Tarik Tindak-tindak Pidana Khusus dari RKUHP!
Pada 30 Mei 2018, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Bambang Soesatyo, memberikan dukungannya untuk menyelesaikan dan mengesahkan RKUHP pada bulan Agustus 2018. Percepatan pembahasan RKUHP ini memunculkan pertanyaan kritis dari publik, mengingat masih banyaknya permasalahan dalam perumusan pasal-pasal di dalam RKUHP.
Dari 22 tindak pidana khusus yang pengaturannya diatur di luar KUHP, 14 jenis tindak pidana khusus masuk ke dalam rumusan delik RKUHP per 8 Maret 2018. Keempatbelas delik khusus tersebut adalah, narkotika, kejahatan siber, pencucian uang, korupsi, pelanggaran HAM berat, lingkungan hidup, perdagangan orang, kekayaan intelektual, pemilu, terorisme, KDRT, pelayaran, anak, dan konsumen.
Secara umum, ada 4 (empat) catatan kritisterkait delik-delik khusus yang dimasukkan ke dalam RKUHP. Pertama, diskresi aparat penegak hukum dalam menerapkan pasal pidana akan semakin besar, apalagi ada penyesuaian sanksi pidana pada masing-masing tindak pidana utama (core crimes) yang diatur dalam RKUHP, dengan UU asal. Kedua, ada inkonsistensi dari pembuat UU dalam menentukan jenis pidana khusus apa yang dimasukkan atau tidak dimasukkan dalam RKUHP. Hal ini terbukti dari 14 jenis tindak pidana khusus yang dimasukkan, dari 22 jenis tindak pidana khusus yang pengaturannya berada di luar KUHP yang berlaku sekarang.
Ketiga, rumusan ketentuan pidana di dalam RKUHP, khususnya tindak pidana khusus, belum memperhatikan elemen gender. Di dalam sistem hukum yang corak patriarkismenya masih dominan seperti Indonesia, penting memiliki RKUHP yang mengandung unsur pengakuan gender (gender recognition) yang kuat. Hal ini berarti bahwa hukum Indonesia akan bisa mengakui, melihat dan memahami bahwa keterlibatan perempuan di dalam sebuah tindak pidana khusus mengandung karakteristik yang khusus terjadi karena peran gendernya.
Keempat, fakta bahwa masih terdapat penolakan dari berbagai lembaga negara seperti Komnas HAM, KPK, dan BNN terkait penempatan tindak pidana khusus di dalam RKUHP menunjukkan bahwa pembahasan RKUHP tidak perlu dikebut. Di samping itu, penolakan tersebut juga hendaknya dibaca sebagai penyangkalan atas pernyataan DPR dan Pemerintah bahwa RKUHP hampir rampung.
Pada pernyataan media ini, Aliansi menganalisis paling tidak 4 (empat) tindak pidana khusus yang akan terganggu dan bahkan mandul penerapannya, manakala tindak-tindak pidana khusus tersebut dimasukkan ke dalam RKUHP. Kelima jenis tindak pidana khusus tersebut adalah, narkotika dan psikotropika, lingkungan hidup, korupsi, dan pelanggaran HAM berat.
Narkotika dan Psikotropika
Narkotika dan psikotropika adalah masalah yang dinamis
Masalah narkotika adalah masalah yang sangat dinamis, hal ini terlihat dari perkembangan secara internasional yang selalu berubah, sedangkan RKUHP (nantinya KUHP) bersifat lebih kaku dengan pendekatan pidananya.
Perbedaan pendekatan antara UU Narkotika – RKUHP
Pendekatan penyelesaian masalah narkotika dengan UU 35/2009 didasarkan salah satunya dengan pendekatan kesehatan masyarkat, RKUHP mengedepankan pendekatan punitif khususnya bagi pengguna narkotika.Pendekatan penghukuman (punitive approach) terhadap pengguna narkotika telah terbukti gagal menangani permasalahan narkotika.
Selain itu, ketentuan rehabilitasi dalam RKUHP ditempatkan pada skema penghukuman, hal ini bertentangan dengan UU 35/2009 yang menempatkan rehabilitasi tidak semata-mata penghukuman namun juga tanggungjawab negara dan hak dari pengguna.
