Pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) penuh dinamika yang kerap menimbulkan polemik. Tarik ulur pembahasan sejak munculnya gagasan pembaharuan KUHP tahun 1964 hingga sebelum draf masuk ke DPR kerap mewarnai proses penyusunan. Meski sudah berjalan puluhan tahun, akhirnya di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhyono draf RKUHP diserahkan ke DPR pada Maret 2013 lalu.
Sejak itu, pembahasan mulai intensif antara Panitia Kerja (Panja) RKUHP bersama tim pemerintah di ruang Komisi III DPR. Prof Muladi dan Prof Harkristuti Harkrisnowo kerap mewakili tim pemerintah dalam pembahasan RKUHP. Namun, hingga DPR periode 2009-2014 berakhir, pembahasan Buku I dan Buku II RKUHP tidak selesai. Selain alasan pendeknya waktu anggota dewan yang tersisa satu tahun, ditambah dengan tahun politik pada 2014.
Berlanjut DPR periode 2014-2019, target Panja RKUHP merampungkan pembahasan pada akhir 2017 nampaknya kembali meleset. Padahal, Panja RKUHP telah mengagendakan rapat kerja dengan Menteri Hukum dan HAM pada 5 Desember 2017, tetapi sayangnya agenda ini tidak terlaksana. Lepas dari target Panja RKUHP dan pemerintah itu, ternyata RKUHP masih menyisakan sejumlah persoalan terutama pasal-pasal yang dinilai berpotensi mengancam kebebasan berekspresi yang sudah disepakati pembentuk undang-undang (UU).
Yakni, penghinaan terhadap presiden dalam Pasal 262-266 RKUHP; penghinaan terhadap pemerintah dalam Pasal 284, Pasal 285 RKUHP; dan tindak pidana terhadap keamanan negara (kejahatan ideologi negara) dalam Pasal 219-220 RKUHP terkait penyebaran ajaran komunisme/marxisme-leninisme dan peniadaan ideologi Pancasila.
Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Prof Enny Nurbaningsih beralasan rumusan pasal-pasal yang dinilai berpotensi mengancam kebebasan berekspresi itu sudah dilakukan secara hati-hati. Sebab, kebebasan hak berekpresi memang perlu dibatasi pada hal-hal tertentu (terutama menyangkut ketertiban umum). Hal ini yang menjadi acuan pemerintah dan Panja DPR membatasi kebebasan bereskpresi terhadap setiap orang.
“Pemerintah dan Panja RKUHP amatlah berhati-hati. Pemerintah dan Panja juga melihat perkembangan dunia global dan hak asasi manusia (HAM). Termasuk KUHP yang berlaku di banyak negara sebagai perbandingan. Tetapi kita juga memberi ruang kebebasan bagi individu sesuai amanat konstitusi. Jadi, ada keseimbangan sesuai teori yang juga mengedepankan HAM,” ujar Enny di ruang kerjanya, Gedung BPHN Jakarta, Rabu (13/12/2017).
Soal Pasal 154 dan 155 KUHP tentang kebencian terhadap pemerintah dan Pasal 134, 136 bis, dan 137 KUHP tentang penghinaan presiden yang sudah dihapus Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006 dan putusan MK No. 6/PUU-V/2007 diakui Enny.
Menurut dia, alasan pemerintah kembali menghidupkan pasal itu lewat Pasal 262, 263, 264 RKUHP (penghinaan presiden/kepala negara) dan Pasal 284, Pasal 285 RKUHP (ujaran kebencian terhadap pemerintah) lantaran setiap orang yang menghina kepala negara lain atau duta besar negara lain yang berada di Indonesia dapat dipidana seperti diatur Pasal 141-144 KUHP.
“(Kalau tidak dimasukan) Pemerintah menganggap ada ketidakadilan dan keseimbangan terhadap kepala negara Indonesia. Bagaimana penghormatan terhadap simbol negara kita sendiri kalau dihina? Hal ini agar ada kesetaraan,” dalih perempuan kelahiran 26 Juni 1962 ini.
Menurut Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta ini, pemerintah sebagai pengusul inisiatif RKUHP ketika menyusun draft RKUHP memperhatikan, membaca ulang, dan mendalami putusan MK terkait penghapusan beberapa pasal dalam KUHP itu.
