Mendorong Upaya Pembangunan Hukum Nasional yang Inklusif, Partisipatif, dan Akuntabel: RKUHP Belum Jawab Kebutuhan Pembangunan dan Pembaruan Hukum Pidana

Pada 2 – 3 Mei 2018, Aliansi Nasional Reformasi KUHP mengadakan Konsultasi Nasional Pembaruan Hukum Pidana dengan tema “Meletakkan (Kembali) Proses Pembaruan Hukum Pidana”. Inisiatif untuk menggelar Konsultasi Nasional ini pada dasarnya untuk mendorong adanya dialog multi pihak dalam kerangka pembangunan dan pembaruan hukum pidana nasional. Secara khusus Konsultasi Nasional bertujuan untuk :

 

  1. Mengetahui perkembangan dan dinamika proses pembaruan hukum pidana yang tengah berjalan;
  2. Mendorong reaktualisasi nilai-nilai dan kerangka dasar pembaruan hukum pidana nasional yang dibentuk berdasarkan proses yang demokratis dan melibatkan para pihak yang berkepentingan;
  3. Mengidentifikasi dan memetakan tujuan-tujuan yang hendak dicapai dalam proses pembaruan hukum pidana; dan
  4. Mendorong penyusunan peta jalan pembaruan hukum pidana nasional yang berisi indikator yang dapat merespon kebutuhan pembangunan hukum nasional.

 

Proses pembangunan hukum pidana nasional yang diawali dengan penyusunan Rancangan KUHP berlandaskan 4 misi yaitu yaitu dekolonisasi, rekodifikasi, demokratisasi dan adaptasi dan harmonisasi. Keempat misi tersebut diharapkan dapat mendukung pembangunan nasional lewat penyusunan produk legislasi hukum pidana untuk merespon perkembangan hukum yang ada,  mendukung semangat demokrasi dan disusun secara harmonis sesuai dengan tujuan pembangunan negara yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.

 

Dalam Konsultasi Nasional tersebut, Prof Enny Nurbaningsih, Kepala BPHN dan Ketua Tim Pemerintah untuk pembahasan RKUHP menyatakan bahwa Pemerintah dan DPR telah bersepakat untuk mendorong pengesahan R KUHP sebelum hari kemerdekaan Indonesia sebagai kado ulang tahun kemerdekaan Indonesia yang ke 73. Ia juga memastikan bahwa seluruh pembahasan R KUHP di DPR dilangsungkan secara terbuka dan masih membuka kesempatan bagi masyarakat untuk memberikan masukan kepada pemerintah maupun DPR.

 

Namun pada saat yang sama, Prahesti Pandanwangi, Direktur Hukum dan Regulasi Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional, menyatakan bahwa pembaruan hukum pidana lewat RKUHP harus disusun secara seksama dengan terlebih dahulu menyusun cetak biru pembaruan sistem peradilan pidana yang disusun secara bersama-sama dengan stakeholders terkait, untuk melihat ketidaksinkronan peraturan perundang-undangan sektoral yang akan berimplikasi pada pembangunan infrastruktur dan kesediaan Sumber Daya Manusia. Ia juga menyoroti persoalan pengganggaran. Menurutnya, aparat penegak hukum harus mengedepankan prinsip ultimum remedium untuk memastikan ketersediaan anggaran negara dalam proses penegakan hukum. Data dari Subbag Penyusunan Rencana Anggara Ditjen Pemasayarakatan Kemenkuham menunjukkan bahwa kebutuhan anggaran sejak tahun 2015 selalu mengalami peningkatan dan pada tahun 2016-2017 dan Ditjen Pas mengalami kekurangan anggaran. Pada 2016 Kemenkuham juga mendapat tambahan anggaran sebesar Rp1,3 Triliun untuk pelaksana teknis pemasyarakatan sebagai upaya penanganan overcrowding di Lapas dan Rutan di Indonesia.

 

Dalam Konsultasi Nasioal tersebut, Agustinus Pohan (Akademisi FH Unpar) berpendapat bahwa RKUHP harus disusun dengan menjamin prinsip ultimum remedium diterapkan. Pihak perumus harus mampu menghadirkan analisis yang jelas mengenai biaya dan keuntungan untuk mengkriminalisasi suatu perbuatan. Analisis tujuan perlu dilakukan secara seksama sebelum mengkriminalisasi suatu perbuatan. Menurutnya, lewat proses perumusan dan pembahasan yang matang, RKUHP harusnya bersifat ultilitarian dengan mendukung pendekatan non penal dan mengedepankan manfaat bagi masyarakat.

 

Dr. Luhut Pangaribuan, Ketua Umum DPN PERADI, juga menyatakan bahwa rumusan RKUHP utamanya terkait dengan kriminalisasi perbuatan yang dianggap berbeda dan liyan dengan kelompok mayoritas harus dibahas secara serius, cermat dan lengkap untuk memastikan pengesahan RKUHP memenuhi tujuan pembangunan nasional untuk melindungi segenap bangsa Indonesia. Ia juga menyatakan bahwa RKUHP harus disusun berdasarkan semangat global untuk men-dekriminalisasi. Pendekatan crime control model tidak lagi relevan untuk digunakan dalam penyusunan RKUHP, karena perkembangan global menujukkan adanya semangat pengaturan tindak pidana dengan pendekatan due process model. Kriminalisasi harus dirumuskan sesuai dengan kebutuhan masyarakat demokratis, bukan untuk mengatur moral masyarakatnya.

 

Sehingga dapat disimpulkan bahwa tujuan pembaruan hukum pidana lewat RKUHP tidak dapat didasarkan sebatas pada semangat untuk mengganti hukum warisan penjajah. Jika Pemerintah dan DPR benar-benar berkomitmen untuk merformasi hukum pidana dan mendukung pembangunan nasional, maka Pemerintah dan DPR harus secara seksama menghadirkan kebijakan yang berbasis bukti.

 

Atas dasar hal tersebut, Aliansi Nasional Reformasi RKUHP meminta Pemerintah dan DPR selaku perumus RKUHP untuk:

  1. Meletakkan kembali tujuan pembentukan RKUHP sesuai misi yang dicita-citakan yaitu dekolonisasi, rekodifikasi, demokratisasi dan harmonisasi
  2. Tidak terburu-buru mengesahkan RKUHP untuk memastikan RKUHP telah disusun daAn dibahas berdasarkan analisis yang berbasis bukti
  3. Kembali membuka ruang pembahasan RKUHP secara seksama, cermat dan bersama-sama dengan menyusun terlebih dahulu cetak biru pembaruan hukum pidana dan sistem peradilan pidana di Indonesia.

Leave a Reply