Pengesahan RKUHP Berpotensi Langgar Hak Kelompok Rentan di Indonesia
Pengesahan RKUHP yang dicanangkan akan dilakukan sebelum 17 Agustus 2018 akan berpotensi melanggar hak-hak kelompok rentan, khususnya hak anak, perempuan, dan kelompok minoritas seksual. Padahal, berdasarkan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 telah dinyatakan bahwa setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
Dalam Diskusi Panel Tematik yang diselenggarakan sebagai rangkaian acara Konsultasi Nasional Pembaharuan Hukum Pidana di Hotel Saripan Pasific pada 2-3 Mei 2018, disampaikan oleh Ni Made Hartini, Kriminolog Universitas Indonesia, bahwa jika diperhatikan lebih jauh, terdapat banyak permasalahan dalam RKUHP utamanya terkait dengan perempuan dan anak. Hal ini dapat ditemui dalam sejumlah pasal, diantaranya adalah pasal mengenai pencurian ringan.
Pasal pencurian ringan dalam RKUHP yang ada saat ini, mengancam pidana mereka yang mencuri barang yang nominalnya di bawah Rp500.000,00 dengan ancaman pidana penjara maksimal 6 (enam) bulan. Ni Made Hartini menyatakan bahwa pasal ini berpotensi menjebloskan lebih banyak anak-anak ke dalam penjara. Hal ini dikarenakan selama ini banyak ditemui pencurian-pencurian ringan yang dilakukan oleh anak-anak jalanan yang dirundung kemiskinan. Apabila pasal ini diterapkan kepada anak-anak jalanan tersebut, ada potensi pemenjaraan terhadap anak yang sangat besar. Padahal, anak-anak yang berada di dalam penjara sangat rentan terlanggar hak-haknya.
Selain berkaitan dengan pasal pencurian ringan, pasal lain yang dapat berpotensi melanggar hak-hak perempuan dan anak adalah pasal berkaitan dengan aborsi. RKUHP yang ada saat ini masih mengikuti pasal aborsi yang ada di dalam KUHP, yang melarang perempuan melakukan aborsi dalam keadaan apapun. Padahal, UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan telah memberikan pengecualian dimana aborsi dapat dilakukan apabila ada indikasi medis dan dalam hal perempuan yang hamil tersebut merupakan korban perkosaan.
Jika RKUHP kemudian disahkan, peraturan perundang-undangan yang akan dijadikan pedoman adalah KUHP baru, dan bukan UU Kesehatan. Sehingga akibatnya, perempuan yang melakukan aborsi karena adanya indikasi medis ataupun karena dirinya adalah korban perkosaan, dapat dipidana karena perbuatannya tersebut. Tidak hanya perempuan yang melakukan aborsi, tenaga medis, serta konselor yang membantu dalam proses aborsi karena adanya indikasi medis atau karena perempuan tersebut merupakan korban perkosaan, dapat juga dikenai pidana.
Selain anak-anak dan perempuan, pengesahan RKUHP juga dapat berpotensi meningkatkan angka persekusi dan kekerasan yang dialami oleh kelompok minoritas seksual. Disampaikan oleh Yuli Rustinawati dari Arus Pelangi, bahwa selama ini kelompok minoritas seksual banyak mengalami kekerasan dan diskriminasi di dalam masyarakat yang disebabkan oleh adanya ketakutan-ketakutan masyarakat yang tidak masuk akal terhadap kelompok minoritas seksual. Kekerasan dan diskriminasi ini berpotensi semakin meningkat dengan adanya draft RKUHP yang mengkriminalisasi hubungan seksual sesama jenis. Selama Desember 2017 hingga Februari 2018 terdapat 47 ujaran kebencian yang disampaikan terhadap kelompok minoritas seksual.
Berbagai permasalahan yang ada di dalam RKUHP tersebut berpotensi meningkatkan angka diskriminasi dan kekerasan yang dialami oleh anak, perempuan, dan kelompok minoritas seksual. Padahal, RKUHP seharusnya dirancang untuk menjamin kehidupan masyarakat yang lebih baik dan menjamin pemenuhan dan penghormatan hak asasi manusia, bukan justru menekan kelompok-kelompok minoritas yang hidup dalam masyarakat kita.
Berdasarkan berbagai alasan tersebut, Aliansi Nasional Reformasi KUHP mendorong Pemerintah dan DPR untuk: Pertama, kembali meninjau ulang pasal-pasal dalam RKUHP, utamanya yang berkaitan dengan kelompok rentan seperti anak-anak, perempuan, dan kelompok minoritas seksual, agar tidak hanya digantungkan pada wacana moral yang tidak berdasar. Kedua, mengharmonisasikan pasal-pasal dalam RKUHP dengan peraturan perundang-undangan lain yang terkait. Ketiga, melibatkan pihak-pihak lain di luar ahli hukum pidana yang memiliki kompetensi dalam isu-isu anak, perempuan, dan kelompok minoritas seksual. Pihak-pihak yang memiliki keahlian di bidangnya tersebut dapat membantu baik pemerintah maupun DPR untuk merancang kembali RKUHP dengan menggunakan kerangka evidence based policy, sehingga potensi-potensi pelanggaran hak-hak warga negara dapat dihapuskan.