Tidak ada perbaikan pasal-pasal yang dimasukkan ke dalam RKUHP
RKUHP masih memuat ketentuan pasal karet yang diadopsi langsung dari UU 35/2009, tidak ada perbaikan yang lebih memadai.Padahal jika menelisik UU 35/2009 masih banyak terdapat ketimpangan didalamnya, sehingga saat ini juga sedang dirumuskan RUU Narkotika tersebut.
Pengaturan narkotika dalam RKUHP tidak sensitif terhadap pendekatan tertentu
Pengaturan narkotika dalam RKUHP selain akan kembali memfokuskan pada pendekatan pemidanaan, juga akan menghilangkan banyak pendekatan yang perlu “ditempelkan” dengan pengaturan pidana. Misalnya memastikan anak dan perempuan korban dari peredaran gelap narkotika tidak dapat secara serta merta dipidana tanpa melihat faktor-faktor lain lebih dekat.
Penggolongan narkotika yang dipisahkan dari UU Narkotika akan menimbulkan kebingungan
Tindak pidana narkotika bersifat administratif dimana banyak ketentuan seperti penggolongan narkotika yang bergantung pada pengaturan di UU atau aturan lain, sehingga pengaturannya sulit untuk dipisahkan atau akan menimbulkan kebingungan. Kondisi ini juga bertentangan dengan tujuan dari modern codification yakni untuk mendesain dan memsimplifikasi peraturan perundangan dengan maksud memudahkan praktisi hukum.
Pengubahan bentuk perundangan yang bersifat menghukum kontra produktif dengan Stranas tentang Penanggulangan HIV dan AIDS
Dalam Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019 Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia, ditetapkan Target Tujuan 5 mengenai Penciptaan Lingkungan yang Mendukung. Berdasarkan target tujuan ini, pemerintah bersama dengan masyarakat sipil harus berperan secara signifikan dalam upaya penanggulangan HIV-AIDS. Mengubah aturan perundangan yang bersifat menghukum akan kontraproduktif dan menghambat akses dan menimbulkan permasalahan hak asasi manusia serta ketidaksetaraan gender, stigma, dan diskriminasi pada populasi kunci dalam penanggulangan AIDS. Pengguna narkotika adalah salah satu populasi kunci yang harus didudukung dan diperhatikan.
Pengaturan pasal-pasal narkotika dalam RKUHP beresiko besar menghambat akses layanan kesehatan bagi pengguna narkotika
Muara dari pemenjaraan adalah penempatan pengguna narkotika di Rutan dan Lapas selama proses pemidanaan, ketentuan dalam RKUHP yang mengisyaratkan rehabilitasi dijatuhkan dalam bentuk hukuman (putusan pengadilan) mengakibatkan resiko besar bagi akses layanan kesehatan. Meningkatnya jumlah narapidana dan tahanan yang berdampak pada menurunnya kualitas hidup penghuni lapas dan rutan serta diperburuk ketidakmampuan Lapas dan Rutan untuk menyediakan akses kesehatan akan menjadi masalah yang semakin besar.
Pendekatan pidana yang sangat kental dalam RKUHP akan mengganggu pekerjaan yang sudah dilakukan oleh lembaga dan kementerian terkait serta masyarakat sipil, utamanya ke persoalan penanganan pengguna narkotika.
Korupsi
KPK akan kehilangan kewenangan dalam menindak perkara korupsi
Mandat penindakan KPK adalah UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Hal tersebut diatur dalam Pasal 1 ayat (1) UU 30 Tahun 2003 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK). Meskipun Pasal 729 RKUHP membuka peluang kewenangan lembaga-lembaga independen tetap berwenang menangani tindak pidana khusus, namun Pasal 723 RKUHP kembali mementahkan kekuatan Pasal 729 RKUHP.
Pidana denda menurun drastis
Pada draf per tanggal 8 Maret 2018, penjatuhan pidana denda pada tindak pidana korupsi menjadi sangat rendah dibandingkan dengan pada UU Tipikor. Hal ini diperparah dengan pemberlakuan Pasal 63 ayat (2) RKUHP yang menentukan jika pidana denda dan pidana badan dijatuhkan secara kumulatif, maka pidananya tidak boleh melampaui separuh batas maksimum kedua jenis pidana pokok yang diancamkan tersebut. Artinya, penjeraan yang dimaksudkan untuk dicapai pada UU Tipikor terhadap para terdakwa korupsi, tidak tercapai.
