Potensi Penerapan Non-Imposing of a Penalty/Rechterlijk Pardon/ dispensa de pena dalam R KUHP

Oleh: Adery Adhan Saputro

Pengantar

Menurut KUHAP Majelis Hakim dalam memutuskan suatu perkara hanya memungkinkan 3 kemungkinan[1], yaitu:

  1. Pemidanaan atau penjatuhan pidana;(veroordeling tot enigerlei sanctie)
  2. Putusan bebas (vrij spraak);
  3. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van recht vervolging)

Putusan bebas berarti terdakwa dijatuhi putusan bebas atau dinyatakan bebas dari tuntutan hukum atau acquittal.[2] Berdasarkan Pasal 191 ayat (1) KUHAP putusan bebas dijatuhkan “jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan”.[3]Oleh karenanya, suatu putusan bebas setidaknya didasarkan yakni, (1) tidak memenuhi asas pembuktian menurut undang-undang secara negatif, dan/atau (2) tidak memenuhi asas batas minimum pembuktian.[4]

Sedangkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum dijatuhkan menurut KUHAP “jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu bukan merupakan suatu tindak pidana maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum”.[5] Sehingga pada putusan lepas, apa yang didakwakan kepada terdakwa cukup terbukti secara sah dan meyakinkan, namun perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa dinyatakan tidak bersalah (sengaja/alpa) atau tidak melawan hukum atau ada alasan pemaaf (feit d’excuse)[6]

Dengan hanya tiga pilihan kemungkinan tersebut, maka timbul suatu pertanyaan “bagaimana jika seorang terdakwa dinyatakan bersalah dan terbukti secara sah dan meyakinkan sesuai pasal 183 KUHAP[7], tetapi Majelis Hakim memandang perbuatan yang dilakukannya tidak harus dijatuhkan pemidanaan/ Majelis Hakim memberikan maaf kepada terdakwa atas tindak pidananya ?” Maka apabila Majelis Hakim hanya mendasarkan pada tiga kemungkinan tersebut, muncul suatu permasalahan bagaimana cara agar Majelis Hakim dapat menjatuhkan suatu putusan tanpa pemidanaan (non imposing of a penalty).[8]

Permasalahan ini tidak akan terjadi di Negara Belanda setelah Belanda melakukan revisi WvS pada tahun 1983 melalui undang-undang 31-3-1983 yang telah memasukkan Pasal 9a berbunyi:[9]

The judge may determine in the judgement that no punishment or measure shall be imposed, where he deems this advisable, by reason of the lack of gravity of the offense, the character of the offender, or the circumstances attendant upon the commission of the offense or thereafter .”

terjemahan: Jika hakim menganggap patut berhubungan dengan kecilnya arti perbuatan, kepribadian pelaku atau keadaan-keadaan pada waktu perbuatan dilakukan, begitu pula sesudah itu ia menunjukkan keteladanan, ia (hakim) dapat menentukan di dalam putusan bahwa tidak ada pidana atau tindakan yang dijatuhkan-terjemah Andi Hamzah)[10]

Karena dimasukkanya Pasal 9a WvS, penyusun hukum acara pidana Belanda mengharmonisasikannya dengan memasukkan 4 (empat) kemungkinan dalam menjatuhkan suatu putusan oleh Majelis Hakim[11]:

  1. Pemidanaan atau penjatuhan pidana;
  2. Putusan bebas (vrij spraak);
  3. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van recht vervolging);
  4. Putusan Pemaafan Hakim (Rechterlijk Pardon)

Latar belakang dimasukkannya konsep Rechterlijk pardon[12], menurut Prof. Nico Keizer ialah banyaknya terdakwa yang sebenarnya telah memenuhi pembuktian, akan tetapi jika diajatuhkan suatu pemidanaan akan bertentangan dengan rasa keadilan.[13] Atau dapat dikatakan jika dijatuhkan pemidanaan, maka akan timbul suatu benturan antara kepastian hukum dengan keadilan hukum. Sebelum tahun 1983 apabila terjadi permasalahan di atas, Majelis Hakim akan secara “terpaksa” harus menjatuhkan pidana sekalipun sangat ringan.[14]Dari penjelasan demikian terlihat bahwa Pasal 9A WvS Belanda, pada hakikatnya merupakan “pedoman pemidanaan” yang dilatabelakangi oleh ide fleksibilitas untuk menghindari kekakuan. Daput pula dikatakan bahwa adanya pedoman pemaafan hakim itu berfungsi sebagai suatu katup/klep pengaman (veiligheidsklep) atau pintu darurat (noodeur).[15]

