Masalah Tindak Pidana Kumpul Kebo (Cohabitation) Dalam R KUHP

Oleh: Supriyadi Widodo Eddyono

1.       Pengantar

Praktek Cohabitation yaitu hidup sebagai suami istri tetapi tidak diikat oleh perkawinan[1]tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Dalam masyarakat tertentu hal ini dianggap sebagai pelanggaran hukum tetapi hukum sendiri tidak memberikan sanksi yang ketat, hal ini di sebut sebagai notorious cohabitation. Di Indonesia sendiri praktek pasangan yang hidup bersama sebelum menikah disebut sebagai sitilah praktek kumpul kebo. Secara awam diartikan pasangan yang tinggal serumah namun belum menikah, ini dipersamakan halnya dengan kerbau (binatang) yang hidup dalam satu kandang namun belum menikah. Hal bagi sebagian masyarakat maknai sebagai perbuatan yang negatif karena pola hidup bersama diantara dua orang yang belum menikah dengan orang yang bukan istri atau suaminya sangat identik dengan seks di luar lembaga perkawinan. Oleh karena itulah maka umumnya dugaan terhadap pasangan yang hidup bersama tersebut, dituduh telah melakukan hubungan seksual diluar lembaga perkawinan. Padahal, seharusnya pemenuhan naluri biologis hanya di benarkan dalam ikatan suami istri. Jadi hal yang di tolak adalah secara khusus dalam kumpul-kebi adalah relasi atau hubungan seksualnya, bukan hal-hal di luar itu.[2]

2.       Bagaimana Negara lain mengatur Cohabatitation

Beberapa negara sebenarnya telah mengatur mengenai tindak pidana cohabitation dalam KUHPnya namun tujuan utama yang di masukkan dalam elemen kejahatannya dalam pengaturan di beberapa Negara sangat berbeda[3]. Pertama, cohabitation yang dianggap sebagai tindak pidana jika dilakukan bersama anak. (KUHP Yugoslavia 1951 Pasal 193, Norwegia dan polandia). kedua cohabitation yang masuk kategori pidana dalam hal praktek cohabitation dengan seorang perempuan yang percaya bahwa ia telah kawin secara sah dengan pihak laki-laki (Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, India, Islandia dan Fiji), ketiga cohabitation yang masuk kategori pidana dalam hal cohabitation dengan istri atau suami dari anggota angkatan bersenjata aktif (cina), Keempat, cohabitation yang masuk kategori pidana dalam hal dilakukan dengan poligami (conjugial union) hidup bersama sebagai suami istri denganlebih dari satu orang pada saat yang sama. (kanada). Kelima, pelarangan cohabitation total sebagai perilaku zina yang dilarang (arab, dan Negara-negara penganut pidana Islam).

Tabel 1

No Negara Pasal Ruang Lingkup Keterangan
1 KUHP Republik Federal Yugoslavia 1951 193 cohabitation antara orang dewasa dengan anak yang telah mencapai usia 14 tahun Arah nya kepada pasangan kumpul kebo   yang dewasa, juga wali atau orang tua yang mengijinkan,mendorong atau membantu upacara poligami.
2 KUHP Singapura 493 cohabitation dalam hal perempuannya percaya bahwa ia telah dikawinkan secara resmi Arahnya kepada laki-laki yang menipu
3 KUHP Malaysia, Kanun Kaseksaan 493 idem idem
4 KUHP Brunei Dasrussalam 493 idem idem
5 KUHP India 493 idem idem
6 KUHP Fiji 184 idem idem
7 KUHP Cina 259 Hidup bersama dengan istri atau suami dari anggota angkatan bersenjata aktif  
8 KUHP Kanada 293 (1) Conjugal union (kumpul kebo) dengan lebih dari salah satu orang pada saat yang sama Tindak pidana poligami, tanpa diperlukan syarat terganggunya perasaan kesusilaan, keagaam, masyarakat dan lingkunagn setempat, bukan delik aduan (indictable offence)
         

Sumber: Barda Nawawi

3.       Rancangan KUHP dan masalahnya

Berbeda dengan pengaturan di beberapa Negara di Indonesia cohabitation atau kumpul kebo coba diatur dalam Rancangan KUHP yang memasukkan tindak pidana tersebut dalam Pasal 488 yakni:

Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan yang sah, dipidana pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II. Penjelasan : Pasal 488 Ketentuan ini dalam masyarakat dikenal dengan istilah “kumpul kebo”.

Sebelumnya Dalam R KUHP 2012. Hal ini sebelumnya diatur Dalam Pasal 485 Rancangan Undang-Undang KUHP disebutkan:

Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami-istri di luar perkawinan yang sah dipidana penjara paling lama 1 tahun atau denda kategori II (paling banyak Rp 30 juta)

Konsep 2012 juga ruang lingkup sebetulnya mengurangi ruang lingkup tindak pidana kumpul kebo dari konsep dari tahun 1999/2000. Dalam Rancangan Undang-Undang KUHP tersebut dalam Pasal 422 dinyatakan bahwa :

(1)    Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami-istri di luar perkawinan yang sah dipidana penjara paling lama 1 tahun atau denda kategori II (paling banyak Rp 30 juta). (2) tindak pidana sebagaimana diatur dalam ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan keluarga salah satu pembuat tindak pidana sampai derajat ketiga, Kepala adat, atau oleh kepala desa/Lurah setempat.