Pengadilan Tipikor akan mati suri
Serupa dengan alasan pertama terkait KPK, Pengadilan Tipikor juga berpotensi mati suri jika delik korupsi masuk dalam RKUHP. Dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor pada intinya menyebutkan bahwa Pengadilan Tipikor hanya memeriksa dan mengadili perkara tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam UU Tipikor. Dengan demikian jika tindak pidana korupsi diatur dalam KUHP maka kasusnya tidak dapat diadili oleh Pengadilan Tipikor dan hanya dapat diadili di Pengadilan Umum. Sebelum Pengadilan Tipikor dibentuk, Pengadilan Umum dikenal sebagai institusi yang banyak membebaskan koruptor.
Pidana terhadap pelaku percobaan, pembantuan, dan permufakatan jahat korupsi pada RKUHP lebih rendah daripada UU Tipikor
Pidana bagi pelaku percobaan, pembantuan, dan permufakatan jahat di RKUHP berbeda dengan UU TPK, padahal salah satu bentuk kekhususan UU TPK adalah pemberatan bagi para pelaku.Itulah mengapa bentuk percobaan, pembantuan, dan permufakatan jahat dalam UU Tipikor berbeda dengan KUHP, yaitu dipidana sama dengan pelaku pidana
RKUHP tidak mengenal bentuk pidana tambahan uang pengganti seperti yang ada di UU Tipikor
Tidak ada pidana tambahan uang pengganti, padahal mekanisme pidana tambahan uang pengganti harus dipandang sebagai upaya pemulihan aset negara (asset recovery), sebagai salah satu bentuk dan kriteria penting dari tindak pidana korupsi.
Lingkungan Hidup
Rumusan tindak pidana lingkungan hidup dalam RKUHP merupakan suatu kemunduran karena tidak berspektif lingkungan, selain itu rumusan tersebut juga:
1) kembali ke rumusan tindak pidana lingkungan hidup yang diatur pada UU 23/1997 dengan dicantumkannya unsur melawan hukum dan perumusan delik formil yang menyaratkan akibat;
2) mengatur dumpingyang berpotensi overkriminalisasi;
3) tidak memiliki sanksi minimum khusus yang dapat mengakibatkan disparitas pemidanaan;
4) mengatur larangan penerapan bioteknologi/rekayasa genetika walaupun diatur di luar bab tindak pidana lingkungan hidup berpotensi overkriminalisasi karena dapat mengganggu perkembangan ilmu pengetahuan (misal untuk penelitian) dan medis. Dalam UU 32/2009 yang dilarang adalah pelepasan produk rekayasa genetika yang bertentangan dengan undang-undang atau tanpa izin.
Ketidakjelasan sanksi dan tujuan pemidanaan bagi pelaku korporasi dalam tindak pidana lingkungan hidup:
1) Pidana denda bagi pelaku korporasi sangat besar (bahkan sampai kategori VII/100 Miliar) tetapi tidak ada jaminan bahwa denda tersebut akan dimanfaatkan untuk kepentingan pemulihan lingkungan walaupun terdapat pidana tambahan/tindakan pemulihan yang dapat dijatuhkan kepada korporasi;
2) Pidana yang besar ini tentunya bertentangan dengan tujuan pidana restorative yang dicita-citakan RKUHP;
3) Rumusan pidana kumulatif pada pasal lingkungan hidup akan mengakibatkan penjatuhan dua pidana pokok.
Pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam RKUHP masih setengah hati
1) Pengertian korporasi mencakup badan usaha non badan hukum;
2) Pengertian tindak pidana korporasi dan pertanggungjawabannya masih berorientasi pada pertanggungjawaban naturlijk person/orang kodrati bukan badan hukum;
3) Minimnya petunjuk penjatuhan pidana terhadap korporasi;
4) Tumpang tindih pidana tambahan korporasi dengan tindakan terhadap korporasi.
