Reformulasi Mengancam Kebebasan Berpendapat
Reformulasi pasal penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dan pemerintah dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana masih mengancam praksis kebebasan berpendapat. Atas dasar itu, pasal penghinaan diusulkan diperjelas atau sekaligus dihapuskan supaya tidak menjadi pasal ”karet” yang membungkam pengkritik Presiden.
Reformulasi pasal penghinaan Presiden atau Wakil Presiden di RUU KUHP oleh pemerintah adalah menambahkan Ayat 2 pada Pasal 263 RUU KUHP. Ayat 2 menjelaskan, pernyataan tidak termasuk penghinaan jika dilakukan untuk kepentingan umum dan pembelaan diri.
Adapun pasal penghinaan terhadap pemerintah pada Pasal 284 dan 285 RUU KUHP direformulasi menjadi delik materiil dari semula delik formil. Hal ini membuat penghinaan harus menimbulkan akibat baru unsur tindak pidananya terpenuhi, misalnya memicu konflik.
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat, Shinta Agustina, dalam seminar bertajuk ”Evaluasi dan Pembaruan Hukum Pidana Nasional”, yang digelar Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat, mengatakan, pembuktian kritik seseorang pada Presiden atau Wakil Presiden dilakukan untuk kepentingan umum dan pembelaan diri atau tidak, dilakukan di pengadilan. Artinya orang tersebut tetap harus menjalani proses hukum.
Dengan kata lain, meskipun sudah direformulasi, masih bisa dipakai membungkam pandangan-pandangan kritis terhadap kinerja Presiden atau Wakil Presiden. Shinta mengusulkan, pasal penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dihapus saja dari RUU KUHP. Terlebih putusan Mahkamah Konstitusi telah mencabut pasal penghinaan.
Membungkam
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Lampung Sunarto meminta, pasal penghinaan diperjelas agar tidak menjadi pasal ”karet” untuk membungkam mereka yang memiliki pandangan kritis pada pemerintah. Salah satu yang perlu dijelaskan adalah definisi keonaran pada Pasal 284 dan 285.
Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Enny Nurbaningsih mengatakan, pasal penghinaan diputuskan tetap ada karena pemerintah melihat hal itu diperlukan untuk melindungi martabat dan kewibawaan lembaga negara. ”Pasal ini sama sekali bukan untuk menghilangkan kebebasan berpendapat,” ujarnya.
Anggota Panja RUU KUHP DPR, Taufiqulhadi, mengatakan, Presiden, Wakil Presiden, dan pemerintah harus dijaga kewibawaannya sehingga pasal penghinaan dinilainya masih diperlukan di RUU KUHP. Taufiqulhadi mengingatkan, masih banyak hal yang harus dirinci untuk menutup celah disalahgunakan mengancam kebebasan berpendapat. ”Jangan sampai pernyataan mengkritik pemerintah justru dikategorikan penghinaan dan dipidana,” ujarnya.
Sumber: http://nasional.kompas.com/read/2016/08/25/20022801/reformulasi.mengancam.kebebasan.berpendapat