Sebenarnya bagi beberapa negara, konsep lembaga pemaafan hakim terdengar asing. Hal ini dikarenakan konsepsi pardon/clemency pada umumnya terletak pada kekuasaan eksekutif, bukan pada yudisial.[16] Penempatan pardon/clemency pada kekuasaan eksekutif juga dianut oleh negara Indonesia dengan bentuk amnesti, tetapi peletakkanya pada lembaga yudisial merupakan hal yang baru dan sedikit janggal.[17]

Pardon secara konseptual,filosofis, dan historis.

Terminologi “forgiveness”, “pardon”, “mercy”, clemency”[18] , “indemnity”, dan “amnesty” tidak mempunyai pemaknaan yang kaku (fleksibel),[19] namun secara garis besar dapat dimaknai dengan suatu pengampunan atas perbuatan yang bertentangan dengan legalitas perundangan, dengan dasar keadilan di mayarakat[20]. Sebenarnya secara historis hubungan antara pemidanaan dengan pemaafan (pardon) telah berlangsung sejak code of Hammurabi.[21] Pada code of Hammurabi mengatur akan suatu keseimbangan antara kekakuan legalitas dengan keadilan yang muncul dari masyarakat.

Pada masa romawi, para tentara romawi yang dianggap telah berjasa akan diberikan suatu imunitas dan pemaafan oleh para pengusa romawi (roayal authority).[22]Penggunaan lembaga pemaafan pada masa romawi digunakan secara sewenang-wenang tanpa adanya indikator yang jelas, bahkan digunakan untuk memperkuat kewenangan imperium.Hal ini juga terjadi pada masa Han sebagai emperor Cina yang menggunakan lembaga pemaafan untukseolah-olah memperbolehkan segala tindakan yang bertentangan dengan peraturan demi memperkuat pengaruh kasiar Han.[23]

Penggunaan lembaga pemafaan secara berlebihan, juga terjadi pada negara-negara common law.Salah satu perkara yang menghebohkan ialah pemberian amnesty/pardonoleh King of Charles II kepada Danby selaku prime minister, yang pada saat itu akan di-impeach oleh Parlemen Inggris karena suatu perbuatan tindak pidana.[24] Kejadian ini menjadi sangat aneh karena pada tatanan monarki konstitusional, raja sebagai kepala negara tidak pernah menolak suatu impeachment yang dilakukan parlemen terhadap perdana menteri, tidak hanya itu penggunaan lembaga pemaafan raja untuk menghentikan impeachment menjadi sesuatu yang tidak masuk akal. Selain itu, King of Charles IIjuga pernah menjual pardons/ amnesty seharga 2 shilling[25] kepada setiap pelaku tindak pidana. Perbuatan ini sangat ditentang oleh Luther dan para reformis hukum, yang memandang lembaga pemberian maaf merupakan mesin pencari uang , bukan pencari keadilan.[26]

Kejadian-kejadian di atas telah menimbulkan suatu pandangan klasik yang beranggapan bahwa pardon/amnesti hanya merupakan intervensi dari lembaga eksekutif terhadap pengadilan.Pandangan ini berangkat dari sejarah yang hanya meletakkan lembaga pemafaan pada kekuasaan eksekutif semata.Peletakkan intervensi kekuasaan eksekutif pada lembaga yudisial, ternyata menimbulkan protes di Perancis setelah pasca revolusi Perancis.[27]Maka pada saat revolusi Perancis, lembaga pemaafan telah dihapuskan kerana akan bertentangan dengan alam demokrasi yang mendasarkan segala peraturan melalui lembaga legislatif.