Pelanggaran HAM Berat dan Genosida
Berpotensi menghambat penuntasan yang efektif
Memasukkan Kejahatan Genosida dan Kejahatan terhadap Kemanusiaan ke dalam RKUHP dikhawatirkan akan menjadi penghalang untuk adanya penuntutan yang efektif karena adanya ketentuan dan asas-asas umum dalam hukum pidana yang justru tidak sejalan dengan karakteristik kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Tidak ada pengaturan tentang asas retroaktif
Asas retroaktif untuk pelanggaran HAM berattidak diatur didalam buku 1 RKUHP. Akibatnya tindak pidana pelanggaran HAM berat kehilangan asas khusus yang sebelumnya telah melekat di pengaturan UU Nomor 26 Tahun 2000.
Tidak ada daluwarsa penuntutan
RKUHP tidak secara tegas mengatur tentang tidak ada batasan mengenai daluwarsa penuntutan dan menjalankan pidana untuk tindak pidana pelanggaran berat terhadap HAM.
Masih banyak kekeliruan penerjemahan dari rujukan hukum internasional
Masih banyak penerjemahan dan pengadopsian Kejahatan Genosida dan Kejahatan terhadap Kemanusiaan yang mengalami kesalahan, yang akan memperburuk pendefinisiaan kejahatan-kejahatan ini. Rujukan hukum internasional, praktik-praktik pengadilan pidana internasional, dan juga putusan-putusan terbaik dalam pengadilan HAM Indonesia tidak diperhitungkan secara serius sebagai rujukan utama dalam merumuskan Kejahatan genosida dan Kejahatan terhadap Kemanusiaan dalam RKUHP
Rumusan model pertanggungjawaban komando masih buruk
Pengaturan Kejahatan Genosida dan Kejahatan terhadap Kemanusiaan dalam R KUHP tidak bisa dilepaskan dengan pengaturan lainnya, misalnya terkait dengan model pertanggungjawaban para pelakunya. Ketentuan yang terkait ini, misalnya tentang pertanggungjawaban komando juga masih buruk dari sisi perumusan. Dari sisi penempatan, pertanggungjawaban komandan, polisi atau atasan sipil lainnya seharusnya di buku I RKUHP dan bukan di buku II. Penempatan dalam Buku II akan memperlihatkan bahwa bahwa penyusun melihat pertanggungjawaban ini sebagai tindak pidana, padahal pertanggung jawaban komandan, polisi atau atasan sipil lainnya adalah bentuk pertanggungjawaban (modes of criminal responsibility).
Tidak ada kejelasan tentang hubungan kejahatan genosida dengan kejahatan terhadap kemanusiaan
Tidak diketahui bagaimana hubungan antara pengaturan Kejahatan Genosida dan Kejahatan terhadap Kemanusiaan dalam RKUHP dengan UU No. 26 Tahun 2000, khususnya terkait dengan implementasi tindak pidana ini. Dalam UU No. 26 Tahun 2000, kejahatan-kejahatan ini akan diadili dalam Pengadilan HAM dan Pengadilan HAM Adhoc untuk peristiwa yang terjadi sebelum diundangkannya UU No. 26 Tahun 2000. Demikian pula terkait dengan hukum acaranya, yang membutuhkan kekhususan, apakah akan ada hukum acara khusus yang dibentuk kembali atau merujuk kekhususan hukum acara sebagaimana diatur dalam UU No. 26 Tahun 2000.
Berdasarkan catatan-catatan di atas, kami merekomendasikan agar:
Pemerintah dan DPR menarik pembahasan RKUHP untuk dikaji ulang;
Tindak pidana narkotika dan psikotropika dicabut dari RKUHP;
Tindak pidana korupsi dari RKUHPdicabut dari RKUHP;
Tindak pidana berat terhadap HAM dicabut dari RKUHP;
Tindak pidana lingkungan hidup dicabut dari RKUHP sepanjang, Pembentuk UU tidak melakukan perbaikan dengan menyesuaikan tindak pidana lingkungan hidup utama dalam RKUHP dengan UU 32/2009
Lebih memfokuskan pada perubahan UU sektoral (UU Narkotika, Korupsi, Lingkungan Hidup, dll) sebab banyak perubahan ketentuan yang harus dilakukan dari pada sekedar menduplikasi tindak pidana dan merubah pendekatan penanggulangan masalah yang sudah lebih kontekstual pengaturannya pada UU sektoral.