Setiap tindakan yang mengganggu jalannya proses peradilan, termasuk berbuat onar dan merusak fasilitas pengadilan dipandang sebagai penghinaan terhadap lembaga peradilan atau contempt of court. Beberapa tahun lalu, Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY) pernah mengusulkan agar pembentuk Undang-Undang (UU) menerbitkan UU Contempt of Court. Faktanya selama ini lembaga peradilan kerap jadi sasaran atau dilecehkan oleh pihak yang tidak puas dengan putusan pengadilan tanpa perlindungan khusus dari negara.
Bak gayung bersambut, keinginan MA diakomodir oleh DPR dengan menginisiasi dibentuknya Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penghinaan dalam Persidangan (RUU Contempt of Court) pada 2014. RUU ini tercatat dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) jangka Panjang 2015-2019. Sayangnya, RUU yang masuk dalam daftar Prolegnas dengan nomor urut 61 itu sejak 2015 hingga 2018 tidak masuk dalam daftar Prolegnas prioritas tahunan.
Di sisi lain, ternyata tindak pidana contempt of court (secara umum) pun diatur dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang masih dibahas antara pemerintah dan Panitia Kerja (Panja) RKUHP di DPR. Tindak pidana (delik) contempt of court ini tertuang dalam Pasal 328 dan Pasal 329 RKUHP. Hanya saja, rumusan kedua pasal itu hingga saat ini belum disepakati karena masih menimbulkan perbedaan pandangan antara Panja RKUHP dengan tim pemerintah.
Pasal 328 RKUHP
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan yang mengakibatkan terganggunya proses peradilan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV. Pasal 329 RKUHP Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV bagi setiap orang yang secara melawan hukum: a. Menampilkan diri untuk orang lain sebagai pembuat atau sebagai pembantu tindak pidana, yang karena itu dijatuhi pidana dan menjalani pidana tersebut untuk orang lain; b. Tidak mematuhi perintah pengadilan yang dikeluarkan untuk kepentingan proses peradilan; c. Menghina hakim atau menyerang integritas atau sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan; atau d. Mempublikasikan atau membolehkan untuk dipublikasikan segala sesuatu yang menimbulkan akibat yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan. |
Anggota Panitia Kerja (Panja) RKUHP Dossy Iskandar Prasetyo menilai rumusan norma terkait pasal contempt of court masih diperdebatkan. Ada sebagian pihak yang memandang aturan tersebut berpotensi melanggar hak kebebasan berpendapat (berekspresi), hak atas informasi, dan kemerdekaan pers di pengadilan seperti diatur Pasal 329 huruf d RKUHP. Sebab, ada pemahaman bahwa pemberitaan media yang mendahului putusan pengadilan dapat mempengaruhi independensi hakim.
Dossy merasa makna frasa “perbuatan yang mengakibatan terganggunya proses peradilan” perlu diurai lebih jelas. Sebab, parameter mengganggu jalannya proses peradilan harus lebih terukur. Karena itu, dia sepakat bila aturan contempt of court diatur dalam RKUHP terlebih dahulu. Kemudian, pengaturan lebih lanjut diatur dalam UU Contempt of Court. “Bila tindak pidana contempt of court hanya diatur dalam UU khusus, justru mempersempit pemaknaan,” kata dia.
Dossy yang juga menjabat Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) itu cukup paham dengan perkembangan RUU tentang Contempt of Court di DPR. Menurutnya, RUU Contempt of Court sempat mau masuk dalam daftar Prolegnas Prioritas 2018. Namun, selaku pimpinan rapat Baleg dengan pemerintah, dirinya meminta agar RUU Contempt of Court tidak masuk dalam daftar prolegnas prioritas 2018.
“Kalau di prioritas tidak, karena yang mimpin sidang (Baleg dengan pemerintah, red) saya, kemudian kita drop dari daftar prioritas untuk di-pending,” ujarnya.
Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Prof Enny Nurbaningsih menilai pasal contempt of court dalam RKUHP sebagai upaya menghormati wibawa dan marwah lembaga peradilan, termasuk aparaturnya. Namun, dia menampik tudingan pasal contempt of court sebagai upaya membatasi hak asasi maupun berpendapat di pengadilan. “Ini untuk memberi dan menjaga kewibawaan terhadap lembaga peradilan,” ujar Enny di ruang kerjanya, Gedung BPHN Jakarta, Rabu (13/12/2017).