Namun penghapusan atas lemabaga pemaafan/pardon/amnesti tidak berlangsung lama di negara Perancis. Lembaga pemaafan kembali dihidupkan, namun dengan model yang berbeda dengan menyesuiakan pada konsep separation power. Pada konsep ini lebaga pemaafan tidak hanya kepada eksekutif tetapi juga pada lembaga yudisial, sesuai dengan prinsip pemisahan kekuasaan. Salah satu contoh kasus klasik yang terkenal ialah pardons et Chatiments, yang pada saat itu juri sebagai bagian dari lembaga yudisial telah memberikan maaf kepada terdakwa yang terbukti, sehingga menghindarkan terdakwa pada penjatuhan hukuman mati (guillotine).[28]Juri mempunyai suatu kekuasaan untuk menghubungkan antara perbuatan yang dilakukan terdakwa dengan faktor-faktor yang melandasi dilakukannya perbuatan, sehingga sekalipun secara bukti sudah mencukupi tetapi dapat dimaafkan.[29]

Selain negara Perancis dan Belanda[30], Sistem peradilan pidana Portugal juga mengatur mengenai “non imposing of a penalty” atau yang dikenal dengan “dispensa de pena”.[31] Pengaturannya diatur pada Pasal 74 KUHP edisi 2006,yakni:[32]

  1. Terhadap delik yang diancama pidana penjara selama maksimum 6 bulan atau denda tidak lebih dari 120 denda harian
  2. Sifat melawan hukumnya perbuatan dan kesalahan si pelaku sangat kecil (the unlawfulness of the act and the guilt of the agent are minute)
  3. Kerusakan/kerugian telah diperbaiki (The damages have been repaired), apabila ganti rugi belum dilaksanakan maka ditunda selama 1 tahun.
  4. Alasan-alasan pencegahan tidak menghalangi dispensasi pidana ini (Reasons of prevention do not oppose to the dispensation of penalty).

Berdasarkan penjelasan di atas, maka tujuan dispensa de pena tidak hanya untuk menghindari penjatuhan pidana penjara pendek, tetapi juga untuk mencegah pemidanaan yang tidak dibenarkan/diperlukan dilihat dari sudut kebutuhan, baik kebutuhan melindungi masyarakat maupun untuk rehabilitasi si pelaku.

Dengan demikian, tujuan dari adanya lembaga pemafaan hakim terdapat dua hal, yakni:

  1. Dalam rangka alternative penjara pendek (alternative penal measures to imprisonment)
  2. Koreksi judisial terhadap asas legalitas (judicial corrective to the legality principle)

Rechterlijk Pardon Merupakan Bentuk dari Elastisitas/Fleksibilitas Pemidanaan (elasticity flexibility of sentencing) dari KUHP saat ini

Pemafaan merupakan suatu bentuk pengampunan/pembebasan dari kesalahan yang dilakukan.Sebagai bentuk pengampunan, maka dengan adanya pemaafan, seseorang yang bersalah tidak dijatuhi hukuman atau tidak perlu merasakan hukuman.Ketentuan seperti ini pada dasarnya ada dalam pidana bersyarat (voorwaardelijke veroordeling) yang diatur dalam Pasal 14a-14f KUHP.Pidana bersyarat juga disebut oleh sebagaian kalangan dengan istilah pidana percobaaan atau ada juga mengistilahkan dengan sebutan hukuman dengan bersyarat.

Pada prinsipnya, KUHP tidak mengatur tentang pemaafan oleh hakim. Hal ini tidak mengherankan karena KUHP sendiri merupakan sebuah sistem pemidanaan (substantif) yang kakau dan bertolak dari tiga masalah hukum pidana, yaitu (strafbaarfeit), kesalahan (schuld), dan pidana (straf/punishment/poena).[33] Apabila digambarkan menggunakan skema, maka akan terlihat:

Pidana = Tindak pidana +Kesalahan   (Pertanggungjawaban pidana)

Dari formula/model/pola KUHP di atas, tidak tergambar adanya variable tujuan pemidanaan, kerana tidak dirumuskan secara eksplisit dalam KUHP, sehingga terkesan “tujuan” berada diluar sistem. Dengan model demikian, seolah-olah dasar pembenaran atau justifikasi adanya pidana hanya terletak pada Tindak pidana (syarat objektif sebagai dasar pembenar) dan kesalahan (syarat subjektif sebagai dasar pemaaf).[34]Oleh karenanya, seolah-olah pidana dianggap sebagai konsekuensi absolut yang harus ada, apabila kedua syarat ini terbukti.Kerangka berpikir ini memberikan suatu legitimasi bahwa KUHP saat ini bersifat “model kepastian” yang kaku.[35]oleh karena itu RKUHP kedepannya harus tetap mendasari dari sifat “model kepastian”, akan tetapi sifatnya yang saat ini kaku, harus dirubah menjadi fleksibel. Hal ini sebenarnya ditunjukkan untuk menjawab kasus-kasus yang sebenarnya tidak layak untuk dijatuhkan suatu pemidanaan tetapi telah terbukti.Oleh karenanya, masalah tujuan pemidanaan yang kemungkinan diharamkan pada KUHP, sebaiknya diatur secara ekspilsit dalam RKUHP mengingat perannya yang sentral dalam suatu sistem peradilan pidana.Tujuan pemidanaan inilah yang merupakan jiwa/roh/spirit dari sistem peradilan pidana.[36]

