Panja KUHP Bantah Masuknya Tindak Korupsi untuk Lemahkan KPK
Ketua Panitia Kerja RUU Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Benny K Harman, membantah masuknya pengaturan tindak pidana korupsi dalam KUHP untuk melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi. Anggota DPR RI dari Partai Demokrat ini mengatakan, hal tersebut tak akan mengurangi kewenangan KPK dalam pemberantasan korupsi.
“Intinya adalah untuk memperkuat dan melengkapi jenis-jenis tindak pidana korupsi dan psikotropika yang selama ini belum diakomodir oleh kedua Undang-undang tersebut,” kata Benny di Komplek Parlemen RI, Rabu (14/06/17).
Ia melanjutkan, “Misalnya Undang-undang Tipikor belum mengakomodir beberapa prinsip yang diatur dalam UNCAC (United Nation Convention against Corruption). Itu kami masukkan dalam KUHP ini.”
Benny mencontohkan, salah satu prinsip dalam UNCAC yakni tindakan memperdagangkan pengaruh. Ia mengatakan, tindakan itu belum diatur dalam Undang-Undang tentang Tindak Pidana Korupsi.
“Kami masukkan itu ke dalam KUHP. Jadi ini memperkuat sebenarnya,” ujarnya.
Selain tindakan memperdagangkan pengaruh, tiga hal lainnya yang tertuang dalam UNCAC akan dimasukkan ke dalam RUU KUHP. Tiga hal tersebut yakni tindak pidana penyuapan di sektor swasta, tindak pidana memperkaya secara tidak sah, serta tindak pidana penyiapan pejabat publik asing dan pejabat publik organisasi internasional.
Meski mendapat penolakan dari KPK, DPR RI dan Pemerintah menyepakati tindak pidana korupsi dimasukkan ke dalam tindak pidana khusus (Tipidsus). Pengambilan keputusan dilakukan kemarin dalam rapat Panja RUU KUHP di Gedung DPR RI, Komplek Parlemen, Selasa (13/06/17).
Di kesempatan terpisah Ketua Panitia Kerja (Panja) rancangan UU KUHP benny Kabur Harman mengatakan, kekhawatiran KPK selama ini tak berdasar.
“Keberatan KPK itu karena KPK tidak paham, tidak mengerti,” kata Benny saat dihubungi KBR, Rabu (14/6).
Lagipula, Benny melanjutkan, RUU KUHP tidak mengatur mengenai lembaga penegak hukum. Sehingga kata dia, KPK tak perlu takut kewenangannya akan dilemahkan. Hanya saja Benny tak menampik jika nantinya ada perebutan penanganan kasus antara tiga lembaga penegak hukum.
“Tapi selama ini kan juga memang yang menegakkan hukum, ada KPK, polisi dan kejaksaan. Ya kalau ada dua yang menangani ya silakan saja, selama ini memang begitu, siapa yang duluan saja. Karena kewenangan melakukan proses hukum itu biasa. Apa urusannya dengan UU KUHP?” Ujar dia.
Benny menambahkan, perubahan itu justru akan melengkapi undang-undang tindak pidana korupsi.
Namun kalaupun KPK tetap menolak, ia menyarankan agar KPK protes kepada Presiden Joko Widodo. Karena menurut dia, usulan tindak pidana korupsi masuk ke KUHP pun datang dari pemerintah.
“Pemerintah kan yang memasukkan itu ke KUHP. Kalau KPK tidak setuju ya tanya ke presidennya, kok kepada kami. Kalau DPR, terserah presiden. Kalau presiden mau cabut silakan, tidak dicabut juga kami tidak masalah.” Kelit Benny.
Pemerintah dan DPR menyepakati masuknya tindak pidana korupsi ke revisi UU KUHP. Dalam rapat itu, disepakati bahwa korupsi masuk tindak pidana khusus dalam KUHP. Kendati sudah diketok, perwakilan KPK dalam rapat itu tetap pada pendirian menolak masuknya korupsi ke KUHP.
Sebelumnya, KPK sudah tiga kali bersurat ke DPR berisi keberatan terkait dimasukkannya korupsi ke KUHP. Melalui surat itu, KPK menjelaskan bahwa korupsi tergolong kejahatan luar biasa (extraordinary crime).
Menurut Peneliti Lembaga Anti-korupsi Pukat UGM, Zainur Rahman langkah DPR yang memasukan pidana korupsi kedalam KUHP hanya akan mensejajarkan korupsi dengan kriminal biasa. Kejahatan luar biasa yang melekat pada korupsi ujar dia juga akan hilang.
UU Tindak Pidana Korupsi, kata Zainur juga tidak akan berlaku jika korupsi di KUHP disahkan.