Malahan, kata dia, pemerintah menanyakan langsung ke MK untuk mencari tahu arahan alasan MK menghapus pasal-pasal dalam KUHP yang dinilainya melanggar hak kebebasan berekspresi. “Prinsipnya kita menyusun memperhatikan semua putusan MK. Termasuk Perma-Perma kita perhatikan,” kata dia.
Meski begitu, dia mengungkapkan pembahasan pasal-pasal penghinaan terhadap presiden dan kebencian terhadap pemerintah ini masih berstatus pending issue. Dalam arti, masih belum clear di tingkat tim perumus dan bakal diboyong dalam rapat kerja antara Panja DPR dan tim pemerintah.
Anggota Panja RKUHP Dossy Iskandar Prasetyo berpendapat presiden sebagai simbol negara semestinya dilindungi nama baiknya. Ia menilai menjadi persoalan ketika kepala negara Indonesia dilecehkan tanpa ada sanksi pidana yang menjangkau perbuatan pelaku, justru menjadi berbahaya. “Setiap orang akan (mudah) menyerang kepala negara dengan dalih instrumen kebebasan bereskpesi, ini yang harus dijaga,” dalihnya.
Baginya, ujaran kebencian/penghinaan terhadap presiden ataupun pemerintah, beberapa tahun belakangan terakhir, semakin masif. “Menyikapi perkembangan itu, bila hukum pidana tidak menjangkau perbuatan itu bakal berdampak terhadap berkehidupan berbangsa dan bernegara. Itu yang menjadi pertimbangan memasukan kembali pasal-pasal yang sudah dihapus MK dari KUHP dalam RKUHP.”
“Soal-soal seperti ini jangan sampai hukum negara tidak mengaturnya. Di sisi lain kita juga harus memperhatikan kebebasan bereskpresi, karena itu dijamin konstitusi. Kita tidak boleh gegabah merumuskannya. Soal ini memang agak panjang perdebatannya,” ujar dosen hukum Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Surabaya itu.
Namun demikian, menurutnya, frasa “menghina kepala negara” mesti didefinisikan lebih jelas dan komprehensif. Dengan begitu, aparat penegak hukum memiliki parameter ketika menegakan aturan tersebut. “Prinsipnya, jangan sampai kita melenceng dari kebebasan berekspresi, berserikat, menyampaikan pendapat lisan dan tulisan yang tidak boleh dicabut. Rumusan norma ini (harusnya) mengakomodir perspektif itu,” ujar politisi Partai Hanura itu.
Berikut perbandingan pasal penghinaan terhadap presiden dan kebencian terhadap pemerintah dalam KUHP dan RKUHP.
KUHP
(telah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi) |
Draft RKUHP (24 Februari 2017) |
Pasal 134
Penghinaan yang dilakukan dengan sengaja terhadap presiden atau wakil presiden diancam dengan pidana paling lama enam tahun, atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. |
Pasal 262
Setiap orang yang menyerang diri presiden atau wakil presiden yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana yang lebih berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun. |
Pasal 136 bis
Dalam pengertian penghinaan tersebut Pasal 134, termasuk juga perbuatan tersebut Pasal 315, jika hal itu dilakukan di luar adanya yang terkena, baik dengan tingkah laku di muka umum, maupun tidak di muka umum dengan perbuatan, lisan atau tulisan, asal di muka orang ketiga yang ada disitu bertentangan dengan kehendaknya dan merasa tersinggung karenanya. |
Pasal 263
(1) Setiap orang yang dimuka umum menghina presiden atau wakil presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV (2) Tidak merupakan penghinaan jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jelas dilakukan untuk kepentingan umum demi kebenaran, atau pembelaan diri. |
Pasal 137
Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud ayat (1) melakukan perbuatan tersebut dalam menjalankan profesinya dan pada waktu itu belum lewat 2 (dua) tahun sejak adanya putusan pemidanaan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang sama maka dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1) huruf g. |
Pasal 264
Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman, sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV. |
Pasal 154
Barangsiapa di depan umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau merendahkan terhadap pemerintah Indonesia, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun atau dengan pidana denda setinggi-tingginya empat ribu lima ratus rupiah. |
