Perlunya “Jembatan” antara Peradilan Adat dengan Peradilan Negara
Rangkaian pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) mulai dilakukan Komisi III. Kali ini, Komisi III DPR mengundang Aliansi Nasional Reformasi KUHP memberikan masukan dalam rangka pembahasan RKUHP. Sejumlah catatan diberikan. Antara lain terkait dengan penerapan hukum adat.
Anggota Aliansi, Anggara Suwahju berpandangan penerapan hukum adat tak dapat dihilangkan di semua daerah. Apalagi di berbagai daerah, seperti di Sumatera Barat dan Papua, hukum adat sudah mengurat akar sekalipun adanya KUHP. Oleh sebab itu, peradilan adat dengan peradilan negara mesti terhubung.
Anggara berpendapat dengan tersambungnya antara peradilan adat dengan peradilan negara, setidaknya dapat saling mengontrol. Misalnya, kata Anggara, ketika peradilan adat menjatuhkan hukuman terhadap seseorang untuk membayar 10 babi, maka dibutuhkan pengawas. Pengawas tersebut adalah peradilan negara yang tugasnya memastikan pihak terhukum membayar 10 babi.
“Pengadilan adat bisa seharunya tersambung dengan peradilan negara. Kalau seseorang dihukum untuk menjalani pidana adat dalam bentuk membayar 10 babi, tapi butuh peradilan negara untuk memastikan dia membayar sanksi tersebut,” ujar Ketua Badan Pengurus Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) itu di Gedung DPR, Selasa (8/9).
Anggota Aliansi lainnya, Wahyud Djafar menambahkan Panja RKUHP mesti berhati-hati dalam pembahasan pasal yang mengatur hukum adat. Menurutnya perlu jalan tengah agar tidak terjadi doble hukuman. Ya, setidaknya ketika pengadilan negara telah menjatuhkan hukuman, tidak kemudian pengadilan adat pun menjatuhkan hukuman pula. “Jadi jangan sampai double hukuman,” ujar Wahyudi