“Mengkodifikasi UU Tipikor yang adalah extra ordinary crime menjadi tindak pidana biasa, itu akan sejajar dengan pencurian, penggelepan. Kalau diberlakukan KUHP, dan itu memuat tindak pidana korupsi, ya sudah dong UU Tipikornya tidak berlaku, dan semua penegak hukum akan mengacu kepada KUHP,” ujarnya.
Zainur menambahkan kewenangan penyidikan juga akan berpusat di kepolisian dalam menindak pelaku korupsi.
“Kalau misalnya sampai disahkan, penyidik dalam KUHP tentu polisi. KPK tetap berwenang jika ada revisi ada pasal peraturan peralihannya. Tapi tetap itu membuka kotak pandora, butuh penyesuaian peraturan lain,” ujarnya.
Seharusnya, DPR dan pemerintah merevisi UU Tipikor yang pasalnya banyak tumpang tindih. Beberapa kejahatan korupsi yang ada di United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) juga lebih tepat masuk UU Tipikor bukan KUHP. Seperti perdagangan pengaruh, penyuapan korporasi dan suap kepada pejabat asing.
“Alih-alih memasukan tipikor ke KUHP, lebih penting melakukan perbaikan UU Tipikor. Misalnya pasal 2,3,5 dan 12 masih bermasalah. Ada tumpang tindih dan disparitas.” Ujar Peneliti Lembaga Anti-korupsi Pukat UGM, Zainur Rahman.
Hal senada dikatakan Bekas pemimpin KPK Busyro Muqoddas. Kata dia, kesepakatan pemerintah dan DPR untuk memasukkan delik korupsi ke revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dikhawatirkan menggembosi peran KPK. Kata dia, sifat kejahatan luar biasa atau lex spesialis korupsi akan hilang apabila delik itu masuk ke KUHP.
Dia juga menyebut, kesepakatan tersebut bertentangan dengan konvensi PBB yang mengkategorikan korupsi sebagai kejahatan luar biasa. Itu sebab, tindak pidana itu diatur khusus dalam UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan pengadilan khusus tipikor.
Ditambah lagi, kata dia, kajian KPK pada masanya bersama para ahli hukum pidana menemukan bahwa kualitas naskah akademisi RUU KUHP, buruk.
“Ini merupakan bagian dari upaya sistemik masa lalu terutama dari Parpol di DPR yang memang berdasarkan kajian yang kami lakukan kala itu dengan ahli hukum pidana. Draf tentang revisi KUHAP dan KUHP itu, naskah akademisnya memiliki kualitas yang sangat rendah,” tukas Busyro saat dihubungi KBR, Rabu (14/6).
“Dulu itu kan mau didahului dengan KUHAP baru KUHP, itu saja cara berpikirnya sudah tidak sistematis. Yang namanya KUHAP kan hukum prosedural, acara. itu kan fungsinya menegakkan hukum materiil. Dari cara berpikir yang jungkir balik itu sudah tidak menunjukkan bahwa punya kerangka akademis,” imbuhnya.
Busyro juga menyangsikan pernyataan DPR yang menyebut revisi KUHP justru akan memperkuat KPK. Ketidakpercayaan itu, kata dia, berdasar sikap DPR dan pemerintah beberapa tahun belakangan. Ia pun mengingat, DPR pernah hendak akan membatasi usia KPK menjadi 12 tahun. Lantas pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui Menteri Hukum dan HAM saat itu–Patrialis Akbar–kewenangan penuntutan KPK akan dialihkan ke Kejaksaan Agung.
“Ini kan sudah berkali-kali kita disuguhi kebohongan-kebohongan. Jadi kesimpulannya, pemerintah dan DPR melalui rekam jejaknya itu sudah sulit dipercaya mengenai agenda pemberantasan korupsi,” tegasnya.
Kalaupun hendak memperkuat, lanjutnya, maka semestinya yang direvisi adalah UU Tipikor.
“Kalau alasan itu (ingin memperkuat KPK) justru kenapa dimasukkan ke KUHP. Itu dalih-dalih yang dibikin senayan. Seringkali, dan seringkali itu terbukti itu tidak bisa dipercaya.”
Dia pun meminta agar Presiden Joko Widodo membuktikan dukungan terhadap upaya pemberantasan korupsi. Yakni, dengan tak mengikuti kemauan DPR dan jajarannya.
“Kalau Pak Jokowi selaku presiden mengikuti irama itu. Maka lembaga kepresidenan juga melakukan kebohongan, dan ini bahaya. Ya Presiden harus menunjukkan sikap tegas, tidak angin surga saja. Rakyat itu sudah bosan, termasuk saya juga bosan.” Pungkas Busyro
Sumber: http://kbr.id/06-2017/panja_kuhp_bantah_masuknya_tindak__korupsi__untuk_lemahkan_kpk/90651.html