Revisi KUHP, Pidana Mati Dievaluasi
Pembahasan hukuman mati ditunda karena masih terjadi perdebatan panjang.
Komisi III DPR mengevaluasi hukuman mati melalui revisi kitab undang-undang hukum, pidana (KUHP). Hukuman mati nantinya bisa diringankan menjadi pidana seumur hidup tanpa harus mendapatkan grasi ataupun proses pengadilan.
Pidana mati tercantum dalam pasal 66 dan 67 di RUU KUHP. Pidana itu akan dibuat fleksibel karena terpidana mati bisa tidak jadi dieksekusi tanpa harus mendapat grasi. Syaratnya, terpidana tersebut harus berkelakuan baik dan tidak melakukan kejahatannya kembali.
“Ya maknanya seorang terdakwa bisa dijatuhi hukuman mati. Tapi, kalau kemudian di penjara dia berkelakuan baik, bertobat, maka berubah hukumannya jadi seumur hidup. Selama ini bisa seperti itu jika dapat grasi atau amnesti,” kata anggota Komisi III DPR Arsul Sani, saat dihubungi, Ahad (24/1).
Tetapi, lanjut politisi PPP itu. kalau malah melakukan kejahatan lagi, seperti bandar narkoba yang tetap mengendalikan bisnisnya dari penjara, terpidana harus dieksekusi. Hanya, pembahasan hukuman mati ditunda karena masih terjadi perdebatan panjang.
Arsul menjelaskan, jika dilihat dari daftar inventaris masalah (DIM) yang diajukan oleh fraksi-fraksi, delapan fraksi menerima rumusan pasal hukuman mati sebagai pidana pokok. Sifatnya khusus dan harus dijatuhkan secara alternatif dengan pidana penjara seumur hidup atau 20 tahun.
“Hanya F PDIP dan F Demokrat yang masih memberikan catatan agar pidana mati ini didalami lebih lanjut perumusannya dalam KUHP,” ungkapnya.
Politisi PDIP Masinton Pasaribu mengaku tidak keberatan jika terpidana mati diberikan keringanan men-jadi penjara sumur hidup. Menurut anggota Komisi III DPR itu, hukum-, an mati yang selama ini ada di pidana pokok diubah menjadi pidana tambahan. “Sudah betul itu karena prinsip pemidanaan adalah membuat efek jera,” kata Masinton.
Masinton menjelaskan, jika seseorang dalam menjalani masa hukumannya berkelakuan baik, hukuman mati bisa diubah menjadi pidana seumur hidup. Demikian juga sebaliknya, jika dalam masa menjalani hukuman tidak menginsafi kesalahannya dan melakukan pidana yang sama, hukumannya bisa diperberat.
Walaupun begitu, Masinton belum bisa memberikan keterangan secara perinci soal pandangan fraksinya. Sebab, saat ini RUU tersebut sedang dalam pembahasan DIM di kelompok Komisi III Fraksi PDI Perjuangan.
Cabut pasal
Sementara itu, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) meminta pemerintah mencabut Pasal 27 ayat 3 UU ITE karena praktik penggu-naan pasal tersebut dinilai mengakibatkan banyak pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Pasal tersebut menjelaskan tentang ancaman pidana bagi yang menyebarkan dokumen berisi penghinaan ke dunia maya.
“Tingginya korban Pasal 27 ayat 3 UU ITE harusnya sudah cukup menggerakkan pemerintah untuk mencabut pasal ini secara keseluruhan,” ujar Ketua Badan Pengurus ICJRAnggara.
Menurut dia, rancangan revisi UU ITE inisiatif pemerintah belum mencakup seluruh persoalan yang ada dalam UU ITE, khususnya dalam aspek pidana. Pihaknya mengusulkan agar pemerintah mencabut seluruh pasal pidana yang duplikasi dan kriminalisasi berlebihan.
Setidaknya pasal pidana yang sudah diatur dalam KUHP tidak lagi diatur dalam UU ITE. Pemerintah sebaiknya memastikan amanat pengaturan penyadapan dalam UU khusus penyadapan. KUHP dinilainya sudah cukup untuk mengatur semua hal berkaitan dengan persoalan pidana.