Romli Usul Kodifikasi Parsial Dalam Pembahasan RKUHP
Guru Besar Hukum Pidana dari Universitas Padjajaran (Unpad), Romli Atmasasmita mengusulkan agar pembahasan RKUHP dilakukan dengan cara kodifikasi parsial, bukan kodifikasi total. Hal itu diutarakan Romli dalam sebuah diskusi di Gedung DPR di Jakarta, Selasa 915/9).
Menurut Romli, mekanisme dengan kodifikasi parsial bisa mempercepat pembahasan yang dilakukan DPR dan pemerintah. Selain itu, dengan mekanisme ini, ia percaya, dapat mempertahankan UU yang bersifat khusus karena ancaman hukuman dalam UU lex specialis itu biasanya jauh lebih tinggi daripada KUHP. “Kodifikasi parsial bisa selesai dalam dua tahun,” katanya.
Romli mencontohkan, ancaman maksimal dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi mencapai 20 tahun. Sedangkan dalam RKUHP ancaman maksimal hanya 15 tahun. Jika pidana korupsi tetap dimasukkan ke dalam RKUHP, maka bisa menimbulkan ketidakadilan bagi pelaku tindak pidana korupsi yang divonis 20 tahun penjara.
Atas dasar itu, ia juga mengusulkan agar pidana yang bersifat khusus dikeluarkan dari RKUHP. Sehingga, RKUHP hanya berisi kejahatan yang bersifat biasa seperti KUHP yang berlaku selama ini.
“Kalau kita menganggap narkoba, korupsi, human trafficking, terorism, tidak mungkin disamakan dengan kejahatan lampau. Kita tidak mungkin memasukan kejahatan dalam kodifikasi seperti ini yang sifatnya khas. Saya sarankan kembalikan yang sifatnya khas, sesuai tempatnya. Biarkan RKUHP seperti KUHP yang ada,” kata Romli.
Di tempat yang sama, Anggota Komisi III dari PPP, Arsul Sani sepakat penggunaan sistem kodifikasi parsial. Menurutnya, kodifikasi parsial bisa mempercepat pembahasan RKUHP. Atas dasar itu, masukan ini akan menjadi pertimbangan pembahasan antara DPR dan pemerintah.
“Kalau sudah disepakati kodifikasi parsial dengan pemerintah maka akan dikeluarkan yang khusus,” ujar Arsul.
Terpisah, Deputi Direktur Elsam, Zaenal Abidin sepakat jika kodifikasi parsial merupakan cara ampuh untuk menyelamatkan pidana yang bersifat khusus. Menurutnya, kodifikasi parsial memberikan keleluasaan bagi pidana khusus untuk diatur dalam prosesnya tersendiri. “Saya pikir itu ide bagus,” katanya.
Namun, lanjut Zaenal, ia enggan mengkaitkan kodifikasi parsial dengan kecepatan pembahasan RKUHP. “Yang penting bukan pada kecepatan pembahasan, tapi kualitas. Jika penyusunan dilakukan secara transparan maka hasilnya juga akan berkualitas,”