Dengan adanya penegasan norma “tujuan pemidanaan” maka akan merubah bentuk skema pemidanaan yang berada di KUHP saat ini. Dengan formula sebagai berikut: Pidana = Tindak Pidana + Kesalahan+ Tujuan Pidana

Apabila model ini diterapkan maka pelaku yang dimaafkan dan tidak dipidana akan mempunyai tempat dalam sistem peradilan pidana. Dengan demikian, ide “pemaafan/pengampunan hakim akan mungkin dapat dilaksanakan oleh Majelis Hakim (dengan catatan RKUHAP juga akan dilakukan harmonisasi atas pengaturan lembaga pemaafan hakim). Dengan dimasukkannya variabel tujuan di dalam syarat pemidanaan, maka menurut konsep RKUHP dasar pembenaran atau justifikasi adanya tindak pidana, tidak hanya pada “tindak pidana” (syarat objektif) dan “kesalahan” (syarat subjektif), tetapi juga pada “tujuan/pedoman pemidanaan”. Dengan mengingat “tujuan dan pedoman pemidanaan”maka dalam kondisi tertentu hakim tetap diberi kewenangan untuk memberi maaf dan tidak menjatuhkan pidana atau tindakan apapun, walaupun “tindak pidana” dan “kesalahan” telah terbukti. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa secara konseptual telah ada pergeseran yang sebelumnya bersifat kaku/absolut berubah menjadi model keseimbangan yang fleksibel.[37]

Dalam penerapannya kedepan maka ada beberapa catatan yakni: Pertama, Lembaga Pemaafan, merupakan suatu elemen penting untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang tidak dapat diakomodir hanya dengan 3 (tiga) jenis putusan (bebas, lepas, dana pemidanaan). Selain itu, lembaga pemaafan dapat dipandang sebagai “penjaga gawang terakhir” atas suatu perkara yang menganggu keadilan di masyarakat. Atau dapat dikatakan sebagai pintu darurat/klep pengaman dari adanya sistem peradilan pidana yang tidak tepat guna.

Kedua, Lembaga pemaafan juga mempunyai 2 tujuan utama, yakni: (1) Dalam rangka alternative penjara pendek (alternative penal measures to imprisonment), dan (2) Koreksi judisial terhadap asas legalitas (judicial corrective to the legality principle)

Ketiga, Ketidakjelasan empat rambu/pedoman/ dalam menjatuhkan putusan pemaafan, yakni (1) ringannya perbuatan, (2) keadaan pribadi pembuat, (3) keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau terjadi kemudian, dan (4) Mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusian

Dan beberapa saran/rekomendasi yang terkait dengan formulasi permaafan hakim pada masa yang akan datang, yaitu:

Pertama, perlu ada penambahan materi dalam RKUHAP terkait dengan permaafan hakim. Hal ini dilatarbelakangi sampai saat ini, belum ada pasal khusus yang mengatur mengenai ketentuan formil permaafan hakim dalam RKUHAP. Dengan tidak adanya ketentuan formilnya dalam RKUHAP, maka dirasakan ketentuan permaafan hakim tidak lengkap;

Kedua, bentuk putusan dari permaafan hakim adalah putusan salah tanpa pidana (a guilty verdict without punishment), hal ini belum diatur dalam RKUHAP, ehingga ada kemungkinan mengkatagorisasi putusan lepas (onstlag) sebagaikonkretisasi dari permaafan hakim. Apabila ini tidak dilakukan, maka lembaga pemaafan hakim hanya akan menjadi Pasal “mati” kedepannya.

Ketiga, Perlu ada penegasan di dalam RKUHP dan perlu diformulasikan dalam bentuk klausul pasal terkait empat rambu-rambu/pedoman/batasan dalam penjatuhan putusan pemaafan. Hal ini bertujuan agar terdapat kepastian bagi hakim, dalam menentukan apakah seorang terdakwa dapat dimaafkan oleh Majelis Hakim.

