Pertanggungjawaban Korporasi dalam Rancangan KUHP

Di Indonesia kedudukan korporasi sebagai subjek hukum pidana saat ini secara khusus baru diakui dalam Undang-Undang yang mengatur tindak pidana di luar KUHP. Hal ini dikarenakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia masih menganut pandangan societas delinquere non potest sehingga belum mengakomodir kedudukan korporasi sebagai subjek hukum pidana. Adapun beberapa Undang-Undang yang sudah mengakomodir kedudukan korporasi sebagai subjek hukum pidana adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup.

Dengan diakomodirnya kedudukan korporasi sebagai subjek hukum pidana umum, sebagaimana yang terjadi dalam perubahan KUHP Belanda (W.v.S) tahun 1976, menjadikan korporasi dapat dianggap sebagai pelaku tindak pidana seperti manusia sebagai subjek hukum. Berbeda dengan sebelumnya, dimana kedudukan korporasi sebagai subjek hukum pidana hanya diakomodir oleh Undang-Undang di luar KUHP yang mengatur mengenai delik-delik tertentu.Pengaturan di luar KUHP tersebut menjadikan pengaturan terhadap korporasi sebagai subjek hukum pidana dan pertanggungjawaban pidanya berbeda antara satu peraturan dengan peraturan lainnya. Tentunya hal ini akan menimbulkan ketidakpastian mengenai pengaturan pidana seperti apa yang berlaku terhadap korporasi di Indonesia. Hal ini yang kemudian diidentifikasi oleh Mardjono Reksodiputro menjadi beberapa model pertanggungjawaban pidana yang berlaku di Indonesia. Dengan adanya pengaturan dalam R-KUHP tentunya juga akan menjadikan penyeragaman pengaturan mengenai korporasi sebagai subjek hukum pidana, sehingga tidak ada perbedaan lagi.

Meski demikian, pengaturan korporasi sebagai subjek hukum pidana konsep R-KUHP saat ini dirasa masih memiliki kekurangan, dikarenakan menggunakan doktrin identifikasi sebagai dasar pertanggungjawaban pidana.Kritik terhadap doktrin tersebut adalah doktrin tersebut dianggap sebagailegal barrier to potential corporate criminal liability.Batasan tersebut dikarenakan doktrin identifikasi mensyaratkan adanya tindakan yang dilakukan oleh seseorang dengan kedudukan yang tinggi dalam suatu korporasi agar korporasi tersebut dapat dimintakan pertanggungjawaban. Tentunya hal ini akan menjadi hambatan dalam menarik pertanggungjawaban korporasi yang dilakukan oleh agen-agennya atau pelaku lapangan seperti yang terjadi pada tindak pidana pembalakan liar. Jika dibandingkan dengan konsep pertanggungjawaban pidana korporasi dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup, maka ruang lingkup pertanggungjawaban pidana yang dapat ditarik jauh lebih luas dikarenakan menggunakan doktrin pelaku fungsional.Karenanya, penggunaan doktrin yang menjadi dasar dalam menarik pertanggungjawaban pidana korporasi harus dipertimbangkan lagi doktrin mana yang cocok dalam kemudahan penerapannya

Unduh Disini

Leave a Reply