Pasal 284
Setiap orang yang dimuka umum melakukan penghinaan terhadap pemerintah yang sah yang berakibat terjadinya keonaran dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama (3) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV |
Pasal 155
(1) Barangsiapa menyebarluaskan, mempertunjukan, atau menempelkan secara terbuka tulisan atau gambar yang di dalamnya mengandung perasaan permusuhan, kebencian atau merendahkan terhadap pemerintah Indonesia, dengan maksud agar tulisan atau gambar tersebut isinya diketahui oleh orang banyak atau diketahui secara lebih luas lagi oleh orang banyak, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya empat tahun dan enam bulan atau dengan pidana denda setinggi-tingginya empat ribu lima ratus rupiah. (2) Jika orang yang bersalah telah melakukan kejahatan tersebut dalam pekerjaannya atau pada waktu melakukan kejahatan tersebut belum lewat lima tahun sejak ia dijatuhi pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, karena melakukan kejahatan yang serupa maka ia dapat dicabut haknya untuk melakukan pekerjaannya tersebut. |
Pasal 285
Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman, sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap pemerintah yang sah dengan maksud agar isi penghinaan diketahui umum yang berakibat terjadinya keonaran dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV. |
Semakin membatasi
Anggota Aliansi Nasional Reformasi KUHP Supriyadi W Eddyono menegaskan ada sejumlah pasal-pasal yang masih berpotensi mengancam kebebasan berekspresi terhadap masyarakat dalam menjalankan aktivitasnya. Dia menyebut kejahatan ideologi negara seperti diatur Bab I tentang Tindak Pidana Terhadap Keamanan Negara. Yakni, larangan penyebaran ajaran komunisme/marxisme-Leninisme, peniadaan dan mengganti ideologi Pancasila.
Rumusan pasal tersebut dinilai amat luas terutama frasa “menyebarkan atau mengembangkan”, “ajaran komunisme/marxisme-leninisme” dan “di muka umum dengan lisan atau tulisan termasuk menyebarkan atau mengembangkan melalui media apapun”. Dia berpandangan persoalan perumusan pasal-pasal kejahatan ideologi kejahatan tersebut masih menimbulkan banyak penafsiran dan tidak jelas yang dapat berakibat pelanggaran hak asasi manusia (HAM). “Ini potensial mengancam kebebasan berekspresi masyarakat,” kata Supriyadi
Ironisnya, malah berpotensi memperparah situasi insiden pembubaran diskusi, berkumpul, dan larangan penerbitan buku yang diklaim sepihak sebagai ajaran komunisme/marxisme-leninisme. “Kritik kita mengenai prinsip hukum bahwa apa yang ada dalam pikiran seseorang tidak dapat dihukum,” ujarnya.
Tak hanya itu pengaturan terkait kejahatan tindak pidana penghinaan terhadap pemerintah diatur Bab II dan V dalam RKUHP juga potensi mengancam kebebasan berekspresi. Padahal, pasal penyebaran kebencian dan pernyataan permusuhan terhadap penguasa telah dihapus oleh MK. Namun, oleh pemerintah dimasukan kembali dalam Pasal 284 dan 285 RKUHP ini.
“Meski terdapat perubahan delik formil menjadi materil dalam pasal tersebut, penggunaan pasal tersebut bakal amat subjektif digunakan negara dalam membungkam kritik pedas dari masyarakat,” lanjutnya.
Selain itu, masuknya kembali tindak pidana terhadap martabat presiden dan wakil presiden seperti diatur Pasal 265 dan 266 RKUHP. Menurutnya, rumusan kedua pasal tersebut tak jauh berbeda dengan rumusan Pasal 134, 136 Bis 137 KUHP yang juga sudah dibatalkan MK. Meski pembahasan pasal tersebut ditunda, namun pemerintah bertahan dengan argumentasi perlunya menjaga martabat presiden dan wakil presiden.
“Pasal ini disebut sebagai lesse majeste yang bermaksud menempatkan pemimpin negara tidak bisa diganggu gugat atau tidak boleh dikritik. Padahal, Putusan MK Nomor 013-022/PUU-IV/2006, materi ketentuan ini (Pasal 134, Pasal 136 Bis, Pasal 137 KUHP) sudah dicabut, diaturnya kembali aturan tersebut sama saja membangkang pada konstitusi,” kritiknya.