[1]M.Yahya Harahap, “Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP”, (Jakarta:Sinar Grafika,2006), hlm. 347-354.

[2]Ibid. hlm. 347.

[3] Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), LN No.76 Tahun 1981, TLN No. 3209., Psl. 191 ayat (1) KUHAP

[4]Pengertian dari “tidak memenuhi asas pembuktian menurut undang-undang secara negatif” adalah pembuktian yang diperoleh di perisdangan tidak cukup membuktikkan kesalahan terdakwa dan sekaligus kesalahan terdakwa yang tidak cukup terbukti, tidak diyakini oleh hakim. Sedangkan pengertian “tidak memenuhi asas batas sminimum pembuktian” adalah terkait tidak terpenuhinya minimum 2 (dua) alat bukti di persidangan..

[5]Op.Cit.,Indonesia (1)., Psl. 191 ayat (2)

[6]Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia (Edisi kedua)., (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm 286-287

[7]Pasal 183 KUHAP berbunyi : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang, apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”

[8]non imposing of penalty adalah dimana seoarang terdakwa terbukti bersalah, tetapi tidak dijatuhkan pemidanaan oleh Majelis Hakim. Pengertian dari non imposing of penalty/ Rechterlijk Pardon/ dispensa de pena mempunyai tujuan yang sama, yakni menyatakan seseorang terbukti secara sah dan meyakinkan, namun tidak menjatuhkan pemidanaan. Walaupun pemaknaan secara filosofis dari non imposing of penalty belum tentu didasarkan oleh konsepsi pemaafan hakim (bisa didasarkan hanya dari permasalahan penjara pendek, tetapi ketiganya mempunyai maksud yang sama untuk tidak menjatuhkan pidana sekalipun terdakwa terbukti)

[9]Tim Penyusun Terjemahan, The American Series of Foreign Penal codes ( 30 Netheralands), (Colorado: Fred B Rothman & Co, 1997). Hlm. 38.

[10]Andi Zainal Abidin dan Andi Hamzah, Pengantar Dalam Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: Yarsif Watampone, 2010), hal 170-171. Dalam Bahasa Belanda “Indien de rechter dit raadzaam acht in verband met de geringe ernst van het feit, de persoonlijkheid van de dader of de omstandigheden waaronder het feit is begaan, dan wel die zich nadien hebben voorgedaan, kan hij in het vonnis bepalen dat geen straf of maatregel zal worden opgelegd.”

[11]Marguery, T.P,Doctoral ThesisUnity and diversity of the public prosecutot services in Europe: A Study of the Czech, Dutch, French, and Polish System.,(disertasi, Fakultas Hukum Universitas Gronigen,2008), hlm. 104.

[12]Lembaga baru ini memberikan kewenangan kepada hakim untuk memberi maaf pada seseorang yang bersalah melakukan tindak pidana yang sifatnya sangat ringan (tidak serius), dan /atau mempunyai keadaan ringan atas perbuatannya. Pemberian maaf ini dicantumkan dalam putusan hakim dan tetap harus dinyatakan bahwa terdakwa terbukti melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya.. Lihat Tim Penyusun RKUHP, Laporan Kegiatan Tim Pengkajaian/Rancangan Undang-Undang Bidang HUkum Pidana Bagian Penjelasan., (Jakarta:Tidak diterbitkan, 1991) Psl. 48 ayat (2).

[13]Nico Keizer dan D. Schaffmeister, Beberapa Catatan Tentang Rancangan Permulaan 1998 Buku I KUHP Baru Indonesia (Belanda: Driebergen/valkenburg,1990), hlm.55.

[14]Tim Penyusun RKUHP, Naskah Akademis RKUHP (edisi 25 Februari 2015).,(Jakarta: BPHN (Badan Pembinaan Hukum nasional&Menkumham, 2015). Hlm. 23.