Hanya saja, dia mengakui masih terdapat persoalan pendefinisian “menghina hakim atau menyerang integritas hakim” belum mendapat titik temu atau disepakati. Menurutnya, tindak pidana contempt of court dapat dikategorikan menyerang lembaga, merendahkan martabat lembaga peradilan, ataupun hakim.
“Diharapkan, aparat hukum dapat terhindar dari pergunjingan dan viral di media sosial. Melalui aturan contempt of court ini, aparat penegak hukum pun mesti menjaga kewibawaanya. Aturan obstruction of justice pun menjadi bagian dalam Bab Tindak Pidana terhadap Proses Peradilan dalam RKUHP,” katanya.
Juru Bicara Mahkamah Konstitusi (MK) Fajar Laksono Suroso mendukung penuh langkah pemerintah dan DPR membuat dan merumuskan aturan tindak pidana contempt of court. Terlepas aturan ini nantinya berpotensi digugat di MK, MK sebenarnya merasa berkepentingan dengan aturan tersebut.
“Saya setuju saja pasal contempt of court diatur dalam RKUHP. Apalagi, tujuannya melindungi marwah dan wibawa MK dari tindakan contempt of court,” ujarnya melalui sambungan telepon kepada Hukumonline.
Bagi Fajar, aturan contempt of court ini ke depan bakal memberi perlindungan terhadap lembaga peradilan, termasuk aparaturnya dalam menjalankan tugasnya di bidang yudisial. Karena itu, kata Fajar, sebagian bagian dari lembaga peradilan, MK mendukung penuh aturan yang sedang digodok DPR bersama dengan pemerintah.
Dirinya tak mempersoalkan apakah aturan contempt of court nantinya diatur dalam RKUHP dan atau diatur lebih lanjut dalam UU Contempt of Court. Sepanjang aturan tersebut sudah cukup jelas memberi perlindungan terhadap lembaga peradilan dan aparaturnya tidak masalah. Yang terpenting, aturan ini diharapkan dapat meminimalisir terjadinya perilaku tercela dalam proses peradilan yang dapat mengancam kewibawaan lembaga dan hakim beserta aparatur pengadilan.
“Tidak ada masalah diatur dalam RUU KUHP atau UU Contempt of Court. Yang penting substansinya bisa lebih menjamin keamanan dan kewibawaan pengadilan, itu sangat bagus. Tentu, ini harus didukung, mesti kita tidak bisa lebih jauh untuk merumuskannya,” katanya.
Perlu dilengkapi UU khusus
Juru Bicara MA, Suhadi menuturkan awalnya MA mengharapkan aturan contempt of court diatur khusus dalam UU tersendiri. Hanya saja, apabila tindak pidana ini dituangkan dalam RKUHP sebaiknya hanya mengatur hal-hal yang bersifat umum dan jumlah pasalnya tidak terlampau banyak. Selanjutnya, UU Contempt of Court mengatur lebih komprehensif lagi.
Misalnya, mengatur lebih khusus bentuk perlindungan terhadap tindakan pelecehan atau penghinaan terhadap aparatur pengadilan. Seperti, hakim, panitera, juru sita, hingga pihak-pihak yang terlibat dalam proses peradilan. “Yang pasti, hakim kita membutuhkan aturan tersebut,” ujarnya melalui sambungan telepon.
Menurut Hakim Agung Kamar Pidana ini aturan dalam RKUHP mesti diperkuat atau dilengkapi dengan UU khusus yang mengatur tindak pidana contempt of court. Soalnya, pe ruang lingkup tindak pidana contempt of court cukup luas, tak hanya jaminan perlindungan aparatur pengadilan yang menjadi objek pelecehan, tetapi juga pelecehan terhadap lembaga peradilan.
“Kualifikasi contempt of court, bukan hanya keributan di persidangan, tapi juga perlu bentuk proteksi,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi W Eddyono berpendapat pasal tersebut bersinggungan dengan hak kebebasan berpendapat, hak atas informasi, dan kemerdekaan pers. Karena itu, ketidakjelasan pasal-pasal contempt of court bergantung pada penjelasannya.
