RKUHP Kecualikan Korban Pemerkosaan yang Lakukan Aborsi dari Ancaman Pidana

JAKARTA, KOMPAS.com – Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang masih dalam proses revisi mengatur pengecualian korban pemerkosaan dan perempuan yang memiliki indikasi kedaruratan medis dari ancaman pidana. Hal tersebut diungkapkan oleh Tim Perumus RKUHP Harkristuti Harkrisnowo di dalam diskusi Publik Pengaturan Aborsi dalam Upaya Pembaruan KUHP secara virtual, Jumat (22/4/2022). “Di kita sederhana, perempuan yang melakukan aborsi pidana selama empat tahun. Akan tetapi membuat pengecualian, kecuali perempuan yang merupakan korban pemerkosaan dengan usia kehamilan tidak lebih dari 12 minggu atau memiliki indikasi kedaruratan medis,” ujar Harkristuti.

Ketentuan di dalam RKUHP tersebut berbeda dengan aturan terkait aborsi di dalam KUHP yang saat ini masih berlaku. Pada Pasal 346 KUHP disebutkan, wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun. “Kata aborsi di dalam KUHP di dalamnya tadinya tidak ada, tadinya menggunakan pengguguran kandungan. Kemudian berdiskusi dengan teman-teman kedokteran, kandungan itu tidak digugurkan tetapi bayi di dalamnya, akhirnya menggunakan istilah aborsi sesuai dengan dimaknai di bidang kesehatan,” jelas Harkristuti. Ia pun menjelaskan, ketentuan batasan usia kandungan tidak lebih dari 12 minggu merupakan ketentuan yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) serta hasil kompromi dengan tim kedokteran serta berbagai organisasi masyarakat sipil. B

Berdasarkan hasil kompromi tersebut, diputuskan pada 12 minggu pertama kehamilan merupakan saat yang dianggap masih aman untuk melakukan aborsi. Selain itu, di dalam RKUHP Pasal 468 Ayat (1) diatur pidana bagi setiap orang yang melakukan aborsi terhadap seorang perempuan yakni pidana penjara lima tahun. Adapun pada Ayat (2) dijelaskan, bila aborsi dilakukan tanpa persetujuan perempuan, maka hukuman pidana penjara diperberat menjadi 12 tahun. Adapun pada Ayat (3) pasal yang sama disebutkan, bila perbuatan aborsi dengan persetujuan perempuan tersebut mengakibatkan matinya perempuan, maka pidana diperberat paling lama delapan tahun. Sementara, bila aborsi tanpa persetujuan mengakibatkan perempuan yang diaborsi meninggal, maka hukuman diperberat menjadi 15 tahun penjara.

Sementara itu, pada KUHP Pasal 348 disebutkan, pelaku yang menggugurkan atau mematikan kandungan wanita dengan persetujuannya diancam pidana paling lama 12 tahun. Sementara bila perbuatan aborsi mengakibatkan perempuan meninggal, maka pidana penjara diperberat menjadi 15 tahun. “Jadi di dalam RKUHP, kalau perempuan aborsi tanpa alasan bisa kena empat tahun, yang melakukan aborsi bisa kena lima tahun, kalau tanpa persetujuan bisa kena 12 tahun penjara, karena diduga terjadi walau tidak terlalu banyak,” jelas Harkristuti. Untuk diketahui, pemerintah masih dalam tahap penyusunan RKUHP sebelum akhirnya akan diusulkan untuk dibahas bersama DPR.

Terakhir, Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej menyatakan, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKHUP) bakal disahkan paling lambat pada Juni 2022. Eddy, sapaan akrab Edward, mengaku sudah berkoordinasi dengan Komisi III DPR dan mendapat kepastian bahwa RKUHP akan disahkan pada Juni 2022. “Kami sudah kemarin bertemu intensif dengan Komisi III sebagai mitra dari Kementerian Hukum dan HAM, paling lambat Juni sudah harus disahkan,” kata Eddy dalam rapat pembahasan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS), Senin (4/4/2022).

Sumber berita klik di sini.

Leave a Reply