[15]Ibid.,hlm.23. Selain itu, terdapat beberapa pandangan akademisi akan Rechterlicht Pardon:

  1. Jan Remmelink berpendapat bahwaketentuan mengenai rechterlijk pardon pada awalnya tercakup dalam KUHAP Belanda yang dapat dimaknai sebagai suatu pernyataan bersalah, tanpa penjatuhan pidana, yang berupa pengampunan (permaafan) oleh/atas kuasa hakim kanton (hakim tingkat rendah).Ditambahkan oleh Remmelink bahwa dalam permaafan hakim, maka akan dipertimbangkan kecilnya makna tindak pidana yang dilakukan, serta situasi dan kondisi yang melingkupi pelaksanaanya, sehingga dengan ini hakim kanton dapat memutuskan untuk tidak menjatuhkan pidana dalam vonisnya (putusan). Lihat Jan Remmelink, Hukum Pidana Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal 456.
  2. Andi Hamzah berpendapat bahwa Rechterlicht Pardondalam pasal 9a WvS , hakim dapat tidak menjatuhkan pidana atau tindakan yang berarti, hakim mungkin juga menjatuhkan pidana. Hal ini merupakan pengaruh dari paham subsosiolitas (subsocialiteit). Menurut paham ini, apabila suatu perbuatan merupakan suatu delik, akan tetapi secara sosial kecil artinya, maka tidaklah perlu dijatuhkan pidana atau tindakan.Pada mulanya, unsur subsosialitas muncul dalam negara- negara sosialis seperti Cina dan Rusia.. Lihat Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hal 137.
  3. Jeroen Chorus berpendapat bahwa Dalam beberapa perkara pidana, pengadilan dapat memutuskan untuk tidak menjatuhkan sanksi apapun. Hal ini dapat dilakukan dengan alasan yang meliputi kejahatannya tidak serius, keadaan pribadi, keadaan personal ketika terjadi perbuatan. Dalam hal pengadilan tidak menjatuhkan suatu sanksi kepada terdakwa, maka putusannya adalah bersalah tanpa pidana (a guilty verdict without punishment. LIhat Jeroen Chorus, Piet-Hein Garver, Ewoud Hondius (ed), Introduction to Dutch Law, (Netherland: Kluwer International Law, 2006), hal 420.

[16]Hanya sedikit negara yang mengatur Judicial Pardon, diantaranya: (1) Belanda, (2) Perancis, (3) Portugal, (4) Greenland, (5) Somalia, (6) Uzbekistan, dan (7) Yunani. Terkait pembahasan komparatif akan dikaji pada poin berikutnya.

[17]Hal ini baru dimasukkan di Indonesia pada konsep RKUHP tahun 1991-1992, sebelumnya hal belum diatur . sedangkan diberbagai Negara, pengaturan akan lembaga pemaafan hakim baru dimasukkan pada sekitaran tahun 1970.

[18]Clemencydiartikan dengan Pemidanaan yang dibatalakan , sedangkan pardon mempunyai pengertian kejahatan yang dimaafkan. Kendati dua hal tersebut mempunyai tujuan yang sama , tetapi pemaknaannya sedikit berbeda. Lebih lanjut lihat Mardjono reksodiputro, renungan Perjalanan reformasi Hukum ( Ambivalensi dan Ketidakpastian hukum). (Jakarta: Komisi Hukum Nasional, 2013). Hlm. 148

[19]Lembaga pengampunan bukanlah suatu upaya hukum (rechtsmiddel) dalam hukum acara pidana, dan arena itu bukanlah suatu hak yang diberikan kepada terdakwa maupun penuntut umum. Sedangkan pengampunan mempunyai tujuan lain, yakni meniadakan pelaksanaan akibat hukum pidana, apabila hukum yang berlaku untuk suatu peristiwa hukum tertentu dapat menimbulkan ketidakadilan. Oleh karenanya, meskipun asasnya adalah hukum harus ditegakkan , namun untuk hal yang khusus itu diberikan maaf (forgiveness) dengan tidak melaksanakan hukum. Lihat Mardjono Reksodiputro, Menyelaraskan pembaharuan Hukum ( Pemberian Abolisi Dalam perkara Mantan presiden Soeharto Tidak logis: benarkah itu)., (Jakarta: Komis Hukum Nasional RI, 2009), hlm. 67.

[20]David Tait, Pardons in Perspective: The role of Forgiveness in criminal justice, termuat dalam Federal Sentecing Reporter, 2000. hlm. 6.

[21]King, Hammurabis code of laws, http://eawc.evansville.edu/anthology/hammurabi.htm. tanggal akses 13 Oktober 2015

[22]Rolph, The queen’s pardon, (Edisi Pertama).,(Southampton: Littlehampton Book Services Ltd, 1978)., hlm. 83.