Karena itu, tindak pidana ini sebenarnya tidak perlu diatur secara khusus. Dia beralasan sistem peradilan di Indonesia menganut non adversarial model. Yakni, satu cara menemukan kebenaran materil dalam perkara pidana melalui proses penyidikan yang dilakukan agak tertutup. Kemudian, pembuktian kasus dilakukan di pengadilan dengan cara “terpimpin”.
“Jadi, (sebenarnya) tidak memungkinkan adanya pranata contempt of court. Karena di Indonesia, hakim memiliki kekuasaan sangat besar dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara,” ujarnya.
Menyasar media
Ketentuan tindak pidana terhadap pelecehan atau penghinaan terhadap lembaga peradilan sebenarnya sudah diatur dalam KUHP. Khususnya Pasal 210, 216, 217, 221, 222, 223, 224, 225, 232, 233, dan 522 KUHP. Karena itu, aturan pasal tentang contempt of court bukanlah hal baru dalam RKUHP.
Dossy tak menampik aturan pasal contempt of court bakal menyasar jurnalis/pekerja media cetak dan elektronik ketika menjalankan tugas peliputan di pengadilan. Namun Panja, kata Dossy, dalam pembahasan sangat berhati-hati. Aturan contempt of court memang beririsan dengan kebebasan berpendapat dan berekspresi. “Prinsip negara hukum dan demokrasi itu salah satu basisnya adalah kebebasan pers,” ujar politisi Partai Hanura yang cukup vokal dalam pembahasan RKUHP yang digelar terbuka di ruang Komisi III DPR ini.
Menurutnya, perumusan norma contempt of court idealnya tidak menyentuh kebebasan pers. Sebab, membatasi kebebasan media menjalankan tugas jurnalistik sesuai kode etik sama halnya bertentangan dengan demokrasi. “Jangan sampai prinsip-prinsip negara hukum demokrasi itu ada yang dipangkas (melalui aturan contempt of court, red). Ini bahaya ke depan. Karena itu, kita tidak boleh sembarangan. Makanya, ini agak lama soal pembahasannya,” ujar dosen Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Surabaya itu.
Supriyadi yang juga anggota Aliansi Nasional Reformasi KUHP mengamini pandangan Dossy. Menurutnya, contempt of court di Indonesia terlampau masif. Dalam Pasal 329 huruf d memang secara eksplisit menyasar pekerja media. Yakni, larangan mempublikasikan segala sesuatu yang menimbulkan akibat yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim di sidang pengadilan. “Ini kan batasan-batasannya tidak jelas. Khusus untuk media ini berbahaya,” kata dia.
Baginya, aturan contempt of court lebih tepat diatur dalam hukum acara pidana. Apalagi, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) sudah masuk dalam Prolegnas prioritas 2018. Misalnya, pewarta tidak diperbolehkan melakukan peliputan sidang perkara di level saksi.
“Ini kan harus diatur dalam hukum acara pidana. Ini kita belum selesai hukum acara pidana, tapi sudah diatur ketat hukum pidananya. Seakan-akan nanti bisa menyasar kemana-mana,” ujarnya.
Sementara Prof Enny membantah tudingan pasal contempt of court mengancam kebebasan media di pengadilan. Saat pembahasan, keinginan adanya pasal tindak pidana terhadap proses peradilan bermula dari MA yang memberi masukan ke tim perumus RKUHP pemerintah.
Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Gajahmada (UGM) Yogyakarta itu menegaskan selama ini tidak ada pengaturan cara melindungi pengadilan dari tindakan contempt of court. Aturan contempt of court ini pun, tidak kemudian menyebabkan hak masyarakat dilanggar melalui aturan tersebut. “Justru ini untuk mentertibkan yang selama ini tidak ada aturan,” kata Enny.
Suhadi sendiri mengakui pasal contempt of court ini bisa saja menyasar siapapun termasuk kalangan media terkait dengan publikasi yang dapat mempengaruhi hakim dalam bersidang. Karena itu, aturan tersebut tetap perlu dibatasi pula dengan rumusan kualifikasi perbuatan yang jelas. “Yang penting ada rambu-rambunya dan jangan mempengaruhi pendapat hakim.”
Sumber: http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5a43ced860b32/tarik-ulur-delik-contempt-of-court-dalam-rkuhp