Menurutnya, memasukan kembali pasal-pasal yang sudah dicabut MK dalam RKUHP tidaklah relevan dengan kekinian (alam demokrasi). Apalagi, pasal penghinaan terhadap kepala negara tidak menyebut tegas pasti dan limitatif tentang perbuatan yang dapat diklasifikasikan sebagai penghinaan. Akibatnya, tidak ada kepastian hukum. Bahkan, berpotensi menimbulkan kesewenang-wenangan penguasa dan aparat penegak hukum.
“Boleh jadi terhadap sikap publik yang ditujukan ke kepala negara dan tidak disukai dapat diklasifikasikan sebagai penghinaan. Itu berbahaya. Jadi penghinaan ke presiden tidak perlulah diatur. Intinya, kepala negara harus lapor dan jadi delik aduan,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) itu menilai pasal kebebasan berekspresi terdapat dua hal. Pertama berkaitan dengan kebebasan berekspresi terhadap kekuasaan. Kedua, kebebasan berekspesi terhadap individu. Keduanya, masuk dalam ranah pidana pencemaran nama baik terhadap penguasa yang penegakan hukumnya cenderung subyektif.
“Ditambah adanya UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik (ITE), pasal-pasal itu semakin membatasi kebebasan bereskpresi, itu jadi masalah,” katanya.
(Baca Juga: Ada Potensi Ancaman Kebebasan Pers Pasca Pembahasan RKUHP)
Belum lagi, diaturnya berbagai kualifikasi pasal-pasal penghinaan akan semakin membelenggu kebebasan berekspresi warga negara. Berdasarkan draft RKUHP per Februari 2017, pasal penghinaan diatur dalam Pasal 540, 541, 543, 544, 545, 547, 548 dan 549 RKUHP. Bagi Supri, semakin banyak pengaturan sanksi pidana yang mengancam kebebasan berekspresi ini berakibat lembaga pemasyarakatan (Lapas) semakin over kapasitas yang secara tidak langsung membebani (anggaran) negara.
Pikiran tak dapat dihukum
Terkait kejahatan ideologi negara, Prof Enny melanjutkan penyebaran ideologi marxisme, komunis dan leninisme memang sudah dilarang. Hal ini tertuang dalam TAP MPR No. 25 Tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Rerlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia Bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Paham atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme.
“Tap MPR 25 Tahun 1966 masih berlaku hingga kini. Oleh Pemerintah dijadikan pertimbangan untuk memasukan pasal tentang kejahatan ideologi dalam RKUHP,” lanjutnya.
“Pemerintah sudah mengkaji dari aspek pidana materil atau formil terhadap ajaran marxisme-leninisme masuk dalam kategori kejahatan ideologi.”
Bagi Supri, definisi ajaran marxisme dan leninisme cukup luas bila dikaji lebih dalam. Sebab, persoalan utama perumusan pasal kejahatan terhadap ideologi negara masih menimbulkan penafsiran samar dan tidak jelas yang ujungnya berakibat terjadinya pelanggaran HAM. Menurutnya pengaturan kejahatan ideologi dalam RKUHP diatur dalam Pasal 219 dan 220. Sedangkan peniadaan dan penggantian ideologi Pancasila diatur Pasal 219-221 yang sebagian mengadopsi rumusan UU Subversif dan UU No. 27 Tahun 1999 tentang Perubahan KUHP Berkaitan dengan Kejahatan terhadap Keamanan Negara.
Ditegaskan Supri, dalam prinsip hukum, “apa yang ada dalam pikiran seseorang tidak dapat dihukum”. “Pengaturan tindak pidana ideologi menerobos prinsip hukum tersebut. “Kriminalisasi terhadap ideologi marxisme dan leninisme ini sudah tidak relevan. Secara praktik sudah tidak ada lagi. Paham ini sudah mengalami kemunduran. Apa artinya kedua ideologi itu, toh bukunya sudah banyak bertebaran,” tutupnya.
Sumber:http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5a4346f951cff/ancaman-kebebasan-berekspresi-masih-bercokol-di-rkuhp