[23] McKnight, The Quality of mercy strained: Wrestling the Pardoning Power From the King.,(Honolulu: University Press of Hawaii, 1981). Hlm.238.

[24]Ibid., hlm.21.

[25] Shilling adalah koin yang digunakan oleh United Kingdom pada jaman dahulu untuk melakukan perdagangan yang jika ditaksir senilai 20 pounds.

[26]Hewitt,The queen’s Pardon.,(London: Casell,1978) hlm. 174.

[27]Op.cit.,David Tait., hlm. 3.

[28]Gruel, Pardons et Chatiments: Les Jures Francais Face aux Violences Criminelles (terjemahan dalam bahasa inggris). ( Paris: Nathan, 1994 (terjemahan)) hlm. 35.

[29]Lihat perkara pembunuhan Anne Pasquio di Perancis

[30]Terdapat beberapa negara lainnya yang mengatur akan lembaga pemaafan hakim, yakni:

  1. Negara Yunani mengatur tentang “non imposing of a penalty” dalam Pasal 302 ayat (2) dan Pasal 314 ayat (2) Penal code;
  2. Negara bagian Greenland mengatur tentang “The court may abstain from iposing any sanction dalam Pasal 86 ayat (1) KUHP Greenland diunduh dari i www.somalilandlaw.com/Penal_Code_English.pdf
  3. Negara Somalia mengatur pada Pasal 147 ayat (1) dan ayat (2) yang berbunyi: “Where, in the case of an offence committed by a person under 18 or over 70 years of age, the applicable punishment is imprisonment for a maximum term of not more than three years or a pecuniary punishment, or both, the judge may abstain from entering conviction and grant judicial pardon where, having regard to the cirmcumstances referred do in article 110, he considers the offender will not commit any further offence. A judicial pardon shall extinguish the crime.”Selanjutnya pada pasal 147 ayat (2) KUHP Somalia mengatakan “a judicial pardon may not be granted more than once”. KUHP Somalia diunduh dari http://www.somalilandlaw.com/criminal_procedure_law.html
  4. Negara Uzbekistan mengatur pada Pasal 70 yang berbunyi: A person, who committed a crime, may be discharged from penalty, in the instance if it is recognized that by the time of investigation or trial, due to changes of situation, or the person’s irreproachable conduct, bona fide labor or study, has lost his socially dangerous nature.” (Seseorang yang melakukan tindak pidana, dapat dibebaskan dari hukuman apabila dari perbuatan yang telah dilakukan, telah kehilangan bahaya sosialnya). KUHP Uzbekistan diunduh dari http://www.unhcr.org/refworld/publisher,NATLEGBOD,,UZB, 3ae6b59216,0.html

Lihat pula Muhammad Iftar Aryaputra, Pemaafan Hakim Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia.,(Depok, Tesis Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013)., hlm. 158

[31]Enio Ramalho, William Theudo Gilman, The Portuguese Penal Code, (Lisbon: Verbo Juridico, 2006)., Psl. 74 Lihat Pula Op.cit. Barda., hlm. 288.

[32] Lihat Pula Op.cit.,Barda., hlm. 288.

[33]Op.cit.,Tim Penyusun RKUHP Naskah Akademis RKUHP., hlm. 18. Lihat pulaSaur menyebutnya sebagai “trias hukum pidana” (berupa sifat melwan hukum, kesalahan, dan pidana) dan Pecker menyebutnya sebagai “the three concept” atau “the three basic problems”(berupa Offence, guilt, dan punishment)” Herbert L. Packer, the Limits of The Criminal Sanction, ( Stanford: Stanford University Press, 1968).,hlm.17. Sebagaiman dikutip dari Barda Nawawi, Tujuan dan Pedoman Dalam Konsep RUU KUHPtermuat dalam Mardjono Reksodiputro (Pengabdian Seoarang Guru Besar Pidana).,(Depok: Badan Penerbit FHUI, 2007)., hlm. 63.

[34]Ibid.

[35]Ibid.

[36]Ibid.

[37]Marcus Priyo Gunarto, Asas Keseimbangan Dalam Konsep Rancangan Undang-Undang Kitab Undang Hukum Pidana, Jurnal Mimbar Hukum UGM, Volume 24 Nomor 1 Februari 2012, hlm 86-96.

Leave a Reply