Pemerintah Setengah Hati Pada Para Korban Perkosaan dan Tenaga Medis

oleh: Pista Simamora

Pemerkosaan adalah perbuatan yang ditakuti dan menyeramkan bagi para perempuan. Bukannya menenangkan perempuan lewat komitmennya memerangi pemerkosaan, negara justru memberikan sikap yang semakin menakut-nakuti perempuan. Hal ini terlihat dalam RKUHP yang dulu sempat akan disahkan di akhir 2019, yang rumusannya bermasalah pada bagian Pengguguran Kandungan.

Menggugurkan kandungan seakan menjadi peristiwa yang diharamkan. Bahkan pelaku serta orang-orang yang terlibat membantu pelaku menggugurkan kandungan akan mendapatkan hukuman. Tanpa melihat alasan utama pengguguran kandungan, pemerintah tentu telah bersikap tidak adil kepada masyarakatnya.

Pada Pasal 469 ayat (1) dituliskan bahwa setiap perempuan yang menggugurkan atau mematikan kandungannya atau meminta orang lain menggugurkan atau mematikan kandungan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun.

Padahal pengguguran kandungan tidak hanya semata-mata disebabkan oleh perkara kondisi medis para perempuan yang sedang mengandung. Pengguguran kandungan juga bisa terjadi akibat dari ketidaksiapan seorang perempuan korban pemerkosaan untuk mengandung dan melahirkan seorang bayi  yang tidak ia inginkan.

Kondisi mental seorang perempuan korban perkosaan tentu tidak baik. Ada rasa trauma dan rasa bersalah yang akan menghantuinya. Hal ini berpotensi membuatnya menjadi depresi dan ketakutan. Belum lagi dengan kondisi kehamilan yang tidak siap ia emban. Ditambah dengan rasa tertekan dan ketidaksiapan mengurus bayi yang akan ia lahirkan nantinya. Belum lagi stigma yang muncul dan akan diderita oleh perempuan itu, melahirkan tanpa suami dan dicap sebagai perempuan tidak baik.

Sudah jatuh, tertimpa tangga. Itulah peribahasa yang cocok dilekatkan pada perempuan tersebut, dan ini menjadi tindakan nyata yang sangat diskriminatif pada perempuan. Mengapa demikian? Sebab perempuan ini sudah cukup depresi akan kejadian yang ia alami. Namun penderitaannya tidak berhenti sampai disitu. Ia masih terus dihantui rasa kecewa karena tidak bisa menggugurkan kandungan yang tidak ia inginkan, dan hidup dalam ketakutan atas ancaman dari pemerintah yang tidak melegalkan pengguguran kandungan bagi kasus khusus yang menimpanya.

Pada akhirnya, bisa saja perempuan tersebut memilih jalur illegal untuk menggugurkan kandungannya, seperti mendatangi tempat aborsi illegal atau menggugurkan kandungan dengan cara-cara lain yang salah tidak manusiawi dan tidak aman. Tentu pilihan tersebut justru akan membahayakan keselamatan perempuan malang tersebut.

Namun apabila dipaksakan untuk terus mengandung dan melahirkan, nantinya akan memunculkan potensi kejahatan berikutnya. Apa potensi tindak kejahatan berikutnya? Bisa saja dengan menelantarkan bayi, menyiksa bayi, membunuh bayi, atau bahkan bunuh diri. Apakah hal ini yang pemerintah inginkan dari perbaruan Kitab Undang-undang Hukum Pidana?

Lalu dimana letak peran pemerintah dalam menjaga rakyatnya?

Tidak hanya berimbas pada perempuan korban perkosaan, ketidakadilan hukum juga mengancam para tenaga medis, yang tertulis pada:

Pasal 471

  • Dokter, bidan, paramedis, atau apoteker yang membantu melakukan Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 469 dan Pasal 470, pidana dapat ditambah 1/3 (satu per tiga).
  • Dokter, bidan, paramedis, atau apoteker yang melakukan Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 huruf a dan huruf f.
  • Dokter yang melakukan pengguguran kandungan karena indikasi kedaruratan medis atau terhadap Korban perkosaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, tidak dipidana.

Pada Pasal 469 ayat (2), jika tenaga medis melakukan pengguguran tanpa persetujuan perempuan yang mengandung, maka akan dijatuhi hukuman pidana penjara paling lama 12 tahun, dan pada ayat (3) menjelaskan jika proses pengguguran mengakibatkan kematian perempuan yang mengandung, maka akan diberikan sanksi pidana paling lama 15 tahun penjara.

Sedangkan pada Pasal 470 ayat (1), dituliskan jika tenaga medis membantu proses pengguguran dengan persetujuan perempuan yang mengandung, akan dijatuhi hukuman pidana penjara paling lama 5 tahun, dan pada ayat (2) menjelaskan jika proses pengguguran mengakibatkan kematian perempuan yang mengandung, maka akan diberikan sanksi pidana paling lama 8 tahun penjara.

Pasal-pasal tersebut disusun tanpa adanya pertimbangan yang mendalam. Kondisi fisik seseorang yang akan melakukan proses pengguguran kandungan pastinya berbeda-beda. Apakah akan menyebabkan kematian? Mungkin saja iya, namun mungkin juga tidak. Namun apabila terjadi kematian pada perempuan yang mengandung pada proses aborsi, perlu dikaji lagi, apakah kematiannya akibat kelalaian tenaga medis atau karena kelemahan fisik dari perempuan tersebut.

Apabila kematian disebabkan karena kelalaian tenaga medis, mungkin bisa diberikan sanksi atas tindakan kelalaiannya. Namun bila kematian disebabkan karena kondisi fisik, tentu tidak bisa dijadikan alasan utama dalam pemberian sanksi hukuman pidana penjara.

Seharusnya pemerintah berpihak pada perempuan yang menjadi korban perkosaan dan juga pada tenaga medis. Sebaiknya pemerintah berfokus pada pemberian edukasi atau pemulihan mental para perempuan korban perkosaan. Dan semestinya pemerintah mendukung para tenaga medis, dengan menyiapkan layanan aborsi yang legal dengan edukasi yang terbaik untuk meminimalisir terjadinya kelalaian atau kesalahan prosedur dalam proses pengguguran kandungan.

 

Leave a Reply