RKUHP Ancam Agenda Pembangunan Berkelanjutan (SDG’s)

Acara Konsultasi Nasional dalam Panel IV yang diselenggarakan oleh Aliansi Nasional Reformasi KUHP pada 3 Mei 2018 di Hotel Sari Pan Pacific Jakarta mengusung tema : “Meneropong Korelasi Pembaruan Hukum Pidana dengan Agenda Pembangunan Berkelanjutan (SDG’s)”. Hal ini dilatarbelakangi bahwa Hak atas pembangunan adalah hak asasi manusia yang tak dapat dicabut. Berdasarkan hak ini, maka setiap manusia dan semua orang berhak untuk berpartisipasi, berkontribusi, dan menikmati pembangunan ekonomi, sosial, budaya dan politik sehingga semua hak asasi manusia dan kebebasan fundamental dapat terjamin.

 

Dalam konteks ini, RKUHP dapat mengancam hak atas pembangunan karena tindak pidana yang dirumuskan di dalamnya justru mengarah pada kelompok rentan sehingga mereka terdiskriminasi dalam menikmati manfaat pembangunan. RKUHP justru menghalangi kewajiban negara untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi perwujudan hak atas pembangunan. Overkriminalisasi dalam RKUHP akan berpotensi meningkatkan alokasi anggaran untuk melaksanakan proses peradilan dari tahapan penyidikan sampai tahapan pelaksanaan eksekusi di lembaga pemasyarakatan.

 

Apabila menggunakan pendekatan analisis ekonomi dengan menekankan kalkulasi analisis keuntungan dan kerugian (cost-benefit ratio) terhadap hukum, maka pendekatan hukum pidana klasik berupa penjeraan ternyata merugikan perekonomian negara secara signifikan. Oleh karena itu, seluruh potensi pembiayaan yang berasal dari anggaran publik untuk memproses tindak pidana, apabila dialihkan dan didistribusikan untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan (SDG’s). Dengan itu, penikmatan hak asasi manusia, khususnya kelompok rentan dapat terealisasi. Paling tidak terdapat sekitar enam tujuan dari SDGs yang berkaitan dengan jaminan penikmatan hak-hak kelompok rentan yang dapat direalisasikan melalui pengalihan potensi pembiayaan proses penanganan tindak pidana, apabila RKUHP disahkan.

 

Keenam tujuan SDGs tersebut meliputi : (1) Tujuan 1 tentang pengurangan kemiskinan, (2) Tujuan 3 tentang kesehatan dan kesejahteraan yang baik; (3) Tujuan 5 tentang kesetaraan gender; (4) Tujuan 8 tentang pekerjaan yang layak dan pertumbuhan ekonomi; (5) Tujuan 10 untuk mengurangi ketidaksetaraan; dan (6) Tujuan 16 tentang perdamaian, keadilan, dan institusi yang kuat.

 

Pembicara Panel IV, Roby Arya Brata (Sekretariat Kabinet RI) memaparkan bahwa Pendekatan Regulatory Impact Assesment (RIA) seharusnya dilakukan terhadap pemberlakuan RKUHP di masa depan dan dampaknya pada Pencapaian SDG’s. Selain itu, Roby merekomendasikan seharusnya dalam perumusan RKUHP ini berkoordinasi dengan Menteri Koordinator Politik dan Hukum dan harus membuka konsultasi publik seluas-luasnya, untuk memastikan bahwa RKUHP :

  1. Tidak melanggar peraturan yang sudah ada,
  2. Telah matang, jelas, tepat sasaran,
  3. Sejalan dengan mendukung kebijakan presiden atau Kementerian atau Lembaga (K/L) yang ada, tidak boleh menegasikan pekerjaan yang sudah dilakukan K/L lain
  4. Telah mempertimbangkan langkah-langkah antisipasi atas dampak dan risiko yang akan ditimbulkan

 

Berdasarkan hal tersebut, RKUHP dirasa masih menimbulkan tanda tanya. Beberapa contoh misalnya pengaturan kriminalisasi pada perilaku seksual diluar nikah yang akan mengancam kegagalan tercapainya Tujuan 1 tentang pengurangan kemiskinan. Hal ini berdasarkan Data Bappenas 2013 dan 2014, bahwa 55% pasangan di rumah tangga miskin tidak memiliki bukti nikah dan 40-50 juta masyarakat adat dan penghayat kepercayaan sulit mengakses pencatatan perkawinan. Kriminalisasi ini akan mengakibatkan kelompok miskin dan kelompok rentan terjebak dalam lingkaran kemiskinan. Dengan demikian, Tujuan 1 tentang pengurangan kemiskinan justru akan berpotensi gagal dicapai oleh Negara Indonesia.

