Korupsi Lebih Tepat Diatur UU Tersendiri
Pemerintah dan DPR perlu mempertimbangkan kembali masuknya delik tindak pidana korupsi (tipikor) ke Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
Pasalnya, menurut pakar hukum pidana UI Ferdinand Andi Lolo, apakah bisa korupsi yang merupakan kejahatan luar biasa dimasukkan ke un-dang-undang yang mengatur kejahatan biasa.
“Bagaimana mengharmonisasikan KUHP yang merupakan lex generalis dengan UU korupsi? Bagaimana pula mengharmonisasikan antara hukuni pidana dan hukum acara pidana? Dalam pola pikir sekarang, UU khusus menjadi umum sehingga kehilangan sifat khususnya. Sementara itu, KPK dan kejaksaan bisa menjadi penyidik karena ada sifat khususnya. Kalau sifat khususnya menjadi umum, yang pegang siapa? Adalah Polri,” kata Ferdinand seusai rapat dengan Komisi III DPR, kemarin. la tidak keberatan jika deliktipikor tetap dimasukkan ke KUHP. Akan tetapi, isi tidak mengatur hal teknis, cukup norma besar. “Dinamika korupsi sangat tinggi, modus operandinya berubah. Kalau dimasukkan ke KUHP, nanti KUHP berkali-kali disesuaikan.”
Menurut Ferdinand, karakter tindak pidana tidak bisa dipukul rata. Ada tindak pidana pembunuhan yang merugikan orang per orang. Namun, korupsi merugikan satu tatanan sosial. Karena itu, dia berpendapat korupsi merupakan kejahatan luar biasa. “Bukan dramatisasi, melainkan fakta.”
Pakar hukum pidana Muladi menambahkan, permintaan delik tipikor agar tidak dimasukkan RKUHP tidak perlu didramatisasi. “Kalau ada UU khusus, pasti berasal dari UU umum. Ada lembaga sendiri se-perti KPK dan PPATK. Itu nanti tidak akan diutik-utik oleh RKUHP. Norma-norma hukum materiil dimasukkan, tetapi kekhususannya tetap dipertahankan,” ujar Muladi
Anggota Komisi III Arsul Sani mengakui lebih setuju tindak pidana yang umum disebut dalam KUHP.
“Rinciannya ada di UU khususnya. Misalnya, korupsi ditulis satu pasal. Nanti pasal rentetannya ada dalam UU tipikor,” ungkap Arsul yang berasal dari Fraksi PPP.
(Media Indonesia)