Masuknya tindak pidana ini dimulai sejak tahun 1977 yang di susun oleh Tim Basarudin (konsep BAS). namun ketentuan ayat (2) Pasal 422 R KUHP Tahun 1999/2000 (kosep yang meggunakan delik aduan) ini, tidak ada dalam konsep aslinya di tahun 1977-1997/1998. Adapun ancaman pidana dalam Pasal 388 konsep KUHP hanya berupa pidana denda. Sedangkan Larangan yang ada di dalam Pasal 420 dan Pasal 422 RKUHP 1999/2000 dapat memenuhi kejahatan jika masyarakat setempat terganggu kesusilaannya. Hal ini berarti sepanjang masyarakat setempat tidak terganggu maka kumpul kebo tersebut tidak dilarang.

Konsep ini sebetulnya lebih mengambil jalan tengah karena praktek ini juga berlaku di beberapa wilayah Indonesia. Di Indonesia sendiri ternyata memiliki beragam budaya, dan ukuran kesusilaan dalam kaitannya dengan praktek ini, sehingga akan sulit menentukan patokan dan batasnya. Di Indonesia ada tiga daerah yang membolehkan kumpul kebo, yaitu Bali, Minahasa, dan Mentawai, kemungkinan masyarakat daerah-daerah itu tidak sependapat dengan ketentuan tersebut.

Konsep tahun 2015 ini sebenarnya mengambil secara warna sari beberapa pengaturan di beberapa Negara misalnya menghilangkan delik aduan dan menggantikannnya sebagai delik formil seperti kanada, Malaysia, namun melupakan bahwa di Negara-negara tersebut konsep kumpul kebo sebagai perbuatan sungguh sangat terbatas, yakni kumpul kebo sebagai tindak pidana jika di lakukan terhadap anak, jika dilakukan terhadap perempuan yang percaya bahwa ia kawin secara sah dengan pihak laki-laki tersebut, atau kepada anggota angkatan bersenjata aktif.

Di samping itu, secara khusus di Indonesia, Implikasi yang paling besar justru bukan kepada pasangan yang belum menikah, namun justru kepada pasangan yang menikah, namun pernikahan yang tidak tercatat, (secara adat) dan tidak tercatat oleh ketentuan administrasi Negara. Di Indonesia masih sangat banyak pasangan yang melakukan perkawinan yang justru belum di sentuh secara formal oleh administrasi Negara, dan ini mungkin saja menjadi sasaran bagi tindak pidana ini.

Lagi pula sungguh sulit untuk memperkarakan kasus kumpul kebo.[4] Karena elemen tindak pidananya menyatakan “melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan yang sah” apa indikator hidup bersama sebagai suami istri, tidak ada penjelasan yang dapat dijadikan standar dalam R KUHP. Dan ini sangat menyulitkan dalam pembuktiannya. Karena tindakan yang dikecam sebetulnya dalam praktek kumpul kebo adalah hubungan persetubuhannya

Jika perumus KUHP ingin mengatur tindak pidana kumpul kebo atau cohabitation sebaiknya justru meniru rumusan kumpul kebo yang dilakukan oleh beberapa negara (masuk dalam kejahatan perkawinan) diatas, misalnya kumpul kebo dengan anak, kumpul kebo dengan cara poligami, kumpul kebo dengan cara penipuan dan kumpul kebo dengan istri/suami anggota angkatan bersenjata aktif atau anggota Kepolisian aktif, justru kumpul kebo dalam konteks ini yang sangat dibutuhkan pengaturannya di Indonesia.

Di samping itu, Konsep Kumpul kebo harusnya termasuk ke dalam delik aduan, bukan delik pidana biasa seperti yang diatur dalam Konsep 2015. Konsep 2015 justru meniru konsep KUHP kanada namun secara tambal sulam.

Menghilangkan model delik aduan justru membuka intervensi yang luar biasa dari negara atas personal warganegaranya.

[1] I.P.M Rahunandoko, terminology Hukum Inggris-Indonesia, Sinar Grafika Jakarta 1996.

[2] Supriyadi Widodo Eddyono, Pengantar Pasal Kumpul Kebo dalam KUHP, ICJR-Alinasi Nasional Reformasi KUHP, 2015.

[3] Barda nawawi, Pembaharuan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, 2005, hal 93-101

[4] Andi Hamzah dalam http://nasional.tempo.co/read/news/2013/03/23/063468926/pakar-sulit-memperkarakan-kumpul-kebo

Leave a Reply