 

Menurut Aliansi Nasional Reformasi KUHP, RKUHP juga bertentangan dengan Tujuan 3 dalam Tujuan Pembangunan Bekelanjutan (SDG’s) yang telah ditetapkan dalam Peraturan Presiden No 59 tahun 2017. Tujuan 3 yakni Menjamin kehidupan yang sehat dan meningkatkan kesejahteraan seluruh penduduk semua usia. Dalam Tujuan 3, pada tahun 2030, tujuannya yakni mengakhiri epidemi AIDS, tuberkulosis, malaria, dan penyakit tropis yang terabaikan, dan memerangi hepatitis, penyakit bersumber air, serta penyakit menular lainnya. RKUHP juga bertentangan juga dengan sasaran nasional Rencana Pembangungan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 poin 3.1 yakni Menurunnya prevalensi HIV pada populasi dewasa tahun 2019 menjadi <0,5% (2014: 0,46%).

Segala kebijakan pidana untuk menghukum atau mengkriminalisasi perbuatan menunjukkan alat pencegah kehamilan justru kontraproduktif juga dengan program pemerintah yakni program Keluarga Berencana (KB) serta tidak akan pernah menyentuh akar permasalahan penyebaran HIV/AIDS dan Kesehatan Reproduksi. Kriminalisasi masyarakat tanpa kajian yang berbasis bukti (evidence based policy) atau justru akan memperparah proses penanggulangan HIV/AIDS yang selama ini gencar dilakukan Pemerintah melalui pendekatan program Kesehatan. Melakukan kriminalisasi terhadap perilaku seksual dan alat pencegah kehamilan dapat menimbulkan iklim ketakutan di tengah-tengah masyarakat yang akhirnya membuat masyarakat takut untuk mengakses layanan kesehatan karena takut untuk dipidana.

 

Data dari Nielsen Advertising Expenditure menunjukkan bahwa belanja iklan Kementerian Kesehatan selalu menduduki peringkat pertama dari sektor pemerintah yaitu sebesar 569 Milyar di 2016 dan meningkat sebesar 702 Milyar di 2017. Bila pembatasan pemberian informasi alat pencegah Kehamilan dalam RKUHP diberlakukan, maka bukan tidak mungkin Kementerian Kesehatan diprediksi akan memerlukan anggaran lebih dari 1 Trilyun per tahun hanya untuk belanja iklan. Melonjaknya anggaran sosialisasi ini disebabkan peran serta masyarakat serta peran sektor swasta dalam penyebaran informasi terkait kesehatan reproduksi khususnya alat pencegah kehamilan tereduksi oleh sanksi dan hukuman bagi yang menunjukkan alat pencegah kehamilan sebagaimana diatur dalam RKUHP dan hanya bertumpu pada sosialisasi yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan. Pada akhirnya, akses terhadap program KB yang bertujuan untuk mencegah kematian pada perempuan dan meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan perempuan di Indonesia menjadi terancam. Dengan kata lain, RKUHP yang ada dapat mengancam keselamatan perempuan di Indonesia dan mengancam keberlanjutan program pembangunan negara Indonesia, terutama Tujuan 3 SDG’s.

 

Roby Arya Brata merekomendasikan RKUHP yang mendapat kritik berisi kebijakan yang overkriminalisasi perlu dipertanyakan apakah pencantuman kebijakan kriminal ini sudah berdasarkan penelitian berbasis bukti (evidence based policy) atau tidak, serta harus memiliki dilakukan pengujian Regulatory Impact Assesment dan Cost and Benefit-nya. Proses pembuatan atau penyusunan kebijakan berbasis evidence based policy harus dilakukan dengan cermat dan tidak dilakukan pengambilan kebijakan dengan terburu-buru. Lebih lanjut, menurut Roby, proses evidence based policy tidak akan menghambat produktifitas DPR dan Pemerintah. Karena RKUHP ini memiliki konsekuensi untuk harus sejalan dan sinergi dengan tujuan pembangunan berkelanjutan yang menjadi komitmen negara Indonesia.

 

Sejalan dengan itu, Aliansi Nasional Reformasi KUHP juga mengingatkan agar Pemerintah dan DPR dalam membahas RKUHP untuk segera melibatkan kementerian dan lembaga terkait, khususnya yang berhubungan dengan kepentingan pemerintah untuk mencapai tujuan SDGs. Pembentukan RKUHP yang sangat berperspektif punitive dan mengdepankan perspektif pemidanaan jelas akan mengenyampingkan kepentintangan pemerintah sendiri guna menjamin tercapainya komitmen SDGs, yang pada ujungnya demi kesejahteraan masyarakat.

Leave a Reply