini cukup memprihatinkan. Seperti diketahui, Bali memiliki 150.000 kamar untuk menampung wisatawan baik domestik maupun dari mancanegara. Namun, mengutip hasil riset Bank Mandiri pada kuartal ketiga 2021, tingkat okupansi hotel di Bali hanya 9,7 persen. Padahal, tingkat okupansi untuk dapat mencapai break event point (BEP) berada di kisaran 40-45 persen.

Ricky optimistis masih ada kesempatan bagi pariwisata di Bali untuk bangkit setelah pandemi Covid-19 berakhir.  Pada 2022, ada sejumlah kegiatan bertaraf internasional yang akan diselenggarakan di Bali. Di antaranya Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 pada Oktober 2022, COP-4 Minamata Convention pada Maret 2022, dan pertemuan internasional di bidang penanggulangan bencana, yaitu Global Platform for Disaster Risk Reduction pada Mei 2022.

Namun, ia khawatir jika nantinya pemerintah mengeluarkan regulasi, termasuk RKUHP, yang justru tidak mendukung upaya pemulihan ekonomi tersebut. Kekhawatiran itu didasarkan pada temuan beberapa pasal RKUHP yang mengatur pidana terkait perzinaan, dan semacamnya. Di antaranya Pasal  417 terkait perzinaan (persetubuhan bukan dengan suami atau istrinya), Pasal 418 terkait hidup bersama sebagai suami-istri di luar perkawinan, dan Pasal 419 terkait tindakan persetubuhan dengan seseorang yang diketahuinya merupakan anggota keluarga sedarah dalam garis lurus atau ke samping sampai derajat ketiga.

”Kebayang enggak, misalnya kita selaku pelaku operasional hotel dengan pengelolaan yang sudah jelas khususnya terkait struktur atau SOP-nya, ada yang check in apakah harus bertanya, ’Apakah itu suami Ibu atau itu istri Bapak?’. Apakah negara berhak menyelidiki hal-hal demikian. Apalagi kalau kita bicara privasi tamu yang menginap di hotel. Ini kan gawat. Ini perlu dipikirkan,” ujarnya.

Pasal 417 Ayat (1) RKUHP mengatur, ”Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinahan dengan pidana penjara paling lama 1 tahun dan denda kategori II.”

Ia mempertanyakan pengaturan tersebut mengingat hal itu termasuk ranah moral. ”Kami pengelola hotel. Tidak mungkin (masuk) ranah itu. Nanti ada delik aduan, kami jadi runyam,” ujarnya.

Pasal 420 RKUHP juga mengatur tentang perbuatan cabul terhadap orang lain yang berbeda atau sama jenis kelaminnya, diancam pidana penjara. Jika dilakukan di depan umum, ancamannya adalah penjara paling lama 1 tahun 5 bulan. Sementara apabila ada unsur pemaksaan dengan kekerasan diancam pidana 9 tahun penjara, begitu pula jika dipublikasikan sebagai muatan pornografi.

Namun, dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana Ida Bagus Surya Dharma meyakinkan bahwa pengaturan sejumlah norma di RKUHP tidak memengaruhi industri pariwisata. Sebab, ada aturan lanjutan terhadap norma-norma yang ditetapkan.  Pada Pasal 147 dan Pasal 418 RKUHP, misalnya, terdapat ketentuan dalam Ayat (2) yang mengatur pembatasan pihak-pihak yang dapat mengadukan keberatan. Penuntutan hanya dapat dilakukan jika ada pengaduan dari suami, istri, orang tua, atau anak.

”Jadi, ini persoalan keluarga. Kalau keluarganya keberatan baru menjadi persoalan. Kalau keluarga tidak keberatan tidak masalah. Ini memang harus kita atur karena nilai-nilai yang ada di dalam budaya masyarakat memang begitu. Apakah kita akan senang istri berzina, kan tidak. Yang keberatan itu kita. Delik ini delik pribadi, delik aduan namanya. Kalau tidak ada keberatan tidak akan diproses,” ujar Surya.

Ia menegaskan bahwa tidak ada persoalan dengan keberadaan pasal-pasal tersebut untuk kepentingan pariwisata. Sebab, pengaduan tidak dapat dilakukan oleh semua orang. Hanya pihak-pihak tertentu yang dapat mengajukan keberatan. ”Perlu dilakukan sosialisasi agar masyarakat memberi dukungan ke KUHP menjadi hukum pidana baru di Indonesia,” ujar Surya.

Sementara itu, Direktur Yayasan Kesehatan Bali, Adi Mantara, menyoroti sejumlah pasal yang diperkirakan akan mengganggu kenyamanan para wisatawan yang datang dari mancanegara.  Salah satunya Pasal 414-416 yang mengatur tentang alat pencegahan kehamilan. Menurut Adi, ketentuan itu terlalu berlebihan karena disebut bahwa promosi alat pencegahan kehamilan dapat dikriminalisasi, begitu juga jika menunjukkannya di tempat-tempat umum.

”Ini jadi consern kami karena ini berbanding terbalik dengan upaya penanggulangan HIV/AIDS dimana di Bali sendiri intervensi penanggulangan HIV/AIDS sangat diapresiasi berbagai negara. Kalau muncul RKUHP ini, akan jadi pertanyaan bagi negara lain bagaimana keamanan kami terjamin untuk datang ke Bali kalau ternyata ketahuan membawa kondom saja akan berisiko diproses hukum,” ujar Adi.

Artikel asli klik di sini 

Leave a Reply